tirto.id - Di Jakarta, orang-orang berjalan mengenakan masker adalah pemandangan biasa. Semua paham bahwa memakai masker adalah upaya untuk menghindari polusi yang menggila di ibukota. Tak perlu diserang kabut asap karena pembakaran hutan, masker-masker sudah digunakan di luar ruangan.
Masker-masker dipakai ketika berjalan di trotoar, di dalam transportasi umum, saat bersepeda, dan ketika mengendarai sepeda motor. Begitu masuk ke dalam rumah, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, masker-masker itu dilepas. Mereka merasa aman dari polusi ketika berada di dalam ruangan. Padahal, belum tentu.
Pada tahun 1999, ada dua peneliti asal Amerika Serikat, Richard Corsi dan Cynthia Howard-Reed, yang mengatakan proses pembersihan di dalam rumah membuat polusi di dalam ruangan semakin memburuk.
Mereka menemukan bahwa peralatan mandi, shower, mesin pencuci piring, hingga mesin cuci bisa menjadi sumber polusi. Ini dikarenakan peralatan-peralatan tersebut mengekstrak bahan-bahan kimia dari air yang digunakan dan kemudian membawanya ke udara.
Air yang digunakan juga mengandung bahan kimia beracun, meski dalam jumlah yang sangat sedikit. Ia berasal dari proses klorinisasi. Richard Corsi menduga, bahan kimia beracun itu bisa menetap di dalam air dan bisa juga dilepaskan ke udara yang kemudian dihirup manusia.
Dalam proses penelitiannya, kedua peneliti dan timnya melakukan serangkaian eksperimen. Lima bahan kimia yang diketahui berada dalam air, dicampurkan. Air itu kemudian didesain untuk melewati shower atau kepala pancuran, mesin cuci, dan mesin pencuci piring, di dalam ruangan khusus.
Limbah dari mesin-mesin itu diambil untuk dilihat tingkat kandungan bahan kimianya. Hal itu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar bahan kimia yang dibuang ke udara. Dalam mesin pencuci piring, ditemukan fakta bahwa ada segumpal bahan kimia beracun yang dilemparkan keudara ketika pintu mesin dibuka.
Banyak orang memilih meminum air kemasan karena takut terpapar bahan kimia yang terdapat dalam air di keran rumah mereka. Padahal dengan hanya bernapas di rumah, mereka bisa terpapar bahan-bahan kimia tersebut.
Environmental Protection Agency merincikan sejumlah sumber polusi udara di dalam ruangan. Polusi tersebut bisa berasal dari debu dan jamur, asap rokok, produk rumah tangga dan pestisida, gas radon dan karbon monoksida, bahan material bangunan seperti asbestos, dan formalin. Karbon monoksida bisa didapat dari penggunaan kompor gas atau membakar lilin.
Di negara-negara miskin, menggunakan kayu bakar untuk memasak di dapur masih sering ditemui. Asap dari kayu bakar yang memenuhi ruangan dapur ini sangat mencemari udara di dalam ruangan yang kemudian dihirup oleh menghuninya.
World Health Organization (WHO) menyebutkan masih ada sekitar 3 miliar orang yang memasak menggunakan kayu bakar, kompor minyak, atau batubara. Proses memasak itu dilakukan di dalam rumah. Organisasi kesehatan dunia itu juga menemukan pada tahun 2012, lebih dari empat juta orang meninggal di usia muda dikarenakan penyakit yang diakibatkan polusi tersebut.
Beberapa penyakit yang bisa muncul adalah pneumonia, stroke, penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, dan kanker paru-paru. Sebanyak 12 persen dari angka kematian itu disebabkan oleh infeksi pernapasan atau pneumonia. Anak-anak di bawah lima tahun sangat rentan dengan penyakit ini jika terus menghirup udara yang berpolusi di dalam rumah.
Kematian tertinggi disebabkan oleh stroke, yakni 34 persen. Yang terendah adalah kanker paru-paru yaitu 6 persen. Sisanya disebabkan penyakit jantung iskemik dan paru obstruktif kronik, dalam porsi yang hampir sama.
Penelitian WHO ini memang masih berfokus pada polusi udara di dalam ruangan karena asap yang ditimbulkan dari proses memasak. Ia belum termasuk paparan bahan kimia dari peralatan rumah tangga seperti yang dipaparkan dua peneliti Amerika tadi. Jadi, haruskah kita terus memakai masker di dalam rumah?
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti