tirto.id - Jepang bermain seri dengan Senegal di Central Stadium, Ekaterinburg dalam lanjutan grup H. Kendati tertinggal dua kali melalui gol Sadio Mane dan Moussa Wague, akan tetapi Jepang selalu berhasil mengejar ketertinggalan melalui gol Takashi Inui dan Keisuke Honda.
Jepang dan Senegal punya beban membawa nama besar benua. Di saat perwakilan negara lain terseok-seok, kedua negara ini tampil mengejutkan di laga perdana. Kemenangan Jepang dan Senegal dari Kolombia dan Polandia membuat Asia dan Afrika masih punya peluang meloloskan satu wakil di babak 16 besar.
Dengan empat poin yang sudah diraih, Jepang atau Senegal diharapkan dapat mewakili Asia dan Afrika di babak 16 besar nanti. Dari lima wakil Asia di Piala Dunia 2018 kali ini, peluang terbesar lolos ke babak 16 besar ada di Jepang dan mungkin Australia. Arab Saudi sudah terdepak lebih dulu setelah kalah beruntun dalam dua pertandingan awal. Korea masih punya kesempatan, tapi sangat tipis, apalagi lawan terakhirnya adalah Jerman.
Dua tim lainnya, Iran dan Australia, juga punya kesempatan maju ke babak 16 besar. Hanya saja, Iran harus menghadapi Portugal yang secara tim biasa-biasa saja namun memiliki sosok predator buas pada diri Cristiano Ronaldo. Sedangkan Australia harus menang dari Peru lebih dari tiga gol dan berharap Perancis dan Denmark tak main mata. Sebab hasil imbang sudah cukup membuat Perancis dan Denmark lolos dari fase grup.
Narasi sama juga dialami tim-tim dari benua Afrika. Senegal jadi wakil Afrika yang punya kans lolos ketimbang negara lainnya. Afrika sudah kehilangan kans setelah Mesir dan Tunisia dipastikan pulang lebih dulu. Nigeria berpeluang lolos, tetapi pada laga penentuan nanti mereka akan berjumpa Argentina yang pasti akan tampil ngotot karena butuh kemenangan. Hasil imbang melawan Argentina juga tak akan pasti meloloskan Nigeria, sebab jika Islandia menang dari Kroasia dengan selisih dua gol tim Elang Hijau akan tetap tersingkir.
Paradoks Pelatih Jepang soal Sepakbola Menyerang
Dua bulan sebelum Piala Dunia digelar federasi sepakbola Jepang (JFA) memecat pelatih Vahid Halilhodžić. Padahal pelatih ini sukses mengantarkan Jepang jadi pemuncak grup di fase kualifikasi.
Pelatih asal Serbia dipecat dengan alasan tak logis, para pejabat teras federasi dan media tak terima dengan gaya bermain Halilhodžić yang cenderung bertahan dan mengandalkan serangan balik. Ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai tradisional di timnas Jepang yang selalu memprioritaskan penguasaan bola. Hal ini bahkan dikatakan sendiri oleh ketua JFA Kozo Tashima kepada wartawan.
Imbas gaya bermain sampai ke ruang ganti pemain. Gaya Halilhodžić yang lugas dan tak diplomatis menimbulkan ketegangan dengan para pemain. Penggantinya adalah sang Direktur Teknik yang tak kalah kontroversial, Akira Nishino.
"Kekuatan Jepang adalah permainan unit," kalimat pendek itu dilontarkan sesaat ia diangkat jadi pelatih Jepang.
Kalimat ini tanpa tedeng aling-aling diucapkan Akira. Ia melihat permainan Jepang di era pelatih sebelumnya amat menitikberatkan pada kemampuan individu. Kata dia, ini bertolak belakang dengan kultur sepakbola Jepang.
"Di sini memiliki gaya tersendiri dan itu melibatkan keterampilan, disiplin dan organisasi," katanya dikutip dari Japan Times
Meski begitu, ia tetap memuji pekerjaan Halilhodzic dalam mengasah keterampilan individu pemain. "Ada area di mana sepak bola Jepang telah kurang dan tidak dapat maju di panggung dunia karena kekurangan-kekurangan itu, dan Halilhodzic ingin para pemain untuk dapat bersaing pada standar itu," katanya. “Dia ingin mereka menjadi lebih kuat dalam duel satu lawan satu."
Akira tampaknya sadar kekuatan individual amat dibutuhkan bagi sepakbola Jepang yang memiliki kultur menyerang.
“Jangan salah, itu adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh sepakbola Jepang. Anda harus mampu menyerang langsung dari banyak sudut yang berbeda. Aku ingin menggunakannya sebagai dasar untuk membangun," kata Akira.
Pada 2012, Nishino sempat menulis makalah berjudul "The Thrill of Attacking Football". Di sana ia memaparkan bagaimana seharusnya pakem sepakbola menyerang diterapkan klub-klub Jepang. Ia punya pengalaman bagus saat melatih Gamba Osaka pada 2008 lalu.
Kala itu, Nishino sukses membawa Gamba Osaka juara Liga Champions Asia dan meloloskan klub ini hingga babak semifinal Piala Dunia antar klub. Meski kalah dari Manchester United semifinal, Gamba Osaka tampil ngotot dan memaksa MU kebobolan 3 gol. Skor berakhir 5-3 untuk United.
Meski tidak menyukai sepakbola bertahan, nyatanya pola ini pulalah yang membuat namanya terkenal. Ia dipuji publik Jepang saat membawa timnas U-23 berprestasi di Olimpiade Atalanta 1996. Di fase grup ia sukses mengalahkan Brazil (yang diperkuat Ronaldo, Rivaldo hingga Roberto Carlos) dan Hungaria. Hasil baik ini didapat bukanlah dengan sepakbola menyerang melainkan ultra bertahan.
Meski meraih dua kemenangan, media Jepang kala itu mengkritik Nishino bermain terlalu pragmatis dan memainkan strategi bertahan yang amat menjijikkan.
Akira Membawa Jepang dengan Cerdik
Kendati tidak berlangsung dengan intensitas yang kelewat tinggi, laga antara Senegal vs Jepang memperlihatkan permainan yang menarik ditonton. Selain menyajikan banyak gol, masing-masing mencetak dua gol, kedua tim juga bermain dengan sportif. Tidak ada insiden-insiden menjengkelkan macam diving, atau adu otot yang memicu keributan. Baik Jepang dan Senegal fokus pada permainannya masing-masing.
Jepang patut menerima apresiasi. Mereka memperlihatkan diri sebagai tim yang bisa bermain dengan pintar. Shinji Kagawa, dkk., mahir memanfaatkan keunggulan dalam kecepatan dengan memainkan umpan-umpan pendek yang diakhiri dengan sprint kejutan yang merepotkan lawannya yang rata-rata berbadan lebih besar.
Pelatih Akira Nishino dengan cerdik menyiasati kelebihan fisik pemain Senegal. Pertama, saat lawan mendapat kesempatan tendangan bebas di dekat kotak penalti, Jepang mempraktikkan jebakan offside yang sangat rapi. Dalam satu kesempatan, Jepang bahkan membuat sampai lima pemain Senegal sekaligus terjebak offside. Siasat ini sangat logis karena memaksakan diri berduel bola udara hanya akan menguntungkan Senegal.
Kedua, setiap terjadi duel bola udara, alih-alih berduel habis-habisan, pemain Jepang lebih memilih melompat untuk mengganggu lawan sembari pada saat yang sama menyiapkan pemain kedua untuk menerima bola-bola kedua (second ball) atau bola muntah. Gol Keisuke Honda, misalnya, terjadi dari skema ini.
Ketiga, Jepang juga cerdik dengan menghindari permainan menekan atau pressing football, apalagi menekan hingga area lawan. Jika itu dilakukan, pemain Jepang akan dalam posisi rentan karena akan sering berduel fisik. Jepang lebih memilih menunggu di lapangannya sendiri dan menerapkan pertahanan daerah (zonal marking) ketimbang man to man marking.
Butuh minimal seri bagi Jepang saat menghadapi Polandia untuk memastikan tiket ke babak 16 Besar. Lawannya sudah dalam posisi tersingkir, dan Jepang bisa mengharapkan tipisnya motivasi Lewandowksi, dkk., sebagai keuntungan untuk dimanfaatkan. Jika berhasil menang, akan lebih baik bagi Jepang untuk menang besar. Tidak mudah, tapi itu cara terbaik untuk lolos sebagai juara grup. Jika runner-up, besar kemungkinan mereka akan menghadapi Inggris.
Inggris dalam kondisi terbaiknya. Akan lebih baik jika Jepang bisa menghindarinya. Namun di Piala Dunia, seringkali tidak bisa memilih lawan. Dan jika lolos dan mesti menghadapi Inggris, sangat menarik menunggu kecerdikan apalagi yang akan dimunculkan oleh Akira Nishindo.
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan