tirto.id - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendorong agar semua negara yang tergabung dalam kelompok 20 (G20) segera meratifikasi “Perjanjian Paris”. Hal tersebut guna mendukung pembangunan ramah lingkungan yang berkelanjutan.
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon berharap agar anggota G20 secepatnya meratifikasi Perjanjian Paris tersebut. “Pertemuan G20 diharapkan dapat menjadi momentum untuk percepatan ratifikasi Perjanjian Paris, segera dapat segera dilaksanakan," ujarnya seperti dilansir kantor berita Antara, Sabtu (3/9/2016) malam.
Ban Ki-moon menyatakan hal tersebut saat menghadiri penyerahan instrumen ratifikasi Perjanjian Paris oleh Cina dan Amerika Serikat di Hangzhou, Cina.
Seperti diketahui, Cina dan Amerika Serikat adalah pengkonsumsi energi terbesar di dunia, dan menjadi beberapa negara besar dengan emisi gas rumah kaca terbesar.
Perubahan iklim menjadi salah satu pokok bahasan dalam KTT ke-11 negara-negara G20. Perubahan iklim adalah salah satu tantangan krusial yang dihadapi dunia saat ini, dan diharapkan semua negara G20 mendukung Perjanjian Paris yang dihasilkan pada Sidang ke-21 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Dalam rumusan yang terus dimatangkan negara G20 telah bersepakat untuk mendukung dan mendorong ratifikasi Perjanjian Paris untuk dapat dilakukan oleh seluruh negara G20, dalam waktu dekat.
Perjanjian Paris adalah kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui "Nationally Determined Contribution" untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. Perjanjian tersebut didukung 195 negara, berbeda dengan periode pra-2015, ketika negara-negara kunci seperti Amerika Serikat dan Australia, absen.
Namun Perjanjian Paris akan berlaku jika diratifikasi setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55 persen emisi gas rumah kaca. Negara-negara dengan emisi gas rumah kaca yang tinggi, seperti Cina, Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, Jepang, dan India, juga menandatangani Perjanjian Paris.
Cina dan AS telah meratifikasi Perjanjian Paris pada Sabtu (3/9/2016) atau sehari sebelum pelaksanaan pertemuan puncak para pemimpin negara kelompok 20.
Perjanjian yang merupakan pengganti Protokol Kyoto, memuat perjanjian pembatasan kenaikan suhu global berada di bawah 2 derajat Celcius serta berupaya membatasi kenaikaan hingga 1,5 derajat Celcius.
Indonesia sendiri menargetkan ratifikasi selesai pada November mendatang, sebelum pertemuan tentang perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-22 di Marrakech.
Cina dan Amerika Ratifikasi Perjanjian Paris
Cina adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Perjanjian Paris. Parlemen Cina pada Sabtu (3/9/2016) telah meratifikasi perjanjian Paris mengenai perubahan cuaca. Ratifikasi tersebut dapat membantu perjanjian itu diberlakukan paling awal pada akhir tahun ini.
Komite kerja Kongres Nasional Rakyat Cina memutuskan untuk menerima "proposal itu guna meninjau kembali dan meratifikasi Perjanjian Paris" pada sidang rapat penutupan yang berlangsung sepekan.
Pengumuman tersebut keluar ketika 20 pemimpin ekonomi terbesar dunia (Kelompok 20/G20) mulai berdatangan di kota Hangzhou, Cina, untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi pada Ahad dan Senin. Negara-negara G20 bertanggung jawab atas sekitar 80 persen emisi karbon global.
Selain Cina, Amerika Serikat, yang berada di posisi kedua terbesar penyumbang emisi, juga meratifikasi perjanjian itu dalam usaha mengesahkannya sebelum akhir tahun ini.
Hampir 200 negara sepakat di Paris pada Desember lalu mengenai perjanjian global yang mengikat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjaga kenaikan suhu udara global di bawah 2 derajat Celsius.
Sementara 180 negara telah menandatangani persetujuan itu, 55 negara - yang mencakup sedikitnya 55 persen emisi global - perlu meratifikasi secara formal perjanjian tersebut menjadi produk hukum.
Sebelum China, 23 negara telah meratifikasinya - termasuk Korea Utara - tetapi mereka secara kolektif hanya penyumbang 1,08 persen emisi global, demikian Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim.
Cina bertanggung jawab atas 20 persen emisi global sementara AS (17,9 persen), Rusia (7,5 persen) dan India (4,1 persen).
UNEP dalam siaran pers yang dikeluarkan Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) Sabtu kemarin menyambut baik ratifikasi Perjanjian Paris tersebut.
"Pengumuman tersebut sangat penting. Kepemimpinan Cina dan AS sangat penting untuk memajukan Perjanjian Paris," kata Ketua Lingkungan Hidup PBB, Erik Solheim.
"Dengan meletakkan masa depan planet kita sebagai agenda utama, kedua ekonomi terbesar di di dunia itu juga memperlihatkan bahwa masa depan ekonomi kita berkarbon rendah dan hijau."
Menurut dia, perjuangan melawan perubahan iklim masih sulit dan mendesak tetapi apa yang dilakukan oleh negara-negara seperti Cina dan AS sungguh menggembirakan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz