tirto.id - Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto tak pernah bosan bicara soal kekayaan Indonesia yang mengalir ke luar negeri. Namun, ia tak pernah menjelaskan seperti apa bentuk “kekayaan” yang dimaksud.
Pada debat ke-4 Pilpres 2019 yang digelar pada Sabtu malam, 30 Maret 2019, misalnya, ia mengklaim bahwa teknologi informasi berpotensi mempercepat arus keluarnya uang ke luar negeri. Namun, seperti biasa, ucapan tersebut tak dielaborasi lebih jauh dalam debat maupun setelahnya.
“Kita boleh punya sistem yang hebat, kartu yang banyak, semua serba cepat, tapi untuk apa kalau kekayaan kita mengalir ke luar negeri," ujar bekas Danjen Kopassus itu, di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat.
Jika berkaca pada sejumlah kasus di Indonesia, masalah larinya uang ke luar negeri karena pesatnya perkembangan IT sebenarnya sudah lama disadari pemerintah. Dalam konteks ini, salah satu contohnya adalah transaksi dalam perusahaan-perusahaan internet global, seperti Google.
Keuntungan besar yang diraup Google dari transaksi tak setimpal dengan setoran pajak yang diterima pemerintah. Raksasa digital asal Amerika Serikat itu baru menyetorkan pajaknya pada 2015 lantaran selama ini tak tercatat sebagai badan usaha tetap (BUT).
Padahal, Google sudah memiliki kantor perwakilan di Indonesia sejak 2013—bertempat di Sentral Senayan, Jakarta Selatan.
Berdasarkan catatan Direktorat Jederal Pajak (DJP), ia hanya terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura. Pendaftaran tersebut tercatat sejak 15 September 2011 di KPP Tanah Abang III dengan status penanaman modal asing (PMA).
Langkah pemerintah untuk mengejar pajak dari Google dan perusahaan jasa internet lainnya pada 2016 adalah salah satu strategi untuk menggenjot penerimaan pajak. Hal ini dilakukan pemerintah di luar program tax amnesty yang digalakkan era Jokowi-JK.
Sayangnya, setoran pajak yang masuk ke kantong negara masih terbilang kecil bila dibandingkan nilai pendapatan yang dibukukan Google.
Seperti dikutip Bloomberg, Google Indonesia pada 2015 hanya menyetorkan sebesar Rp5,2 miliar dari atau 25% dari penghasilan kena pajaknya, yakni Rp20,88 miliar. Padahal, dalam Laporan Keuangannya, pendapatan yang dibukukan Google Indonesia sebesar Rp187,5 miliar.
Lantaran itu, Ditjen Pajak tak serta merta terima dengan angka yang disampaikan. Sesuai data yang dirilis perusahaan riset AS eMarketer, total pendapatan dari bisnis iklan digital di Indonesia pada 2015 adalah sebesar 830 juta dolar AS.
Berdasarkan angka tersebut, Ditjen Pajak menaksir bahwa kewajiban pajak Google bisa mencapai Rp450 miliar per tahun, dengan asumsi margin keuntungan sebesar Rp1,6 triliun-Rp1,7 triliun per tahun. Margin itu diraup dari total pendapatan Google yang sekitar Rp5 triliun per tahun.
Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Bima Yudhistira menyampaikan, untuk mengoptimalkan potensi pajak dari perusahaan over the top seperti Google memang tak mudah. Syaratnya, mau tak mau, Google harus menjadi Badan Usaha Tetap di Indonesia.
“Selama ini pembayaran pajak masih dilakukan melalui Google Asia Pasifik di Singapura padahal ada operasional di Indonesia. Kan lumayan Rp450 miliar bisa membiayai 450 desa di Indonesia kalau dipakai dana desa,” ucap Bhima.
Di luar Indonesia, sejumlah negara mulai mengoptimalkan potensi pendapatan pajak perusahaan over the top seperti Google ini. Otoritas pajak Inggris, misalnya, berinovasi dengan skema diverted profit tax.
Dengan skema itu, Inggris menciptakan item pajak baru yang diperkuat dengan undang-undang. Dengan aturan setingkat undang-undang itu pula, Inggris leluasa menciptakan klausul penarikan pajak perusahaan over the top (OTT) di luar negeri.
Perusahaan OTT asing yang menarik untung di Inggris, tapi tak membayar pajak 80 persen dari taksiran Inggris di tempat induk perusahaan, harus membayar pajak di Inggris.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan bukan tidak mungkin Ditjen Pajak meniru langkah Inggris. Masalahnya, ujar dia, perlu ada kemauan dan sumber daya manusia yang kreatif.
Tanpa aturan baru, kata Yustinus, negosiasi yang telah dilakukan pemerintah pada 2016 lalu merupakan langkah yang paling mungkin dilakukan sembari menunggu keterbukaan dan pertukaran informasi perpajakan dunia pada 2020 mendatang.
Direktur Perpajakan Internasional, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan, skema pajak yang ditetapkan untuk perusahaan multinasional seperti Google masih menggunakan mekanisme yang berlaku dalam UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan, meskipun ia tak berbentuk usaha tetap.
"Untuk yang non-but perusahaan multinasional itu, kan, ada ketentuannya, tapi kalau untuk perusahaan yang secara khusus, Google, Twitter, saya tidak bisa sebutkan berapa pajak yang disetorkan,” kata John saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz