Menuju konten utama

Penyelesaian Pembahasan RUU Pemilu 2019 Kembali Molor

Atas keterlambatan itu, DPR mengklaim masih banyak isu krusial yang harus dibahas seperti metode pemberian suara, penambahan jumlah kursi DPR, parliamentary threshold, presidential treshold, dana saksi, dan desain lembaga penyelenggara Pemilu.

Penyelesaian Pembahasan RUU Pemilu 2019 Kembali Molor
Warga memasukan kertas suara pada Pilgub DKI putaran dua di TPS 17, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (19/4). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Pengesahan Revisi Undang-Undang Pemilu kembali mengalami keterlambatan dari yang dijadwalkan. Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjanjikan RUU Pemilu selesai dibahas pada (28/4/2017), namun hingga tanggal yang sudah dijanjikan, pembahasan RUU Pemilu tidak juga selesai. DPR kembali menjanjikan (18/5/2017) dan DPR juga tak kunjung menepati janjinya. Untuk ketiga kalinya, DPR berjanji untuk menyelesaikan RUU Pemilu hingga Juni mendatang.

Atas keterlambatan itu, DPR mengklaim masih banyak isu krusial yang harus dibahas. Beberapa isu tersebut antara lain terkait metode pemberian suara, penambahan jumlah kursi DPR, parliamentary threshold, presidential treshold, dana saksi, dan desain lembaga penyelenggara Pemilu.

Menanggapi hal itu, pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menilai keterlambatan tersebut memiliki banyak konsekuensi seperti ketidakpastian penyelenggara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyiapkan proses pemilihan. Kedua, KPU akan kesulitan melakukan sosialisasi terhadap masyarakat. Jika sosialisasi terlambat, kata dia, maka ada kemungkinan publik kesulitan untuk memahami. Untuk itu, Ray menekankan agar DPR kembali memperhatikan jadwal RUU Pemilu yang molor.

Padahal, kata dia, isu yang sedang dibahas bukanlah isu yang substansial untuk masyarakat. Ray mengatakan, seharusnya yang direspons DPR adalah permasalahan-permasalahan penting yang dihadapi oleh masyarakat.

“Kalau belajar dari tiga kali revisi dan selalu molor, yang menjadi korban adalah masyarakat. Ini kan seolah-olah masyarakat karena ketidaktahuan masyarakat. Ini kan seolah-olah masyarakat tidak tahu tinggal datang ke TPS terus sedikit dia punya informasi boleh milih calon boleh milih partai. Tapi mereka belum mengerti soal konvensi suara dari satu partai ke partai yang lain,” ungkap dia usai lakukan diskusi bersama, di Halimun, Jakata Selatan, Jumat (19/5/2017).

Menyikapi hal yang sama, Deputi Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati ikut menyayangkan keterlambatan RUU Pemilu 2019. Selain menyoroti keterlambatan, ia juga mengatakan jika produk RUU belum matang, maka akan ada konsekuensi pada Pemilu 2009, terlebih Pemilu 2009 merupakan pemilu serentak pertama yang akan digelar.

Ia menerangkan bahwa masih ada beberapa isu yang belum selesai dibahas dan belum ada kata mufakat di fraksi-fraksi DPR dan pemerintah. Ada metode pemberian suara, penambahan kursi DPR, dana saksi, desain lembaga penyelenggara pemilu, parliamentary threshold, dan presidential threshold.

Dari beberapa isu krusial yang belum terselesaikan, salah satunya yakni terkait adanya dana saksi. Ia menilai, dan saksi belum tepat untuk diterapkan. Menurut dia, jika hal tersebut diterapkan maka pemerintah akan mengeluarkan dana APBN yang sangat besar.

“Kalau pada Pemilu lalu ada sekitar 500 ribu TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan Parpol yang ikut pemilu ada 15, berapa biaya yang harus dikeluarkan kalau (asumsinya) satu orangnya dibayar Rp300 ribu atau sama dengan honor panwas di tiap TPS,” ungkap Agustyati di lokasi yang sama, Jumat (19/5/2017).

Tak hanya itu, pemberian dana saksi ke Parpol juga memerlukan sistem yang tepat untuk mengatur penyaluran dana tersebut. Sementara, jika dana tersebut diberikan melalui partai, hal itu juga tidak memberikan jaminan jika dana tersebut aman.

Dana saksi pemilu, lanjut dia, merupakan kewajiban partai. Jika alasan wacana dan saksi itu digulirkan untuk memperkuat pengawasan saat pemungutan suara, menurut dia selama ini sudah bisa diatasi oleh penyelenggara pemilu melalui Panitia Pengawas Pemilu.

Baca juga artikel terkait REVISI UU PEMILU atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Hukum
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Alexander Haryanto