Menuju konten utama

Para Pemegang Stopwatch

Keberhasilan menyelesaikan Tol Trans Jawa adalah sebuah legacy yang bisa ditawarkan pemerintahan Jokowi. Dan jangan lupa, 60 persen penduduk (baca; pemilih) Indonesia tinggal di Pulau Jawa.

Para Pemegang Stopwatch
avatar teguh

tirto.id - Tol Jawa akan tersambung pada tahun 2018. Kalimat indah ini muncul dengan enteng dari seorang yang dikenal publik sebagai seorang pakar hukum tata negara, yang kebetulan tengah menyandang status sebagai komisaris utama PT Jasa Marga, sebuah BUMN Infrastruktur, Refly Harun.

Refly melontarkannya pasca PT Jasa Marga melakukan RUPSLB, (29/8/2016) untuk menggolkan niat melakukan right issue demi menghimpun dana sebesar Rp1,8 triliun. Dana itu untuk membiayai Jalan Tol Semarang-Batang, Jakarta-Cikampek Elevated, dan Pandaan-Malang. Proyek itu bagian dari penyelesaian Tol Trans Jawa.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo memang tengah mengebut proyek ini. Ruas tol Pemalang – Semarang dijadwal tuntas 2018, ruas tol Semarang – Solo selesai awal 2018, ruas tol Solo – Ngawi siap pada Desember 2016, ruas tol Ngawi – Kertosono rampung Juli 2017. Jika proyek selesai, Merak hingga Surabaya yang bejarak sekitar 661 km akan terkoneksi sepenuhnya dengan jalan tol tanpa putus.

Setahun kemudian, di tahun 2019, panjang Tol Trans Jawa ditarget sudah sampai ke ujung timur, yakni di Banyuwangi. "Trans Jawa 2018 itu yang selesai Merak-Surabaya. Kalau semuanya itu 2019 dari Merak sampai Banyuwangi," kata Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, (1/7/2016).

Para kontraktor yang bertanggung jawab merealisasikan proyek ini mestinya langsung sakit gigi. Faktanya, dari seluruh ruas Tol Trans Jawa yang direncanakan pembangunannya, sampai saat ini baru 30% yang telah beroperasi. Hanya punya waktu 2 tahun ke depan untuk menebus ketertinggalan yang mencapai 70% itu.

Dan lagi, sebelumnya, kita tak pernah punya pengalaman membangun jalan tol semasif ini. Selama 70 tahun merdeka, Indonesia hanya punya total panjang jalan tol 810 km. Jumlah itu hanya seujung kuku panjang jalan tol di Cina yang mencapai 85.000 km. Dan Cina, masih terus menambahnya dengan membangun ruas jalan tol baru 5.000 km per tahun. Di tahun 2030, Cina akan punya 265.000 km jalan tol.

Melihat fakta ini, menggeber penyelesaian Proyek Jalan Tol Trans Jawa tak ubahnya pertaruhan besar. Tapi harus diakui, strategi menyelesaikannya adalah langkah paling brilian yang bisa dilakukan Jokowi sebagai presiden saat ini, dalam konteks ia sebagai incumbent dalam Pilpres 2019.

Walau menjadi pemenang mandat rakyat pada Pilpres 2014, sejatinya posisi Jokowi rentan. Ia tak punya back up partai politik yang kuat dan stabil. PDIP yang mestinya ada di belakang Jokowi, faktanya tak selamanya se-ia sekata dengan presiden. Justru lebih banyak beradu punggung. Di seberangnya, Gerindra dan PKS bertindak sebagai hiena yang mengintai kealpaan sang Singa.

Ini juga perbedaan besar antara Jokowi dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jokowi tidak menjadi pemimpin parpol mana pun dan tidak juga mengontrol secara struktural partai manapun. SBY relatif stabil karena ia menguasai partai pemenang pemilu secara penuh.

Kondisi ini memaksa Jokowi, banyak menggunakan jalur relawan dan figur-figur kuat seperti Hendropriyono dan Luhut Pandjaitan. Belakangan dukungan politiknya memang bertambah, setelah Golkar berhasil dibelokkan menjadi ‘partai cadangan’ untuk Jokowi, namun tetap saja Jokowi butuh ‘kredit’ untuk menaikkan posisi tawar di mata publik, dan di mata partai politik.

Demi tujuan itu, keberhasilan menyelesaikan Tol Trans Jawa adalah sebuah legacy yang bisa ditawarkan. Enam puluh persen penduduk (baca; pemilih) Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Setiap tahun mobilitas mereka tinggi, apalagi Indonesia mengenal musim mudik Lebaran. Memori mereka akan gampang tertancap pencapaian ini. Itu suara yang sungguh potensial.

Rencana sudah ada, siapa yang mengawal? Nah, Itulah fungsi Refly Harun, seorang pakar Hukum Tata Negara, di PT Jasa Marga. Refly tak sendiri.. banyak relawan atau unsur pendukung Jokowi menjadi komisaris di berbagai BUMN, khususnya Infrastruktur.

Di PT Adhi Karya (Persero) Tbk, telah duduk Muhammad Fadjroel Rachman sebagai komisaris utama dan Hiranimus Hilapok yang dulu aktif di Rumah Transisi Jokowi-JK. Sementara di PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, muncul Nurrachman yang dulu aktif di Posko Cemara 19, yang merupakan posko pemenangan Jokowi for President (JKW4P).

Kemudian di PT Waskita Karya (Persero) Tbk, ada Victor S Sirait yang anggota Tim Transisi Jokowi-JK. Sedangkan di PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, ada Andi Gani Nena Wea dari Forum Relawan Jokowi.

Di unsur pendukung infrastruktur, dalam daftar tercantum Roy E Maningkas dari Tim Transisi Jokowi-JK dan Hilmar Farid dari Seknas Jokowi. Mereka komisaris di PT Krakatau Steel (Persero) TBK, Kemudian di PT Rekayasa Industri muncul Rahmat Hidayat Pulungan.

PT Semen Indonesia (Persero) Tbk ada Sony Subrata, sedangkan PT Semen Baturaja (Persero) TBK muncul Kiki Rizki Yoctavian dari Pospera (Posko Perjuangan Rakyat).

Mereka lah para pemegang stopwatch proyek infrastruktur yang dicanangkan Jokowi. Selain sebagai reward atas jerih payah di Pilpres 2014, fungsi mereka adalah mengawal proyek-proyek infrastruktur vital agar berjalan tepat waktu.

Mereka mata, telinga sekaligus pecut keberhasilan proyek infrastruktur. Keberhasilan membangun Tol Trans Jawa dan banyak proyek vital lainnya selesai sebelum Pilpres 2019 akan menaikkan elektabilitas Jokowi di mata publik, dus …menaikkan posisi tawarnya di mata parpol.

Dalam situasi seperti itu, pesona itu akan seperti sirep. Siapapun yang berniat menantang Jokowi di tahun 2019, rasanya akan muskil melampauinya. Beruntung Golkar berdurasi tinggi. Mungkin mereka sudah mencium ini sejak awal. Karenanya, mereka jauh hari sudah menawarkan kendaraan untuk Jokowi pada 2019.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.