tirto.id - Sebiji gol Manuel Locatelli sudah cukup mengantarkan kemenangan AC Milan atas Juventus dalam lanjutan Liga Italia Serie A pada 23 Oktober 2016 lalu. Sontak, nama remaja 18 tahun itu pun menjadi perbincangan meskipun di laga berikutnya Rossoneri kembali labil usai digasak Genoa 3-0.
Nama belakang gelandang belia penyelamat Milan itu mengingatkan pada sosok bermarga serupa yang kiprahnya sering terdengar selama akhir dekade 1990-an hingga medio 2000-an, Tomas Locatelli. Ternyata, keduanya memang ada hubungan. Manuel adalah putra kandung Tomas.
Misi Revisi Locatelli
Semasa era edarnya, Tomas Locatelli memang bukan bintang sepakbola yang benar-benar benderang. Namun, pemain yang hanya mengemas 2 caps di tim nasional Italia ini setidaknya meninggalkan kesan mendalam bagi publik tiga klub papan tengah Serie A kala itu, yakni Udinese, Bologna, dan Siena.
Terlebih bagi Bologna. Menghuni Stadion Renato Dall'Ara sejak musim 2000/2001 hingga 2005/2006, Tomas Locatelli adalah ikon lapangan tengah Rossoblu, melengkapi peran Giuseppe Signori di depan, Marcello Castellini di belakang, dan Gianluca Pagliuca di bawah mistar gawang.
Bologna di era Locatelli menjadi salah satu kuda hitam yang paling diperhitungkan untuk menggoyang kemapanan Il Sette Magnifico atau The Magnificent Seven (7 klub terhebat) Serie A yang kala itu diperankan oleh Juventus, AC Milan, Inter Milan, AS Roma, Lazio, Fiorentina, dan Parma.
Tomas Locatelli juga pernah bermain untuk AC Milan. Namun, ia hanya tampil dalam 10 laga selama semusim karena kalah bersaing dengan para gelandang top macam Demetrio Albertini, Roberto Donadoni, Gianluigi Lentini, Dejan Savicevic, juga Zvonimir Boban. Kendati begitu, ia turut menjadi bagian dari skuad juara Milan yang meraih scudetto 1995/1996 di bawah arahan Fabio Capello.
Di AC Milan kini, Manuel sebagai pelanjut generasi Locatelli tampaknya bakal dibebani dengan tuntutan pembuktian bahwa ia mampu lebih baik dari sang ayah. Hingga pekan ke-10 musim ini, Manuel sudah tampil dalam 7 laga, 4 di antaranya dari bangku cadangan, dan mencetak 2 gol, termasuk gol penakluk kiper nomor satu Italia, Gianluigi Buffon.
Penerus Bintang Atau Calon Pecundang?
Selain Manuel Locatelli, ada beberapa anak mantan bintang sepakbola lainnya yang juga sudah beredar di periode kekinian pada usia yang masih sangat muda. Sebut saja Enzo Zidane, Giovanni Simeone, Diego Poyet, Federico Chiesa, atau Ianis Hagi. Ditilik dari nama belakangnya, tentu cukup mudah untuk mengetahui siapa bapak mereka.
Kebintangan mereka memang belum benar-benar teruji mengingat umur yang masih belia dan kurangnya kesempatan untuk membuktikan diri. Enzo Zidane, misalnya, meskipun mulai dimasukkan ke skuad utama Real Madrid yang dibesut oleh ayahnya sendiri, namun peluangnya untuk dimainkan masih sangat kecil.
Sekali lagi, ini akan menjadi pertaruhan bagi mereka apakah mampu meneruskan kebintangan sang ayah atau justru menjadi pecundang. Sudah cukup banyak anak mantan pemain terkenal yang karier sepakbolanya berjalan biasa-biasa saja atau bahkan sama sekali tidak istimewa.
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Diego Armando Maradona Sinagra alias Maradona Jr. Anak yang disebut-sebut hasil skandal superstar Argentina dengan perempuan Naples bernama Cristiana Sinagra ini belum mampu menunjukkan diri bahwa ia adalah putra sang legenda.
Maradona Jr. –yang saat ini berusia 30 tahun– memang sempat meniti masa juniornya di Napoli, mantan klub bapaknya, dan pernah sekali memperkuat tim nasional Italia U-17. Namun selanjutnya, karier Sinagra dihabiskan bersama klub-klub gurem hingga akhirnya banting setir menjadi pemain sepakbola pantai sejak 2009.
Ironi serupa juga dialami Romarinho yang tidak lain adalah anak lelaki legenda Brazil, Romario. Berbanding terbalik dengan kiprah gemilang sang ayah bersama Vasco da Gama, PSV Eindhoven, dan Barcelona, Romarinho saat ini justru terdampar di klub J2 League Jepang, Zweigen Kanazawa, dalam usia yang sebenarnya potensial, 23 tahun.
Demikian pula dengan Mads Laudrup. Menyandang marga kondang dari ayah dan pamannya, Michael dan Brian Laudrup, karier Mads justru kian meredup. Di musim 2016/2017 ini, Mads yang kini berusia 27 tahun bermain untuk FC Graesroddeme, klub antah-berantah yang berkiprah di level bawah kompetisi sepakbola Denmark.
Kisah hidup Jordi Cruyff kurang lebih sama. Putra legenda Belanda, Johan Cruyff, ini memang sempat memperkuat Barcelona dan Manchester United. Namun, andil serta pengaruhnya belum bisa dibandingkan dengan sang ayah yang telah merengkuh seabrek gelar prestisius, termasuk tiga kali mendapatkan Ballon d'Or pada 1971, 1973, dan 1974.
Nasib Davide Ancelotti sedikit lebih baik. Gagal mengikuti jejak emas Carlo Ancelotti sebagai pesepakbola, Davide mulai menapak karier yang cukup cerah di bidang kepelatihan yang juga sukses ditekuni oleh bapaknya. Setelah memutuskan gantung sepatu dalam usia yang cukup muda, Davide saat ini adalah tangan kanan sang ayah di klub raksasa Bundesliga Jerman, Bayern Munchen.
Karier Bermasalah Gara-gara Sang Ayah
Cukup banyak anak bekas pesepakbola top dunia yang saat ini sedang meniti karier di bawah nama besar sang ayah. Ada yang jalannya berjalan mulus, namun tidak sedikit pula yang sedikit terjal, juga karena faktor bapaknya.
Christian Maldini adalah salah satu anak mantan bintang yang kariernya mulai diterpa gelombang. Sempat menjabat sebagai kapten tim AC Milan U-19, ia tidak lagi menjadi bagian dari Rossoneri meskipun kakek dan ayahnya, Cesare dan Paolo, adalah legenda sejati I Diavolo Rosso.
Setelah lulus dari akademi AC Milan, Christian justru memilih melanjutkan karier profesionalnya ke klub lain. Ia direkrut secara cuma-cuma oleh oleh klub peserta Lega Pro atau Divisi III Italia, AC Reggiana, pada Juli 2016 lalu. Tifosi Milan tentu saja berharap Maldini generasi ketiga ini kembali memperkuat Rossoneri suatu saat nanti.
Alasan pasti penyebab hengkangnya Christian dari AC Milan memang belum terungkap. Namun, barangkali ini ada kaitannya dengan kurang harmonisnya hubungan sang ayah, Paolo Maldini, dengan manajemen Milan. Setelah gantung sepatu pada 2009 silam, mantan il capitano Milan ini tidak lagi berhubungan dengan satu-satunya klub yang pernah diperkuatnya itu.
Maldini sendiri pernah menegaskan, " Milan akan selalu menjadi cinta dan yang paling istimewa, bahkan untuk seluruh keluarga saya. Tapi, Milan tidak ada dalam masa depan saya,” ucapnya seperti dikutip dari Goal.
Hal serupa juga terjadi pada Andrea Mancini. Kariernya kini semakin tidak jelas setelah bapaknya, Roberto Mancini, tidak lagi menjadi pelatih Inter Milan. Sempat masuk skuat senior Manchester City, klub yang juga pernah dibesut sang ayah, jalan karier Andrea terombang-ambing.
Andrea sempat pula bergabung dengan DC United, klub Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat yang dimiliki oleh Erick Thohir yang saat itu juga menjadi pemilik Inter Milan. Namun, setelah Inter dan Mancini pecah kongsi, nasib Andera di DC United juga dipungkasi. Kini, di usia yang masih 24 tahun, Andrea Mancini bermain untuk klub MLS lainnya, yakni New York Cosmos.
Menjadi anak mantan pemain bintang memang ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada rasa bangga dan tidak jarang mendapatkan kemudahan dalam meniti karier berkat andil sang ayah, namun di sisi lain, masa depan menjadi taruhannya, juga gara-gara faktor bapaknya.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti