tirto.id - Pada September 2011, Joel Achenbach, jurnalis The Washington Post, melaporkan Upper Atmosphere Research Satellite (UARS), wahana satelit milik NASA yang beroperasi sejak September 1991, akan jatuh ke Bumi. Dalam kalkulasi NASA, satelit seukuran bus sekolah dengan berat 5.600 kg punya peluang 1:32.000 menghantam umat manusia di Bumi. Artinya dengan populasi manusia sekitar 7 miliar jiwa, tiap orang di Bumi punya peluang 1:22 triliun terhantam sampah satelit yang jatuh.
Peluang manusia terhantam satelit memang kecil, terutama dibandingkan dengan kemungkinan seseorang tersambar petir selama hidup. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memperkirakan tiap manusia di Bumi punya kemungkinan 1:10.000 tersambar petir. Namun, meskipun jauh lebih kecil, satelit, yang punya manfaat banyak bagi manusia bisa berbahaya, ketika ia jatuh dari orbit ke Bumi.
Kurang lebih ada 1.300 satelit aktif yang mengorbit Bumi. Seribuan satelit aktif tersebut akan mati di kemudian hari, hanya masalah waktu saja. Sebagaimana dikutip dari Space News, banyak pabrikan satelit kini yang merancang satelit buatan mereka bisa digunakan hingga 15 tahun, dengan peningkatan kapasitas bahan bakar dan penggunaan material yang tahan radiasi lebih lama. Brian Roberts, ilmuwan NASA, mengatakan umur minimum satelit dipatok selama sepuluh tahun.
“Itulah ritme yang kita pertahankan,” kata Roberts.
Satelit memang dirancang sanggup bisa hidup sepuluh tahun pada lingkungan ekstrem di luar angkasa, misalnya radiasi matahari dan adanya lebih dari 500 ribu sampah luar angkasa yang sangat mungkin menabrak satelit. Kondisi ini menyebabkan umur satelit yang tak menentu, karena bisa saja rusak sebelum batas waktu maksimal dari rancangan pabrik.
Emanuel Sungging, Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), mengatakan umur satelit memang sulit diprediksi. Ada banyak faktor yang membuat satelit sukar ditentukan umur operasionalnya, peneliti harus melihat bahan bakar, operasional, atau produk yang disediakan satelit.
“Banyak skenario, tergantung kondisi. Misalnya kondisi yang kita sebut cuaca antariksa, penanganan satelitnya. Bisa lebih pendek bisa lebih panjang dari umur perkiraannya,” kata Sungging kepada Tirto.
D.G. King-Hele, fisikawan Inggris dalam papernya berjudul “The Prediction of Satellite Lifetimes” mengatakan setidaknya ada dua pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui umur satelit. Pertama, menghitung tingkat peluruhan. Peluruhan merupakan proses inti atom tidak stabil dan kehilangan energi dengan memancarkan radiasi. Pendekatan kedua, ialah dengan mengukur elemen orbital, seperti bentuk dan massa satelit hingga mengukur lingkungan tempat mengorbit satelit.
Secara umum, King-Hele menyatakan umur satelit dengan rumus L* (umur satelit) = Q/h. Dimana Q merupakan skala kepadatan atmosfer dan h merupakan ketinggian satelit dan aktivitas matahari.
Satelit UARS diluncurkan oleh NASA pada 19 September 1991. Secara resmi, satelit tersebut tidak bisa beroperasi sejak 15 Desember 2005. Pada 24 September 2011 satelit itu mengalami pembusukan.
Indonesia, melalui PT Telkom, punya beberapa satelit yang statusnya telah tak beroperasi. Misalnya satelit Telkom-1. Satelit yang memiliki 36 transponder tersebut mulai beroperasi pada 13 Agustus 1999. Telkom-1 resmi berhenti beroperasi pada 2017. Telkom-1 bertugas selama 18 tahun atau melebihi dari perkiraan usia satelit yang didesain pabrik.
Satelit Mati
Ann Darrin ahli fisika terapan dari Johns Hopkins University dalam bukunya berjudul “Handbook of Space Engineering, Archaeology, and Heritage” mengatakan ada tiga lapisan di atas Bumi yang dihuni satelit, yakni: low earth orbit (LEO), medium earth orbit (MEO), dan geosynchronous earth orbit (GEO). LEO berada di ketinggian 160 hingga 2.000 kilometer di atas permukaan Bumi. MEO berada di ketinggian 2.000 hingga 35.700 kilometer di atas permukaan Bumi. Sementara GEO berada sekitar 35.780 kilometer di atas permukaan Bumi.
Secara umum, LEO, sebagaimana dikatakan Darrin, merupakan orbit yang “paling aktif digunakan untuk ditempati objek buatan manusia karena mudah dijangkau.” MEO merupakan orbit “yang secara khusus digunakan untuk satelit-satelit navigasi.” Sedangkan GEO merupakan orbit spesial karena di tempat ini satelit bisa mengitari Bumi satu kali setiap satu hari. Artinya, satelit akan menyapa lokasi yang sama di Bumi di waktu yang sama tiap harinya. GEO punya sub-orbit yang bernama geostationary orbit, orbit yang memungkinkan satelit “diam” di titik yang sama di Bumi setiap harinya.
Satelit-satelit yang ditempatkan di ketiga orbit tersebut punya kondisi yang berbeda manakala satelit telah mati. Laman resmi NOAA menyebut satelit yang mengorbit dekat Bumi, alias berada di LEO dan sebagian MEO, operator akan menurunkan orbit satelit yang secara alami akan membuat satelit tersebut masuk kembali ke atmosfer Bumi.
Soal penurunan ini ada aturan yang dikenal sebagai “25-year rule.” Artinya, selepas satelit berusia 25 tahun operator boleh menurunkan ketinggian orbit satelit. Namun, aturan bisa dilakukan tatkala satelit yang akan diturunkan alias dijatuhkan itu memiliki kemungkinan 1:10.000 merusak properti di Bumi, kurang dari kemungkinan itu, operator dilarang menurunkan orbit satelit.
Secara umum, selepas orbit diturunkan, satelit akan terbakar karena bergesekan dengan atmosfer Bumi. Dalam kasus tertentu, misalnya ukuran yang besar, sisa-sisa satelit yang terbakar bisa mencapai Bumi. Misalnya Tiangong-1, yang sisa-sisanya jatuh ke Samudera Pasifik pada 2 April 2018 sekitar pukul 07.16 WIB.
Lantas, bagaimana dengan satelit yang memiliki orbit tinggi? Darrin, masih dalam bukunya, menyebut satelit yang berada sekitar GEO, merujuk aturan yang ditetapkan otoritas Amerika Serikat, operator wajib memindahkan satelit mereka ke orbit yang disebut “graveyard orbit” alias orbit kuburan. Orbit kuburan merupakan orbit yang “memiliki ketinggian lebih tinggi dibandingkan geosynchronous earth orbit” alias berada lebih tinggi dari 35.780 kilometer di atas permukaan Bumi.
Emanuel Sungging, Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Antariksa LAPAN mengatakan pada satelit yang telah mati “ada skenario untuk menjatuhkan atau membiarkan jadi sampah di antariksa.”
Satelit, seperti Merah Putih milik Telkom atau BRISat milik Bank BRI juga akan mengalami kondisi demikian bila telah mati. Manusia sebagai pembuat satelit punya sistem mitigasi yang suatu saat memutuskan untuk menjadikan satelit sebagai sampah atau jatuh ke Bumi.
Editor: Suhendra