Menuju konten utama

Peristiwa Jatuhnya Lion Air JT-610 di Perairan Karawang pada 2018

Pada 2018 lalu, pesawat Lion Air JT-610 jenis Boeing 737-8 (Max) tujuan Jakarta-Pangkalpinang jatuh di perairan Karawang. 

Peristiwa Jatuhnya Lion Air JT-610 di Perairan Karawang pada 2018
Sejumlah armada pesawat Lion Air Group terparkir di Apron Terminal 1 C Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (30/4/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.

tirto.id - Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu (9/1/2021).

Sebelum jatuh, pesawat dengan nomor registrasi PK-CLC itu dilaporkan hilang kontak pada pukul 14.40 WIB, 4 menit setelah lepas landas.

Pesawat yang membawa 62 orang itu terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta menuju Pontianak.

Tidak ada yang selamat dalam tragedi ini. Hingga saat ini, tim gabungan masih terus melakukan pencarian puing-puing pesawat dan korban untuk diidentifikasi.

Peristiwa serupa juga pernah terjadi sekitar 2 tahun lalu, tepatnya 29 Oktober 2018. Pesawat Lion Air jenis Boeing 737 8 (Max) jatuh di perairan dekat Tanjung Karawang.

Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkalpinang tersebut membawa 178 penumpang dewasa, satu penumpang anak-anak dan dua penumpang bayi termasuk dalam penerbangan ini ada tiga pramugari sedang pelatihan dan satu teknisi.

Dilansir dari laman resmi Lion Air, pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP tersebut adalah buatan 2018 dan baru dioperasikan oleh Lion Air sejak 15 Agustus 2018.

Pencarian dan penyelamatan dilakukan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) dibantu Angkatan Udara Republik Indonesia. Dalam pencariannya, Basarnas mengerahkan 150 orang ke lokasi kejadian melalui kapal dan helikopter.

Penyebab Jatuhnya Pesawat

Dilansir dari laman berita Antara, tidak terdapat faktor tunggal dalam kecelakaan melainkan ditemukan sembilan faktor yang menjadi asumsi sehingga tidak dapat dikatakan sebagai penyebab.

Kesembilan faktor ini disampaikan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

"Apabila dari sembilan ini satu saja bisa terhindari, maka mungkin saja kecelakaan bisa tidak terjadi," kata Soerjanto, Ketua KTNK.

Faktor tersebut termasuk asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737 8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.

Kedua, mengacu pada asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk sistem peringatan dini atau Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.

Ketiga, desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.

Keempat, tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan menyebabkan pilot mengalami kesulitan melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya.

Kelima, informasi terkait indikator penunjuk sikap atau angle of attack Disagree tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan karena tidak tersedia di pesawat Boeing 737 8 (MAX) PK-LQP.

Sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.

Keenam, AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak teridentifikasi pada saat perbaikan sebelumnya

Ketujuh, kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi. Hal ini dikarenakan tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar.

Kedelapan, informasi mengenai stick shaker dan penggunaan non-normal Runaway Stabilizer pada perbangan sebebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan penerbangan mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapt mengambil tindakan yang tepat.

Kesembilan, situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat pelaksanaan prosedur non-normal dan komunikasi antar pilot berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja.

Hal tersebut disebabkan beberapa peringatan, berulangnya aktifasi MCAS dan padanya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.

Sementara itu, Pesawat Lion Air JT-610 dikomandoi Capt. Bhavye Suneja dengan copilot Harvino bersama enam awak kabin atas nama Shintia Melina, Citra Noivita Anggelia, Alviani Hidayatul Solikha, Damayanti Simarmata, Mery Yulianda, dan Deny Maula.

Kapten pilot sudah memiliki jam terbang lebih dari 6.000 jam terbang dan copilot telah mempunyai jam terbang lebih dari 5.000 jam terbang.

Baca juga artikel terkait LION AIR JT-610 JATUH atau tulisan lainnya dari Versatile Holiday Lado

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Versatile Holiday Lado
Penulis: Versatile Holiday Lado
Editor: Yandri Daniel Damaledo