tirto.id - Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid menyatakan Ketua Umum Golkar Setya Novanto (Setnov) akan menerima sanksi indisipliner dari partainya. Sanksi itu diberikan karena Setnov dianggap melanggar pakta integritas usai menjadi tersangka korupsi e-KTP di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Nurdin, agenda Rapat Pleno DPP Golkar pada Jumat besok (29/9/2017) tidak hanya untuk mendengar jawaban Setnov soal rekomendasi penonaktifannya dari kursi Ketua Umum. Forum itu juga akan membahas pemberian sanksi indisipliner bagi Setnov.
"Seluruh struktur partai yang bersedia menjadi pengurus ada pakta integritas, besok rapat akan didiskusikan seberapa jauh kami menerapkan pakta integritas itu secara resmi," kata Nurdin di Hotel Menara Peninsula, Jakarta Barat, pada Kamis (28/9/2017).
Pakta integritas yang dimaksud oleh Nurdin adalah 7 poin yang disepakati pada Munaslub Golkar 2016 atau bersamaan dengan terpilihnya Setnov sebagai ketua umum.
Dalam poin nomor 6 pakta tersebut berbunyi, "Kader Golkar bersedia mengundurkan diri dan atau diberhentikan dari kepengurusan DPP Golkar apabila terlibat kasus narkoba, tindak pidana korupsi dan atas tindak pidana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Putusan Sidang Praperadilan Setnov Tak Berpengaruh
Selanjutnya, Nurdin menyampaikan rapat pleno pada Jumat besok tidak akan dipengaruhi oleh apapun hasil dari sidang putusan praperadilan Setnov di hari yang sama.
Menurut dia, urusan praperadilan berkaitan dengan hak pribadi Setnov sebagai tersangka korupsi e-KTP. Sedangkan rapat pleno merupakan perkara keorganisasian Partai Golkar. Sebab, menurut dia, berdasar kajian DPP Golkar, kasus korupsi e-KTP yang membelit Setnov telah membuat elektabilitas Golkar anjlok.
"Nanti tetap akan dievaluasi, seperti saya bilang, seberapa jauh pengaruh (korupsi) e-KTP ini terhadap kinerja partai, khususnya elektabilitas dan popularitas," kata Nurdin.
Nurdin mengimbuhkan, pada 2012, survei elektabilitas Golkar berada di kisaran 20, 21 dan 22 persen. Tapi, pada saat Pemilu 2014, hasil Golkar hanya 14 sekian persen.
Sedangkan sekarang, kata Nurdin, berdasar riset dari pelbagai lembaga survei, elektabilitas Partai Golkar cuma 11 persen. Bahkan, ada lembaga yang menyimpulkan elektabilitas Golkar tinggal tujuh persen.
"Ini kan berbahaya, Golkar bisa tidak lolos di parliamentary threshold," kata Nurdin.
Dalam hasil Rapat Paripurna DPR tentang UU Pemilu, pada 20 Juli lalu, parliamentary treshold ditetapkan sebesar 4 persen dan presidential treshold sebesar 20-25 persen.
Karena perkiraan elektabilitas cuma tujuh persen, Nurdin melanjutkan, Golkar terancam gagal merealisasikan misi memenangkan Presiden Joko Widodo sebagai Capres di Pemilu 2019.
Meskipun demikian, berbeda dengan Nurdin, Ketua DPP Golkar Ali Wongso justru berpendapat tidak seharusnya partainya menonaktifkan Setnov.
Menurut dia, kini yang perlu dilakukan oleh Golkar adalah melakukan konsolidasi dan menggerakkan semua kader di tingkat basis, baik kelurahan maupun kecamatan, untuk mengerek elektabilitas partai.
Dia juga berpendapat Setnov tidak harus mengikuti kesimpulan kajian elektabilitas tersebut. "Apalagi itu bukan keputusan rapat pleno harian. Tidak ada di situ sifat kekuatan yang konstitusional," kata Ali.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom