tirto.id - Alkisah, dua orang Lebanon bernama Abdul Rafai dan Mustafa membajak pesawat maskapai American Travelways Airline dengan nomor penerbangan 282. Pesawat itu sebenarnya akan terbang dari Kairo menuju New York. Tapi, Rifai dan Mustafa memaksa pilot Kapten Roger Campbell untuk mendaratkan pesawat bermuatan 144 penumpang itu di Beirut, Lebanon.
Mendengar kabar pembajakan pesawat itu, Pemerintah Amerika Serikat menugaskan pasukan khusus kontraterorisme Delta Force untuk membebaskan para penumpang pesawat dan sebisa mungkin melumpuhkan para pembajak. Jadilah plot berlanjut ke berbagai adegan heroik Mayor Scott McCoy dan pasukannya memberantas para teroris pimpinan Abdul Rifai.
Itulah plot utama film Delta Force (1986) yang dibintangi Chuck Norris. Film sempat jadi perhatian publik karena mengangkat isu sensitif tentang tindakan terorisme yang dilakukan orang-orang Lebanon. Terlebih, kelompok teroris yang berada di belakang pembajakan pesawat itu diceritakan berafiliasi dengan Hezbullah dan kelompok militan pro-Khomeini.
Ketika film itu rilis, Lebanon tengah dilanda perang sipil yang pecah sejak 1975. Tak mengherankan jika Lebanon dikenal sebagai lokasi konflik paling parah di Timur Tengah kala itu. Konflik itu makin kalut karena bercampur-baur dengan terorisme, perdagangan obat-obatan terlarang, dan kepentingan plitik negara adidaya.
Padahal, Lebanon sebelumnya dikenal sebagai negara multikultur yang cukup makmur. Pada dekade 1950-an dan 1960-an, Lebanon memiliki kekuatan finansial yang stabil. Negara ini bahkan dijuluki Switzerland of the East dan ibu kotanya, Beirut, didapuk sebagai Paris of the East.
Lebanon juga punya posisi penting dalam politik global karena tercatat sebagai salah satu anggota awal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan penggagas Liga Arab. Kampung halaman penyair Kahlil Gibran ini juga salah satu anggota Gerakan Non-Blok. Meski begitu, Lebanon juga sejak lama dilanda konflik internal berbasis agama.
Kota-kota di pesisir Lebanon kebanyakan dihuni oleh muslim Sunni dan umat Kristen. Sementara itu, muslim Syiah banyak menetap di bagian selatan dan timur. Mayoritas elite politik Lebanon adalah orang-orang Kristen Maronite. Kelompok ini sudah memegang peran penting dalam pemerintahan Lebanon sejak era kolonial Perancis (1920-1943).
Kursi Presiden Lebanon selalu diduduki oleh tokoh Kristen Maronite, sementara posisi perdana menteri dipegang oleh golongan Sunni dan juru bicara parlemen berasal dari Syiah. Di antara ketiga kelompok itu, Kristen Maronite memiliki kekuatan substansial karena mereka adalah kelompok mayoritas di parlemen.
Konflik di Lebanon makin pelik gara-gara pecahnya konflik Israel-Palestina. Konflik itu memicu eksodus ratusan ribu muslim Palestina ke Lebanon. Lalu, pada 1970, Palestine Liberation Organization (PLO) dan pimpinannya, Yasser Arafat, ikut pula memindahkan basisnya ke Lebanon.
Lebanon Memanas
Pada musim semi 1975, pertikaian antara Lebanese National Movement (LNM) dan partai Kristen Phalange memuncak jadi konflik terbuka. Pemerintah Lebanon gagal meredam konflik itu karena tersandera kepentingan politik. Alhasil, masyarakat Lebanon terpecah dalam dua kubu yang antagonistik: kelompok Kristen sayap kanan ekstrim yang berhaluan Barat berhadapan dengan muslim sayap kiri yang didukung oleh kelompok Pan-Arabik, aliansi Palestina.
Lalu, terbentuklah milisi Kristen Maronite yang didukung Rumania, Bulgaria, Jerman Barat, Belgia, dan Israel. Kelompok ini memiliki basis pendukung militan di wilayah utara Lebanon. Gabungan kekuatan terbesar milisi Kristen ini terbentuk dengan identitas politik National Liberal Party atau dikenal juga dengan sebutan Ahrar. Pemimpin mereka adalah Presiden Lebanon Camille Chamoun.
Pada 13 April 1975, terjadi penembakan di sebuah gereja di pinggiran Ain el-Rummaneh, Beirut bagian timur. Gereja itu baru dibuka oleh para pengikut Pierre Gemayel, tokoh partai Phalange. Empat orang dilaporkan tewas dalam penembakan itu dan dua di antaranya adalah anggota Phalange.
Meski pelaku penembakan belum teridentifikasi, orang-orang Phalange menyalahkan orang muslim atas insiden itu. Hanya berselang beberapa jam, mereka pun menyerang orang-orang Palestina. Menurut Yasser Arafat, setidaknya 26 orang Palestina tewas dan 19 lainnya terluka parah. Peristiwa itu lantas memanaskan tensi konflik antaragama di seluruh Beirut. Perang Sipil Lebanon pun dimulai.
Mengenai peristiwa penembakan itu, Ensiklopedia Britannica menulis, “Selama beberapa bulan kemudian, muncul “garis hijau” yang memecah Beirut jadi dua kubu: muslim yang menguasai bagian barat dan Kristen yang menguasai bagian timur. Pemisahan ini bertahan hingga akhir perang sipil pada 1990.”
Pembantaian Karantina
Usai peristiwa penembakan Ain el-Rummaneh, orang-orang Phalange memblokir jalan-jalan di seluruh Beirut. Mereka juga melakukan sweeping pada setiap orang yang melintas. Orang yang ketahuan muslim dan ratusan pengungsi Palestina dibunuh ditempat.
Tindak kekerasan ini memperhebat bentrokan antarmilisi. Kelompok Kristen radikal di sana mendapatkan dukungan dari Arab Saudi dan Israel yang sejak 1948 sudah beraliansi dengan Phalange.
Pada 18 Januari 1976—tepat hari ini 45 tahun silam, milisi Kristen Maronite menyerbu wilayah Karantina yang jadi hunian pengungsi muslim Palestina. Kelompok Kristen Maronite menuduh muslim Palestina telah memblokade jalur komunikasi antarwilayah Kristen di Beirut.
“Pasukan Kristen menginvasi wilayah Karantina dan menghabisi ribuan muslim. Dalam tiga hari, seluruh wilayah itu telah rata dengan tanah,” tulis Jonathan Marshall dalam The Lebanese Connection: Corruption, Civil War, and the international Drug Traffic (2012, hlm. 79).
Pihak muslim tentu tidak tinggal diam melihat pembantaian ini. Dua hari setelah peristiwa berdarah di Karantina, muslim Lebanon dan milisi sayap kiri LNM bersama orang-orang PLO balas membombardir Damour—wilayah Kristen Maronite di sebelah selatan Beirut.
Setelah dua pembantaian besar-besaran itu, Kota Beirut makin terbelah dan perang sipil pun memasuki fase baru yang lebih merusak hingga 1990.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi