Menuju konten utama

Pers Mahasiswa Dibungkam, dari Kasus Cerpen hingga Menulis '65

Dari 2013-2016, sedikitnya ada 133 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap pers mahasiswa.

Pers Mahasiswa Dibungkam, dari Kasus Cerpen hingga Menulis '65
Ilustrasi Pembungkaman Pers Mahasiswa di Indonesia. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Bridal SUARA USU!”

“Buburkan SUARA USU!”

“Anjing SUARA USU!”

Kalimat itu tertulis di dinding kantor redaksi pers mahasiswa Suara USU dan di beberapa ruas jalan Universitas Sumatera Utara. Ia dibuat dengan cat pylox warna merah. Yaps, kata yang tertulis adalah ‘bridal’ bukan ‘beredel’, ‘bubur’ bukan ‘bubar’. Barangkali si vandal terburu-buru hingga typo.

Kaca-kaca kantor redaksi dilempari batu. Dua kaca pecah. Untungnya, tak melukai dua orang yang bermalam di sana.

Kamis pagi, 27 Mei 2004, Ressi Dwiana, Kepala Litbang Suara USU, terkejut mendengar kabar penyerangan. Ia bergegas ke sekretariat Suara USU; bolos kuliah.

Seharian itu kondisi kantor redaksi mencekam. “Seperti sedang ada kematian, orang-orang datang dengan wajah penuh duka dan marah,” kata Ressi.

Para pengurus tak tahu siapa pelakunya. Setelah berdiskusi dengan beberapa alumni, organisasi mahasiswa dan Aliansi Jurnalis Independen di Medan, mereka melaporkan kejadian itu ke Polsek Medan Baru dan menggelar aksi ke Biro Rektor. Aksi itu didukung berbagai organisasi kampus di Medan, dan beberapa kota lain seperti Yogyakarta, Semarang, Riau, Surabaya, hingga Makassar.

Sementara pihak kampus mengeluarkan rilis yang menyalahkan Suara USU sebagai "media belajar tak profesional" dan mungkin menyinggung orang lain.

Penyerangan itu, diperkirakan pada pukul 03.00, terjadi setelah Suara USU merilis laporan utama berjudul “Mencari Jejak Dana Kemahasiswaan” dalam edisi Mei 2004. Laporan itu berusaha mengulik satu pertanyaan besar: Bagaimana USU mengalokasikan dana kemahasiswaan?

Alih-alih menyediakan jawaban untuk pertanyaan itu, pihak rektorat malah marah-marah dan membentak Eka Dalanta, reporter yang bertugas saat itu.

Eka datang sendirian menghadap Pembantu Rektor III USU Jhon Tafbu Ritonga (almarhum)—yang mengurusi bagian kemahasiswaan. Saat ini, urusan kemahasiswaan berada di bawah Wakil Rektor I.

“Mahasiswa tidak berhak memeriksa kami. Kami diperiksa oleh BPKP [Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan] dan inspektorat. Dana untuk kemahasiswaan itu ada Rp600 juta, dari DKM yang hanya sedikit itu,” katanya, dengan nada marah dan membentak.

Pernyataan dari PR III itu ditulis Eka dan disorot sebagai satu kutipan khusus. Redaksi Suara USU juga memuat wawancara dengan Pembantu Rektor III.

Malam hari sebelum perusakan, Erlina Sari Dalimunthe, pemimpin redaksi saat itu, menunggu angkutan umum di trotoar bersama seorang temannya. Teman Erli naik angkot terlebih dulu karena arah rumah mereka berbeda. Sekitar 10 menit setelahnya, seorang pengendara sepeda motor menghampiri dan menendang Erli.

Saat itu Erli tak berpikir sama sekali bahwa kekerasan terhadap dirinya adalah bentuk intimidasi atas perannya sebagai pemimpin redaksi Suara USU. Ia mengira si penyerang itu hanya mabuk dan menendang sembarang orang.

Namun, setelah perusakan kantor Suara USU, ia berpikir bisa jadi dua kejadian itu berkaitan dan dilakukan oleh sekelompok orang yang sama. Sampai saat ini, laporan ke Polsek Medan Baru tidak pernah digubris. Tidak pernah ada hasil penyelidikan yang pasti dari kepolisian tentang siapa pelaku perusakan itu sebenarnya.

Meski menerima intimidasi, para penggiat Suara USU saat itu tidak gentar. Tetap menulis dan mengkritik rektorat. Pihak rektorat juga tidak benar-benar mengeluarkan surat resmi pemberedelan.

Namun, 15 tahun kemudian, situasinya berbeda.

Tahun ini, karena merilis cerpen tentang kisah cinta seorang perempuan lesbian, berjudul Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya", Rektor USU Runtung Sitepu memecat seluruh pengurus Suara USU.

Cerpen itu dianggap Runtung Sitepu "mempromosikan LGBT" dan "mengandung pornografi". Karena pihak Suara USU bersikeras emoh menurunkan cerpen itu, Runtung memecat semua pengurus Suara USU dan akan mengganti seluruh anggota dengan yang baru, yang mau mendengarkan suara rektorat dan menuliskan yang baik-baik tentang USU.

Ressi Dwiana, Eka Dalanta, dan Erli Sari Dalimunthe, yang tahun 2004 mengalami intimidasi saat mengelola Suara USU, menilai memang ada keinginan dari pihak rektorat untuk membuat pers mahasiswa di Universitas Sumatera Utara menjadi seperti corong humas, menulis yang baik-baik tanpa kritik.

Kepala Humas USU Elvi Sumanti berkata lain. Menurutnya, Suara USU tidak pernah diintervensi. Kebetulan Elvi adalah alumni organisasi itu. Ia menjadi pemimpin umum pada 1997, tahun kedua Suara USU.

Infografik HL Indepth Universitas Sumatera Utara

Infografik Pemberedelan Pers Mahasiswa di Indonesia. tirto.id/Lugas

Pers Mahasiswa Panen Intimidasi

Sepanjang 2013 sampai 2016, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengumpulkan kasus-kasus kekerasan dan intimidasi terhadap lembaga pers mahasiswa. Dari survei mereka, dalam rentang empat tahun, ada 133 kasus dan 65 di antaranya dilakukan oleh pihak birokrasi kampus.

Beberapa bentuk kekerasan oleh kampus antara lain intimidasi, perampasan media, ancaman DO penggiatnya, dan penyegelan sekretariat.

Tahun 2015, misalnya, Majalah Lentera dari Universitas Kristen Satya Wacana ditarik dan dilarang beredar oleh polisi dan rektor sebab menulis sejarah peristiwa 1965 di Salatiga.

Setahun sebelumnya, buletin terbitan Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi di Universitas Negeri Yogyakarta dirampas rektorat dan dilarang peredarannya. Buletin itu memublikasikan berita mengenai pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus yang dianggap bermasalah.

Tahun 2016, setidaknya ada dua lembaga pers mahasiswa yang dibekukan kampusnya sendiri. Lembaga Pers Mahasiswa Poros di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta sempat dibekukan karena mengkritik pembangunan Fakultas Kedokteran di kampus itu.

Lembaga Pers Mahasiswa Pendapa dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, juga bernasib sama. Ia dibekukan karena menolak meneken Pakta Integritas, yang salah satu poinnya LPM Pendapa harus berkonsultasi dengan Wakil Rektor III dalam penerbitan buletin Majalah Pendapa.

Kasus terbaru terjadi di Universitas Hasanuddin, Makassar. SK Rektor atas pengesahan kepengurusan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Catatan Kaki tahun ini tak kunjung diberikan.

Yuliana, pemimpin redaksi Catatan Kaki, menjelaskan penundaan SK pengesahan itu karena pengurus Catatan Kaki menolak meneken pernyataan untuk tidak mempersoalkan peraturan rektor tentang organisasi mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas.

“Padahal itu tidak ada kaitan dengan pelantikan dan pengesahan kepengurusan kami," ujar Yuli kepada Tirto. "Kami sudah memenuhi semua syarat untuk mengikuti pelantikan dan pengesahan kepengurusan, tapi pada saat pelantikan serentak semua UKM, kami tidak diikutkan padahal hari itu ketua kami sudah datang di tempat pelantikan."

Akibat dari tidak ada pengesahan itu, pers mahasiswa Catatan Kaki tidak bisa menerima dana kemahasiswaan dari rektorat yang seharusnya menjadi haknya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Revolusi Riza berkata, pada Kongres Ke-10 AJI di Solo, November 2017, AJI secara tegas menyatakan menerima pers mahasiswa agar bisa bergabung ke dalam asosiasi. Jadi, AJI akan selalu aktif mengadvokasi jika terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap penggiat pers mahasiswa.

“Mereka juga melakukan proses-proses kerja jurnalistik seperti pers umumnya, hanya ruang lingkup mereka yang lebih sempit di sekitar sivitas akademika” kata Revo dalam diskusi “Mengapa Rektor Takut Cerpen” di Jakarta, 30 Maret lalu.

Banyak kampus takut atas pemberitaan dan daya kritis pers mahasiswa. Ini juga terjadi saat pers kampus Balairung di Universitas Gadjah Mada merilis laporan kasus "Agni", nama samaran mahasiswi yang mendapatkan pelecehan seksual, November 2018. Penulis dan editornya dipanggil polisi untuk mempertanggungjawabkan laporan tersebut.

Kebanyakan penguasa kampus-kampus di Jawa maupun luar Jawa menilai pemberitaan pers mahasiswa haruslah membawa nama harum kampus karena bekerja di lingkungan rektorat.

Sementara mahasiswa yang tergabung dalam pers mahasiswa ingin menerapkan jurnalisme yang benar, bekerja secara independen, tanpa intervensi dari kampus, bebas menuliskan apa pun sesuai kaidah jurnalistik.

Dua keinginan ini agaknya sulit bertemu. Imbasnya, pihak rektorat seringkali memakai kekuasaannya untuk melakukan tindakan intimidasi dan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap pers kampus di Sumatera hingga Salatiga, dari Yogyakarta hingga Makassar.

======

Penyingkapan: Wan Ulfa Nur Zuhra, yang menulis laporan ini, adalah alumni Suara USU.

Baca juga artikel terkait PERS MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam