Menuju konten utama

OPM Tak Peduli Isu Darurat Sipil yang Dilontarkan Pimpinan DPR

Jika status darurat sipil diterapkan di Papua maka negara berpotensi melakukan pelanggaran HAM karena kepemilikan wewenang yang semakin besar.

OPM Tak Peduli Isu Darurat Sipil yang Dilontarkan Pimpinan DPR
Pengibaran bendera Bintang Kejora Papua Merdeka di Papua. Doc.Istimewa

tirto.id - Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom tidak peduli dengan pernyataan Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Lodewijk Paulus perihal Papua kini berstatus darurat sipil.

"Apa pengertian darurat sipil? Bahaya atau tidak? Darurat militer atau sipil?" kata Sebby kepada Tirto, Senin, 14 Februari 2023.

"Kami tidak bisa paham orang-orang yang oportunis, kapitalis. Kepedulian mereka sejauh mana terhadap rakyat Papua?" sambung dia.

Lodewijk sempat berujar kepala daerah dan aparat penegak hukum harus mengusut tuntas penyanderaan pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philips Max Marthin oleh TPNPB-OPM. Langkah tersebut perlu dilakukan karena kondisi Papua kini berstatus darurat sipil.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyorot omongan Lodewijk, lantaran belum ada keputusan resmi dari Presiden ihwal status operasi keamanan di Papua dan penyelesaian masalah melalui pendekatan keamanan tidak menyelesaikan konflik di Papua.

"Pernyataan tersebut sangatlah berbahaya, sebab dapat memicu eskalasi kekerasan dan dapat memperparah situasi kemanusiaan di Papua. Dikhawatirkan pernyataan itu dijadikan validitas oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan yang berlebihan dan sewenang-wenang," ucap Fatia Maulidiyanti, Koordinator Kontras, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 11 Februari 2023.

Sebab melalui kebijakan darurat sipil negara memiliki wewenang yang begitu besar dan berpotensi terjadi adanya pelanggaran hak asasi manusia. Maka sepatutnya pejabat negara tidak reaktif menyikapi situasi konflik yang sedang terjadi.

Merujuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, kebijakan darurat sipil membuat pemerintah dapat melarang atau membatasi pengiriman berita atau percakapan melalui telepon maupun radio, menggeledah tempat-tempat di luar kehendak pemilik hingga dapat mengontrol semua akses informasi seperti penyebaran tulisan/gambar dan penerbitan.

"Wewenang pemerintah yang besar akan menimbulkan persoalan baru dan warga sipil yang tidak bertikai dapat menjadi korban," terang Fatia.

Baca juga artikel terkait DARURAT SIPIL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky