Menuju konten utama

Pasar Modal 2023 Diprediksi Tetap Volatil, Ini Pemicunya

Pelaku pasar, khususnya investor, didorong untuk bijak menyikapi volatilitas yang ada.

Pasar Modal 2023 Diprediksi Tetap Volatil, Ini Pemicunya
Perdagangan bursa saham 2018 dibuka pada level 6.366 poin, angka tersebut naik 11 poin dibandingkan penutupan tahun lalu, Jakarta, Selasa (2/1/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Ekonom KB Valbury Sekuritas, Fikri C Permana memproyeksikan volatilitas pasar modal sepanjang 2022 masih akan berlangsung pada 2023. Pelaku pasar, khususnya investor, didorong untuk bijak menyikapi volatilitas yang ada.

"Kita tidak bisa melawannya. Apapun yang terjadi, yang perlu dicermati adalah bagaimana kita beradaptasi terhadap market dan sentimen yang ada di pasar saat ini, ujarnya di Jakarta, Selasa (13/12/2022).

Untuk saat ini, lanjut Fikri, volatilitas utama yang menjadi perhatian pelaku pasar yaitu interest rate. Sebagaimana diketahui, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin dalam empat kali pertemuan terakhir.

Menurutnya ada kemungkinan The Fed kembali mengerek suku bunga sebesar 50 bps pada Desember ini. Hal itu dilakukan bank sentral Amerika Serikat tersebut untuk mengurangi risiko inflasi yang dampak jangka panjangnya dapat menyebabkan pengurangan jumlah orang yang bekerja, yang pada akhirnya akan berdampak signifikan secara makro.

“Makanya The Fed menjaga ekspektasi market dengan menaikkan suku bunga," katanya.

Selain itu, saat ini juga ada volatility spillover yang disebabkan oleh perbedaan harga minyak. Namun hal positifnya adalah tren harga minyak saat ini yang berada di level yang lebih rendah dan musim dingin yang tidak sedingin perkiraan.

Peningkatan risiko resesi global juga menjadi faktor yang perlu dicermati pelaku pasar, kendati tidak perlu dicemaskan secara berlebihan. Terlebih, sejumlah lembaga internasional seperti IMF, OECD dan Bank Dunia mengekspektasikan pertumbuhan ekonomi dunia masih dalam jalur positif meskipun ada beberapa negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.

Sementara itu untuk Indonesia, pihaknya melihat ekspektasi perekonomian pada 2023 tetap tumbuh dengan level perkiraan antara 3,8 persen - 5,1 persen. Hal itu dikarenakan belum ada risiko penurunan dari beberapa lapangan usaha yang menjadi kunci utama di saat ada indikasi kemungkinan resesi, yakni jasa keuangan, infrastruktur, konstruksi/perumahan.

Namun demikian, dia mengingatkan bahwa selain risiko ekonomi seperti inflasi, suku bunga yang naik, pasar tenaga kerja dan lainnya, ada risiko non-ekonomi yang dinilai dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi RI.

Pertama, pelonggaran kebijakan zero COVID-19 di Cina yang merupakan negara ke-2 terbesar di dunia untuk sektor manufaktur. Kedua, pelaksanaan Pilpres 2024 termasuk dinamika politik yang menyertainya. Ketiga, tensi politik yang masih berlangsung antara Rusia dan Ukraina. Keempat, potensi perang dagang baru antara Uni Eropa dengan AS.

Senada, Head of Equity Investment Berdikari Manajemen Investasi, Agung Ramadoni menegaskan, bahwa tingkat uncertainty pasar masih terhitung tinggi. Selain faktor tekanan ekonomi sejumlah negara maju, ada faktor penerapan zero Covid policy di Cina serta krisis energi yang mengerek inflasi di banyak negara, yang pada lanjutannya menjadi faktor yang menyebabkan kenaikan suku bunga global.

Berbagai risiko uncertainty tersebut, lanjutnya, akan mempengaruhi kondisi pasar pada 2023. “Equity market cenderung lebih perform. Tetapi yang perlu diwaspadai adalah pada saat nanti ketika central bank policy-nya mulai back to easing, mulai menurunkan suku bunga, tetapi keadaan ekonomi dan datanya malah cenderung lanjut memburuk. Itu yang menjadi concern kita di tahun depan, ujar Agung.

Dia memaparkan berdasarkan data-data atau indikator perekonomian yang ‘leading’ dari negara-negara maju seperti AS, Cina, dan Eurozone yang cenderung akan melambat dalam jangka pendek ini, maka kebijakan bank sentral dunia seperti The Fed akan lebih cenderung tidak terlalu agresif ke depannya. Hal ini diyakini akan berpotensi memberikan sentimen positif bagi pasar saham baik di dunia maupun di Indonesia.

“Namun kembali lagi, untuk pasar saham dapat menguat jauh lebih tinggi lagi harus adanya rotasi sektor," jelasnya.

Baca juga artikel terkait PASAR SAHAM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin