Menuju konten utama

PBNU Harap 1 Muharram Jadi Momen Renungkan Makna Hijrah

PBNU menilai peringatan 1 Muharam atau Tahun Baru Hijriyah dapat menjadi momentum untuk memaknai hijrah seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

PBNU Harap 1 Muharram Jadi Momen Renungkan Makna Hijrah
Sejumlah umat muslim mengikuti tablig akbar dan doa bersama di Masjid Raya Bogor, Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/9/2017). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Tahun baru 1 Muharram 1439 Hijriyah atau 2017 Masehi merupakan momentum untuk merenungkan makna hijrah transformatif sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW. Pernyataan ini dipaparkan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini.

"Agama harus kita maknai sebagai ajaran yang transformatif sehingga kita bisa terus beradaptasi dan selalu siap dengan tantangan zaman yang kian hari kian kompleks," kata Helmy di Jakarta, Rabu (20/9/2017).

Helmy menuturkan, perpindahan Nabi Muhammad dari satu lokus Mekkah ke lokus yang lain Madinah memberi pelajaran, perspektif, dan spirit baru dalam berdakwah.

Dia mengatakan semua gerak kehidupan sejatinya menuju ke arah fitrah makna hijrah itu sendiri. Dalam bahasa yang idiomatik, hijrah bisa dirangkai dalam kerangka "minadz dzulumaati ilannuur", yaitu kegelapan menuju kondisi yang terang benderang.

Dalam konteks apa pun, kata dia, kerangka dan spirit hijrah bisa diterapkan. Dalam konteks pribadi, kerangka hijrah bisa digunakan sebagai kerangka untuk memperbaiki diri.

"Tentu saja sebagai elemen terkecil dan sekaligus terpenting dalam sebuah struktur sosial, pribadi yang baik akan melahirkan tata sosial yang baik," kata dia sebagaimana dikutip dari Antara.

Hijrah dalam konteks pribadi, lanjut dia, bisa dengan merevisi pandangan-pandangan yang ternyata selama ini keliru tapi diyakini kebenarannya.

Pandangan-pandangan yang terbukti salah dalam konteks pribadi tersebut seperti terlalu asyik beragama, tapi mengabaikan aspek lingkungan sosial di sekitarnya. Hal itu tentu harus diperbaiki dengan mengubahnya menjadi seimbang antara beragama sekaligus bersosialisasi.

Menurut dia, orang beragama jangan sampai larut dalam ritual di dalam tempat ibadah saja, tetapi begitu keluar justru keagamaan itu ditanggalkan. Contohnya, di jalan raya ada kecenderungan tinggi masyarakat melanggar lalu lintas.

Helmy mengatakan perilaku seperti itu tidak mencerminkan manusia-manusia yang beragama. "Pada posisi ini saya menjadi teringat apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh (1990). Abduh mengatakan bahwa 'Di Eropa aku melihat Islam, tapi tidak melihat Muslim. Sebaliknya di Timur Tengah, aku melihat banyak orang Islam, tapi tak ada Islam di sana'. Artinya, perilaku ke-Islaman itu tidak tercermin dalam perilaku sehari-hari," kata dia.

Maka, kata dia, dalam konteks sosial keagamaan umat Islam harus bisa bertransformasi dari pribadi yang berhijrah menuju masyarakat yang berhijrah. Transformasi dari hijrah pribadi menjadi hijrah masyarakat merupakan dua komponen yang saling terkait paut, keduanya tidak boleh dipisahkan satu sama lainnya.

Dia mengatakan masyarakat yang transformatif tersebut pada gilirannya akan melahirkan bangsa yang transformatif pula. Ini merupakan fase ketiga dalam transformasi hijrah dimulai dari pribadi, sosial, dan kebangsaan.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, kata dia, semangat hijrah bisa dijadikan alas untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang transformatif.

"Muara pembangunan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana prinsip dasar kaidah fikih 'tasharruful imaam alar raiyyah manuuthun bil maslahah' yang maksudnya keabsahan seorang pemimpin diukur dari kemampuannya menyejahterakan rakyatnya," kata dia.

Baca juga artikel terkait MALAM 1 MUHARRAM 2017 atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari