tirto.id - Prambanan Jazz Festival diharapkan menjadi penggerak pariwisata musik di Yogyakarta. Hal ini disampaikan oleh Anas Syahrul Alimi, Founder Rajawali Indonesia & CEO Prambanan Jazz Festival dalam jumpa pers Prambanan Jazz Festival di Prambanan Jazz Cafe (30/6).
Setelah dua tahun diselenggarakan secara virtual, tahun ini Prambanan Jazz Festival kembali digelar. Festival yang digagas oleh Rajawali Indonesia ini akan diselenggarakan sejak Jumat (1/7) hingga Minggu (3/7), bertempat di pelataran Candi Prambanan, Yogyakarta. Meski diselenggarakan secara offline, Prambanan Jazz Festival juga bisa ditonton melalui live streaming. Konsep pertunjukan tahun ini memang digelar secara hibrida.
"Alhamdulillah tahun ini bakal pecah telur setelah dua tahun tidak hadir offline. Menariknya, dengan konsep hibrida, tahun ini masih ada sekitar 10.000 orang yang membeli tiket untuk pertunjukan online," ujar Anas.
Menurut Anas, tahun ini adalah tahun penyesuaian setelah dua tahun puasa diadakan secara offline. Karena disiapkan ketika peraturan pasca pandemi belum ajeg benar, maka Anas tak mau ambil risiko. Dia dan Rajawali Indonesia memutuskan membatasi jumlah penonton.
Pada 2019, Prambanan Jazz Festival mencatat jumlah penonton mencapai 25.000 orang per hari.
"Tapi sekarang kami batasi. Total kami menjual hanya 7.500 tiket. Kalau tidak kami batasi, wah demand-nya banyak banget," tutur Anas.
Dengan diadakannya lagi Prambanan Jazz Festival, diharapkan roda pariwisata musik bisa bergerak lagi, terutama di Yogyakarta.
Pariwisata musik (music tourism) memang berkembang sejak sekira satu dekade terakhir. Secara definisi sederhana, pariwisata musik berarti wisatawan yang datang ke sebuah tempat karena didorong alasan berupa musik. Kegiatannya beragam, bisa ziarah ke tempat-tempat bersejarah, hingga menonton konser dan festival musik.
Festival musik adalah bagian penting dari pariwisata musik. John Connell dan Chris Gibson di buku pentingnya, Music and Tourism: On the Road Again (2005), menyebut bahwa musik kini menjadi salah satu alasan orang untuk melancong.
Di negara yang industri pariwisata musiknya maju, semisal Britania Raya dan Amerika Serikat, festival musik jadi garda depan untuk menyemarakkan pariwisata dan mengundang wisatawan. Di Inggris, ada festival musik Glastonbury yang tiap tahunnya mendatangkan 200 ribu hingga 300 ribu wisatawan ke desa kecil bernama Pilton, yang bahkan populasinya tidak sampai 1.000 orang.
Di Amerika Serikat, ada Lollapalooza yang rutin ditonton sekitar 300 ribu hingga 400 ribu orang. Ada juga Coachella, festival tahunan yang pada 2017 mendatangkan sekitar 250 ribu penonton ke Gurun Colorado dan berhasil meraih pendapatan kotor sekitar 114 juta dolar.
“Maka tak mengherankan kalau pariwisata musik, termasuk festival, menjadi salah satu hal yang membentuk pertumbuhan ekonomi baru,” tulis Connell dan Gibson.
Sebagaimana efek domino, kegiatan pariwisata musik juga punya dampak luas terhadap perekonomian. Wisatawan yang datang tentu akan memakai jasa transportasi, menginap di hotel, membeli makanan dan minuman, hingga membeli oleh-oleh. Ini akan menggerakkan roda perekonomian di sebuah kawasan.
Menurut Anas, penonton Prambanan Jazz Festival kebanyakan berasal dari luar kota.
"Sekitar 65 persen jumlahnya. Sampai tanggal 3 Juli, hotel penuh. Kebetulan juga bareng sama liburan. Jadi kami harap uang berputar di Yogyakarta. UMKM, kuliner, hotel, itu bisa kecipratan. Ini yang saya maksud sebagai music tourism," kata Anas.
Editor: Nuran Wibisono