Menuju konten utama

Perpres Miras Bukti Stigma terhadap Orang Papua Berurat Berakar

Stigma bahwa orang Papua pemabuk tampak dalam perpres yang baru saja dibatalkan.

Ilustrasi orang mabuk.FOTO/Istock

tirto.id - Demi investasi, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal pada 2 Februari 2021. Peraturan ini memungkinkan penanaman investasi baru salah satunya di industri minuman beralkohol (minol). Investasi ini hanya dapat dilakukan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

Dalam peraturan tak ada penjelasan mengapa empat tempat itu yang dipilih. Hanya saja disebutkan bahwa investasi di tempat tersebut harus “dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.”

Sementara pegiat media sosial pendukung Jokowi Denny Siregar menafsirkannya dengan menyebut di tempat-tempat tersebut “miras itu budaya” sehingga memang tak masalah. “Daripada dilarang, sekalian jadikan pendapatan,” katanya.

Ocehan dia itu direspons warganet. Beberapa di antaranya menyinggung khusus Papua. Seorang pengguna mengatakan di Papua miras itu dibawa oleh pendatang dan sama sekali bukan budaya setempat, pengguna yang lain melampirkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, membuktikan bahwa pejabat setempat saja hendak memberantas minol.

Ketika dihubungi reporter Tirto terkait respons tersebut, Senin (1/3/2021), Denny mengatakan “mereka salah paham saja.” “Jokowi tidak legalkan miras, dia hanya keluarkan perpres investasi dan hanya empat provinsi itu saja yang boleh kembangkan industri miras, lainnya tidak boleh. Salahnya di mana?” Ia melanjutkan, mau atau tidaknya industri miras dibuka, semua dikembalikan ke pemerintah setempat. “Ya, ngobrol sama gubernurnya masing-masing.”

Selain orang yang merespons Denny, peraturan ini memang dikecam banyak orang Papua. Mereka tak setuju kalau peraturan ini dibuat karena mengasumsikan wilayah tersebut tak punya masalah terkait miras.

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, mengatakan alih-alih budaya, miras bersama narkoba adalah penyakit sosial orang Papua. Miras dan narkobalah yang menurutnya membuat tingkat kriminalitas dan kematian tinggi, berdasarkan data Polda Papua.

“Dengan melihat realita penyakit sosial ini, semua pihak harus bergandengan tangan meminta dan mendorong Pemerintah Provinsi Papua untuk segera bangun balai rehabilitasi dan akan diikuti dengan regulasi dan fasilitas untuk pencegahan,” kata Murib, mengutip situs resmi MRP.

Berdasarkan observasi dari peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas, sejak 2004 hingga kini, peredaran miras di Papua sangat luas. Dari wilayah pantai sampai pegunungan, miras menyebar bebas. Aturan yang melarang itu memang ada, tapi “hanya tertulis saja.” Siapa pun di sana bisa mendapatkan dan mengonsumsi minuman beralkohol dengan gampang, katanya.

“Ada upaya bisnis yang mungkin saja dibantu oleh orang-orang tertentu. Miras jadi alat menghilangkan kecemasan. Lambat laun peraturan daerah semakin tak terkontrol,” ujar Cahyo ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (2/3/2021). Ia khawatir jika semua hal itu terus berlanjut, masalah akan semakin kompleks.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua Saiful Islam Al Payage juga menolak peraturan ini. Selain dalil Islam yang memang sudah jelas, ia menolak karena menurutnya ada lebih banyak investasi yang lebih baik. “Kebijakan harus lebih bermanfaat bagi rakyat, khususnya Papua. Tidak ada negara yang dibangun berdasarkan investasi miras,” terang Saiful.

Alasan berikutnya, menurutnya orang Papua sedang berperang melawan miras.

Selain dari itu, memasukkan Papua sebagai provinsi yang boleh berinvestasi miras sama saja bentuk stigmatisasi terhadap orang Papua. “Nanti orang Papua dikira pemabuk semua, dan ini semacam penghinaan terhadap orang Papua.”

Elvira Rumkabu, Forum Akademisi Untuk Papua Damai (FAPD), pernah menulis untuk Tirto bahwa memang ‘pemabuk’ merupakan salah satu stigma untuk orang Papua, sebagaimana ‘pembuat onar’, ‘pemalas’ dan ‘separatis’.

Karena stigma itu pula Kapolsek Sukajadi Kompol Sarche Christiaty Leo Dima pernah dengan entengnya memberikan minuman keras dengan kadar 19 persen bermerek Topi Koboi kepada mahasiswa Papua yang menempati asrama di Bandung agar mereka tidak menggelar demonstrasi menolak rasisme 2019 lalu.

Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua Pendeta Lipiyus Biniluk menguatkan pernyataan Saiful. “[Kami] menolak peraturan miras buka pabrik di Papua,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa. Selain bertentangan dengan Islam, miras menurutnya dapat merusak moral rakyat.

Oleh karena itu menurutnya jika ada pejabat daerah yang mendukung industri miras, bisa dikatakan orang tersebut hanya mengejar keuntungan saja.

Dia juga mempertanyakan siapa yang memberi masukan ihwal perpres ini kepada Presiden. Menurutnya perpres tak melibatkan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama setempat. “Tidak ada [pelibatan FKUB]. Tapi untuk pencegahan COVID-19 kami selalu dihubungi dan sosialisasi bersama.”

Penolakan-penolakan ini berbuah hasil. Kemarin Jokowi mencabutnya. “Lampiran perpes terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras--yang mengandung alkohol, saya nyatakan dicabut,” kata Jokowi.

Baca juga artikel terkait PERPRES MIRAS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino