Menuju konten utama
Gangguan Ginjal Akut Misterius

Pakar Griffith Ungkap Implikasi jika KLB Tak Segera Ditetapkan

Respons pemerintah antardaerah dan pusat bisa jadi sangat jomplang dan disparitas perlakuan terhadap kelompok orang yang tidak memiliki akses.

Pakar Griffith Ungkap Implikasi jika KLB Tak Segera Ditetapkan
Ilustrasi Gagal Ginjal Akut. foto/IStockphto

tirto.id - Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global (global health security) dari Griffith University Dicky Budiman menilai jika pemerintah Indonesia tidak menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) terhadap kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak, maka salah satu akibatnya respons pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat akan sangat jomplang.

“Ketika penyakit yang sebetulnya bersifat outbreak atau wabah atau kejadian luar biasa tidak ditetapkan sebagai status darurat kesehatan atau KLB itu, maka pertama respons pemerintah antardaerah dan pusat menjadi sangat jomplang, disparitas, terjadi pengabaian pada kelompok-kelompok orang yang tidak memiliki akses, pada kelompok orang yang tidak memiliki kemampuan secara finansial,” tutur dia ketika dihubungi Tirto pada Rabu (26/10/2022) siang.

Selain itu, Dicky memandang bahwa akan terjadi ketidakadilan atau ketidaksetaraan dalam proses mendapatkan pelayanan kesehatan bagi pasien gangguan ginjal akut misterius pada anak.

Hal ini dikarenakan adanya disparitas atau perbedaan respons di pemda dan pemerintah pusat, tidak terbangunnya kepekaan dalam menghadapi krisis (sense of crisis), serta tidak terbangunnya kesadaran masyarakat (public awareness).

“Itu sains ya. Yang saya sampaikan ini riset ya, riset. Jadi kalau pemerintah satu negara memaksakan karena kepentingan politik ekonomi dan lain sebagainya, akhirnya tidak menetapkan satu potensi wabah itu jadi tidak sebagai status wabah, yang terjadi adalah pengulangan,” terang dia.

Contohnya, tutur Dicky, terdapat lima kali kasus anak-anak keracunan obat sirup yang tercemar oleh etilen glikol (EG) di India sejak lebih dari tiga dekade atau sejak tahun 1972 silam. Menurut dia, meskipun negara tersebut sudah merespons, namun tidak membangun sense of crisis dan public awareness yang mengakibatkan tidak terbangun penguatan di berbagai sektor serta kasusnya terus berulang.

Kemudian dia mengatakan bahwa jika pemerintah Indonesia mengabaikan penetapan status KLB ini terhadap kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak, maka sistem kesehatan akan begitu-begitu saja dan tidak meningkat. Adapun semua akan merugi jika pemerintah tidak menetapkan status KLB ini.

Secara ilmiah, sambung Dicky, penetapan KLB ini terbukti menimbulkan implikasi positif terkait respons pemerintah pusat dan pemda, bahkan antarpemda seperti responsnya bisa seragam dan kuat. Karena di daerah ada disparitas pemahaman, sense of crisis, serta kemampuannya.

“Semua dipastikan masyarakat sebagai subjek dari penetapan status ini mendapatkan haknya untuk mendapatkan layanan, termasuk tanpa terkecuali adalah masyarakat secara umum yang bukan hanya ada di fasilitas kesehatan atau sudah dirawat di rumah sakit saja. Itu secara keilmuan begitu,” kata Epidemiolog Griffith University tersebut.

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril membeberkan alasan mengapa sampai saat ini pemerintah belum menetapkan kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak di Indonesia sebagai KLB. Karena penetapan KLB pada suatu penyakit harus sebagai penyakit menular, sedangkan gangguan ginjal akut misterius bukan penyakit menular.

Hal ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.

Kendati demikian, Kemenkes klaim telah merespons cepat terkait kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak, yang secara komprehensif dilakukan sebagai respons dalam keadaan KLB.

Baca juga artikel terkait STATUS KLB GINJAL AKUT atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri