Menuju konten utama

Nurcholish Madjid Tegak di Tepi Tebing Curam

Nurcholis Madjid adalah sosok pemikir yang sering melempar gagasan pembaruan pemikiran Islam.

Nurcholish Madjid Tegak di Tepi Tebing Curam
Ilustrasi Nurcholish Madjid. tirto.id/Quita

tirto.id - Sampul majalah TEMPO edisi 29 Juli 1972 itu menampilkan foto Nurcholish Madjid. Ia terlihat tersenyum, tanpa kacamata, melirik ke kanan. Judul “Neo-Islam di Indonesia” bercokol di bagian kiri atas.

Laporan utama edisi tersebut mengupas gerakan pembaruan pemikiran Islam yang “dipimpin” Nurcholish. Bersamanya, ada Utomo Danandjaja dari Gerakan Pemuda Islam ( GPI), Usep Fathuddin dari Pelajar Islam Indonesia (PII), dan sejumlah nama lain. Ini gerakan penuh risiko, tulis TEMPO mengutip sejarawan Taufik Abdullah.

“Mereka berdiri di pinggir tebing yang sangat curam dan inilah salah satu bedanya dengan para pembaharu yang terdahulu seperti KH Ahmad Dahlan dan lain-lain,” kata Taufik yang meraih PhD dari Cornell University tentang peran anak muda di Minangkabau pada masa kolonial tersebut.

Apa yang berbahaya sejatinya? Taufik mengatakan, para pembaru terdahulu mengarahkan usaha mereka pada kemurnian doktrin Islam. Sementara, Nurcholish dan kawan-kawan berikhtiar agar penafsiran doktrin relevan dengan perkembangan dunia.

Tonggak awal gerakan adalah pidato Nurcholish berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” pada 3 Januari 1970 dalam acara halal bihalal GPI, PII, HMI, dan Persami di Jakarta.

Pada kesempatan tersebut, Nurcholish membentangkan sejumlah persoalan yang sangat genting dan mendesak, khususnya menyangkut nasib umat yang tercerai-berai karena perbedaan paham dan afiliasi kepartaian. Nurcholish membujuk kaum Muslim Indonesia untuk menerabas kejumudan. Ia menyarankan kebebasan berpikir dan urgensi the idea of progress.

Banyak kalangan meyakini kontroversi lantas meletus keras lantaran pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, itu memilih kata yang dianggap tabu selama ini: sekularisasi.

Salah seorang tokoh NU, seperti dikutip TEMPO edisi tersebut, Subhan ZE mengatakan tidak perlu ada pembaruan pemikiran Islam. Sebab, pada dasarnya semua sudah jelas. Ia menilai upaya Nurcholish dan kawan-kawan sudah terlalu jauh.

Dari aras Islam modernis, juga muncul penolakan. Pemuka Masyumi, M Natsir, mengatakan pembaruan pemikiran Islam tidak relevan. Selain itu juga berpotensi keluar dari hakikat Islam. Natsir juga menyarankan agar mereka tidak membawa-bawa Islam.

“…untuk tidak memberi nama Islam pada pada paham sendiri yang tidak ada hubungannya dengan Islam, dengan fiqh Islam, atau dengan asas-asas jurisprudensi Islam seperti dalam hal menghadapi masalah judi dan lain-lain,” kata Natsir seperti dikutip TEMPO.

Selama beberapa bulan setelahnya, Nurcholish coba menjelaskan lebih jauh pemikirannya. Dalam esai “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam,” Nurcholish menegaskan, pengertian pokok sekularisasi ialah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Ilmu pengetahuan sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaan.

Sekularisasi adalah memisahkan hal-hal yang sakral dan yang profan. Sekularisasi mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan kesakralan dari objek-objek yang sejatinya tidak sakral. Sebagai contoh, Islam itu sakral, tapi partai Islam tidak sakral. Inilah yang melahirkan jargon “Islam, Yes; Partai Islam, No.”

Satu hal, sekularisasi berbeda dengan sekularisme.

“Sekularisme adalah paham keduniawian. Paham itu mengatakan bahwa kehidupan duniawi itu adalah mutlak dan terakhir, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya agama-agama menamakannya hari kemudian, hari kebangkitan, dan lain-lain,” lanjut Nurcholish.

Tanggapan terus bermunculan. Misalnya, dari mantan Menteri Agama HM Rasjidi yang menyusun kontra-argumen terhadap pemikiran Nurcholish dalam buku Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi.

Melegitimasi Orde Baru?

Tudingan miring lain beraroma politis. Pemikiran Nurcholish dinilai melegitimasi praktik pembangunan politik Orde Baru. Literatur sejarah menyatakan Orde Baru alergi dengan hal-hal berbau politik Islam. Contoh paling terang-benderang adalah penolakan atas rehabilitasi nama dan pengaktifan kembali Masyumi sebagai partai politik.

“Mengenai pandangan beberapa pengamat bahwa pemikiran saya saat itu menjustifikasi tatanan sosial politik Orde Baru, saya kira pengaruh itu memang ada. Karena seperti kata pepatah Perancis, “Kawan dari kawan saya adalah kawan saya. Musuh dari musuh saya adalah kawan saya.” Karena kebetulan waktu itu Orde Baru tidak cocok dengan Masyumi, dan saya tidak cocok dengan Masyumi, maka sepertinya saya menjadi “teman” dari Orde Baru,” ujar Nurcholish seperti dikutip Budhy Munawar-Rachman dalam kata pengantar Karya Lengkap Nurcholish Madjid.

Pria yang akrab disapa Cak Nur ini menyatakan sangat sadar bahwa pemikirannya menjustifikasi Orde Baru. Tapi, pilihan lainnya buruk sekali untuk umat Islam. Jadi, kalau dikalkulasi, harga pilihan itu masih lebih murah.

Polemik tentang gagasan pembaruan pemikiran Islam muncul lagi setelah Nurcholish menyajikan ceramah berjudul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 21 Oktober 1992. Lagi, Nurcholish memilih berdiri “di tepi tebing curam” seperti 22 tahun sebelumnya.

Infografik Al Ilmu Nurcholish madjid

Infografik Al Ilmu Nurcholish madjid

Di sana, Nurcholish menyarankan kehidupan beragama yang berorientasi pada keislaman yang hanîf (“toleran dan penuh kelapangan”) sebagai alternatif dari sikap keagamaan yang fundamentalis dan radikal.

Reaksi atas ceramah ini juga berlangsung berbulan-bulan. Salah satu puncaknya adalah kegiatan di Masjid Amir Hamzah di Kompleks TIM, Jakarta, 13 Desember 1992. Acara tersebut diberi nama “Telaah Kritis terhadap Gerakan Pembaruan Keagamaan di Indonesia.”

Hadir sebagai pembicara adalah alumnus Universitas Kairo Daud Rasyid, mantan Ketua Umum PB HMI Ridwan Saidi, dan pengasuh Ponpes Husnayaian, KH Kholil Ridwan.

“Forum “pengadilan” ini cukup mendapat sambutan antusias, baik dari anak-anak muda laki dan perempuan, maupun kalangan tokoh agama lainnya. Sehingga masjid yang hanya mampu menampung sekitar 500 jemaah itu, seketika penuh sesak hingga pelataran luar,” tulis Panji Masyarakat edisi No 741, 21-31 Desember 1992.

Nurcholish hadir meski tak diundang. Ia ditemani Utomo Danandjaja dan jurnalis senior, Syu’bah Asa. Panitia memberi waktu 10 menit untuk Nurcholish bicara.

“Cak Nur memberikan pidato pendek dengan gaya yang santun dan amat toleran. Saya terpukau saat itu oleh humility, kerendah-hatian yang ditunjukkan Cak Nur. Sebagian besar audiens adalah pembenci pikiran-pikiran dia,” kenang pemikir Muslim, Ulil Abshar-Abdalla, yang juga hadir.

Ketika Daud Rasyid membacakan “dakwaan”-nya, lanjut Ulil, hadirin berulang kali meneriakkan takbir dengan sangat keras.

“Di perjalanan pulang, saya geleng-geleng kepala, mbatin dalam hati: kenapa orang-orang Islam ini begitu kasar menghadapi sebuah pemikiran yang berbeda? Padahal gagasan Cak Nur inilah yang membawa kelas terdidik justru “balik” lagi kepada Islam, dan menaruh kepercayaan pada agama,” tulis Ulil dalam esai “Perlunya Beragama yang Ngintelek: Mengingat Cak Nur.”

Soal disalahpahami, seperti disampaikan dalam wawancara yang dimuat MATRA edisi Desember 1992, Nurcholish mengaku telah menduganya.

“Saya dan teman-teman sudah antisipasi. Bahwa pasti akan ada reaksi-reaksi, baik reaksi itu memang tidak setuju atau karena salah paham. Umumnya karena salah paham. Memang sebagai manusia tentunya kesalahpahaman seperti itu sangat membikin kita sesak napas, gitu ya. Dalam Quran saja Nabi Muhammad diingatkan oleh Tuhan: kamu jangan menjadi sempit dadamu, sesak napasmu karena perlawanan mereka. Itu artinya nabi saja mengalami hal itu, apalagi kita,” ujarnya.

Kisah Paman di Jombang

Dalam esai di majalah FORUM Keadilan Edisi Khusus April 1996, Soetjipto Wirasardjono mengungkap kisah dari berbagai percakapan dengan Nurcholish. Konon, salah satu idola Nurcholish adalah pamannya, seorang kiai di Jombang.

Di kampung mereka, jalan di depan pendopo kabupaten demikian sakral. Pada siang hari, delman tak ada yang berani melintas. Pengendara sepeda turun dan menuntun kendaraannya saban melintas seraya membungkuk-bungkuk.

Putra sulung Abdul Madjid ini mengagumi sang paman karena hanya dia yang berani memacu kereta kuda di depan pendopo kabupaten. Kesakralan dilawan.

“Keberanian itu membuat santri-santri pengikutnya bangga luar biasa. Bukankah yang sakral itu hanya yang Khalik? Biarpun penduduk Jombang dipandang oleh pangreh praja yang berkedudukan di pendopo itu hanya setara abdi, mereka tidak harus mengabdi pada ndoro kanjeng, apalagi mensakralkan kanjengan (bangunan pendopo kabupaten),” tulis Soetjipto.

Maka, lanjut Soetjipto, setiap kali menafsirkan langkah Nurcholish, rujukan pertamanya adalah latar belakang keluarga santrinya di Jombang. Terkhusus, kisah pamannya yang pemberani.

“Setiap kali bercerita tentang keberanian (courage) pamannya itu, wajah Cak Nur berseri-seri,” tulis Soetjipto yang bersama Nurcholish ikut mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) itu.

Inspirasi dari Sang Paman ditopang penguasaan ilmu yang mumpuni. Pendidikan dasar Nurcholish ditempuh di dua tempat. Pagi hari di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang; sore hari di Madrasah al-Wathaniyah yang dikelola orangtuanya sendiri.

Nurcholish kemudian melanjutkan pendidikan ke Kulliyyat al-Mu’allim al-Islamiyyah (KMI) di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Jawa Timur, dan lulus pada 1960.

Dari Gontor, Nurcholish melanjutkan ke IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, dan belajar di jurusan Sastra Arab dan Sejarah Pemikiran Islam Fakultas Adab. Ia menyelesaikan program sarjana pada 1968.

Saat di Ciputat, ia menjadi Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 1966-1969 dan 1969-1971. Juga menjadi presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada 1967-1969 dan menjabat Wakil Sekjen International Islamic Federation of Students Organizations (IIFSO) pada 1969-1971.

Sejak Maret 1978, berkat beasiswa dari Ford Foundation, Nurcholish belajar di Chicago University dan meraih gelar PhD dengan predikat summa cumlaude pada 1984, dengan disertasi berjudul Ibnu Taymiyah on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam. Selama di Chicago, ayah dua anak ini bisa mengakses kepustakaan Islam Klasik dan Abad Pertengahan yang begitu kaya di bawah bimbingan Neo-Modernis asal Pakistan, Fazlur Rahman.

Penggiat LSM Aswab Mahasin, seperti dikutip MATRA, bilang, “Kawan kita ini “pengajiannya” jauh. Lain dari kita. Dia ngomong Inggris sama fasihnya dengan ngomong Prancis. Ngomong Persia sama baiknya dengan ngomong Arab.”

Pada 29 Agustus 2005, pria yang “pengajiannya” jauh itu mengembuskan nafas terakhir, persis 17 tahun lalu. Indonesia kehilangan salah seorang cendekiawan paling berkilau.

Baca juga artikel terkait NURCHOLISH MADJID atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Mild report
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono