tirto.id - Pengecer BBM yang menyebut diri sebagai Pertamini belakangan kian menjamur di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, keberadaan Pertamini ini dinilai kalangan pengamat sebagai tindakan ilegal meski mirip peralatan yang dimiliki SPBU Pertamina.
Karenanya, usaha yang dilakukan itu pun melanggar UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas dan bisa dikenai denda hingga Rp60 miliar, demikian yang diungkapkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio di Jakarta.
"Keberadaan Pertamini sangat berbahaya. Pemerintah harus segera menertibkan, menindak, dan menutup usaha tersebut," jelasnya seperti dilansir dari Antara, Jumat (25/11/2016).
Menindaklanjuti keberadaan Pertamini yang dianggap ilegal itu, Agus menyatakan, pemerintah seharusnya bersikap tegas. “Sebab kalau tidak, maka keberadaan Pertamini akan semakin menjamur,” ungkapnya.
Padahal mereka tidak memiliki izin sebagai pengecer BBM, tidak memiliki standar takaran, serta pengamanan, lanjutnya, sedangkan sesuai UU yang berlaku hanya PT Pertamina (Persero) yang berhak menjual secara eceran.
"Harus ditindak dong [Pertamini]. Kan berdasarkan UU, yang boleh hanya SPBU. Kenapa didiamkan saja?" katanya.
Pertamini, lanjut Agus, mengabaikan soal keamanan, padahal usaha retail BBM sangat rawan dengan risiko kebakaran. Selain itu UU sudah mensyaratkan bahwa usaha eceran yang dilakukan SPBU harus memiliki kriteria tertentu, seperti lokasi tertentu, tempat yang harus terlindungi, adanya alat pemadam kebakaran, dan sebagainya.
Pihaknya menengarai, menjamurnya Pertamini bukan semata-mata karena pembiaran yang dilakukan pihak berwenang, namun karena adanya beberapa SPBU yang justru melayani para pembeli yang mempergunakan jirigen.
"Penjualan semacam itu sudah jelas merupakan pelanggaran. SPBU kan tidak boleh melayani pembelian dengan jirigen, itu ada aturannya loh. Terus, Pertamini itu beli dari mana? Kan tidak ada truk tanki berhenti di depan warung dan menjual kepada Pertamini," kata dia.
Menanggapi perkara itu, Ketua Hiswana Migas Eri Purnomohadi tidak menepis bahwa banyak masyarakat tertipu. “Mereka menganggap seolah-olah Pertamini adalah bagian dari unit usaha Pertamina, padahal tidak demikian. Pertamini adalah usaha eceran yang dilakukan di berbagai pelosok” tuturnya.
Menurut dia, keberadaan Pertamini sebenarnya tidak lepas dari kebutuhan pelayanan masyarakat akan BBM di berbagai pelosok, pada saat bersamaan, terdapat pula beberapa home industry yang membuat dan menjual peralatan pengecer.
Hanya saja, lanjutnya, karena keberadaan Pertamini melanggar UU serta tidak memiliki izin serta standar yang sudah ditentukan, maka seharusnya ditindak tegas.
"Pertamini bukan Pertamina. Pertamini tidak memiliki SOP, tidak memiliki standar, tidak memiliki izin. Mereka juga tidak memiliki standar takaran serta standar keamanan dan keselamatan lingkungan. Selain itu, operator Pertamini juga tidak di-training. Makanya, pemerintah daerah harus segera menindak tegas," katanya.
Sementara itu Samad, pengusaha Pertamini di Kampung Kramat, Setu Cipayung Jakarta Timur mengatakan, dirinya memesan peralatan pengecer BBM di daerah Depok. Untuk dua tabung, masing-masing berisi Pertamax dan Premium, harga yang dipatok home industry sebesar Rp10 juta.
"Untuk tabung penyimpanan, masing-masing kapasitasnya 110 liter. Jadi totalnya, Pertamax dan Premium, berisi 220 liter," katanya.
Samad mengakui banyak konsumen tertarik, karena peralatan Pertamini mirip SPBU Pertamina. Karena penampilannya yang lebih menarik itulah, dia mengaku bisa menjual lebih banyak dibandingkan jika menjual dengan botol.
Tetapi ketika ditanya soal perizinan dan alat pengamanan jika terjadi kebakaran, dia mengaku tak tahu-menahu. "Tidak perlu," kata dia.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari