Menuju konten utama

Pemerintah Diminta Kaji Kembali soal RUU Kesehatan

Pemerintah diminta kembali mengkaji secara komprehensif atas dampak yang akan ditimbulkan dari aturan di RUU Kesehatan.

Pemerintah Diminta Kaji Kembali soal RUU Kesehatan
Pekerja memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/aww.

tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law menuai kontra dan penolakan dari masyarakat. Hal itu lantaran adanya aturan terkait menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif.

Seperti ramainya penolakan yang disampaikan oleh warganet melalui media sosial Twitter. Pegiat media sosial, Denny Siregar melalui akunnya @DennySiregar7 mengatakan pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, terlalu mencampuri ranah personal masyarakat soal preferensi merokok. Dia menjelaskan aturan tembakau yang disamakan dengan narkotika dan psikotropika akan menimbulkan masalah besar.

“Ini yang buat RUU siapa sih? Kementerian Kesehatan?? Jangan bikin masalah baru deh. Kali ini urusannya udah personal," tulis akun @Dennysiregar7 dikutip dari akun media sosialnya, Selasa (18/4/2023).

Hal senada juga diutarakan oleh pegiat media sosial lainnya yakni @__AnakKolong. Dia menilai pemerintah harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip penyusunan regulasi yang baik dan benar.

"Penyusunan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law harus mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik & benar, agar tak jd "detonator" yang memantik masalah baru di kemudian hari,” tulisnya.

Dia menilai aturan itu berpotensi menimbulkan polemik baru di tataran ekosistem pertembakauan nasional dan berdampak secara luas di masyarakat. Dia mendorong agar pemerintah segera mengkaji secara komprehensif atas dampak yang akan ditimbulkan dari aturan di RUU ini. Dalam hal ini, suara dari pemangku kepentingan pertembakauan juga harus didengar sebagai pihak yang akan terdampak.

Untuk diketahui, penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika tertuang dalam pasal 154 ayat (3) RUU Kesehatan dengan bunyi: "zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Kondisi ini dinilai dapat menyebabkan multitafsir yang dapat memicu masalah yang lebih besar".

Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, menilai kontruksi penyusunan draf RUU Kesehatan melanggar sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus beberapa regulasi yang berlaku. Ali menyebut ada tiga putusan Mahkamah Konstitusi yang dilanggar dengan menyetarakan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika.

Ketiganya adalah Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, dan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013.

"Dalam ketiga putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa zat adiktif rokok tidak setara dengan kandungan zat adiktif lain seperti morfin dan sejenisnya, sehingga tidak perlu dikekang berlebihan. Ada logika hukum yang menyesatkan jika produk tembakau disamakan dengan narkotika” jelasnya saat dihubungi, Selasa (18/4/2023).

Oleh karena itu, Ali menilai rencana menyamakan tembakau dengan narkotika sebagai zat adiktif dalam satu definisi merupakan hal yang tidak rasional. Dia menambahkan, jika RUU Kesehatan ini tetap berjalan hingga sah, maka banyak hak konstitusional yang dilanggar.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan tembakau disetarakan dengan zat adiktif seperti narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol karena dampak bahaya merokok. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 154 Draf Rancangan Undang-Undang (RUU Kesehatan) Kesehatan.

Hal itu disampaikan Nadia menangapi penolakan dari para petani tembakau dan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Ketentuan tembakau sebagai zat adiktif dalam Omnibus Law RUU Kesehatan dinilai diskriminatif terhadap nasib mereka.

"Ini menjadi faktor risiko penyakit lain bukan hanya penyakit jantung atau kardiovaskuler tapi juga penyakit kanker atau penyakit kronik lainnya, dan pada akhirnya jadi beban ekonomi baik keluarga dan negara,” kata Nadia melalui pesan singkat kepada reporter Tirto.

Nadia menuturkan risiko kesehatan akibat merokok membuat penduduk produktif banyak yang tidak sehat dan membuat angka harapan hidup rendah.

“Walau bisa panjang umur tapi tidak sehat jadi ujungnya tidak produktif,” kata dia.

Meski begitu, Nadi menuturkan aturan ini tidak serta-merta membuat pemerintah tidak memedulikan atau angkat tangan terhadap nasib para petani tembakau.

Baca juga artikel terkait POLEMIK RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin