tirto.id - Seketika setelah pembuka “Smells Like Teen Spirit”—chord janggal dan gebukan drum Dave Grohl yang bertenaga itu—berkumandang di ruang baca rumah kami di sebuah siang, istri saya nyeletuk sembari berjalan menuju kamar kerjanya.
“Tumben nyetel Nirvana?”
Saya nyengir.
Sejak mengenal musik, rasa-rasanya memang Nirvana tidak pernah jadi salah satu band favorit saya. Pangkalnya mungkin sepele: gosip tak penting tentang perseteruan Nirvana dan band hair metal dari era 1980-an.
Ketika saya SMP, internet adalah barang langka di kabupaten kecil tempat saya tinggal. Informasi banyak beredar dari abang-abang yang biasa nongkrong di mulut gang. Nyanyi Slank, Powerslaves, Andy Liany, Scorpion, Firehouse, atau kalau punya nyali lebih dan tak tahu malu biasanya akan coba-coba menyanyikan Steelheart--tentu saja kebanyakan gagal dengan mengenaskan.
Dari cerita mulut ke mulut, Nirvana memang sering mengejek band hair metal, terutama ini yang kemudian jadi pangkal utama ketidaksukaan saya pada Nirvana, Guns N Roses. Band favorit saya sepanjang masa. Sejak itu, alih-alih coba mendengarkan musiknya terlebih dulu, Nirvana sudah menempati bagian hati paling kelam bernama kedengkian. Kasus ini sama seperti saya tak pernah bisa benar-benar menyukai Metallica, sesepele karena mereka menghina Winger.
Titik perdamaian saya dengan Nirvana adalah ketika melihat mereka tampil di acara MTV Unplugged dan kemudian dirilis sebagai album penuh, MTV Unplugged in New York. Ini satu-satunya album fisik Nirvana yang saya punya dan simpan hingga saat ini. Di sana, saya melihat Kurt seperti orang yang lelah menghadapi dunia. Mukanya kuyu dan terlihat letih. Meski begitu, ini yang membuat saya perlahan jadi menyukainya, dia masih bisa bercanda, menyapa penonton, dan tersenyum sembari sesekali menjahili kawan-kawannya.
Penampilannya malam itu, kata banyak penggemar Nirvana, adalah salah satu yang terbaik.
Singkat kata, di penampilan itu, Cobain seperti jadi manusia biasa yang kebetulan jadi vokalis band rock terbesar era 1990. Jadi manusia biasa adalah sesuatu yang dia cita-citakan usai Nirvana jadi band masyhur, seperti yang berkali-kali dia ceritakan ke Michael Azzerad, penulis biografi Nirvana, Come As You Are: The Story of Nirvana (1993).
"Aku berharap gak ada yang tahu nama asliku," ujar Kurt di buku itu. "Jadi suatu hari aku bisa menjadi warga biasa lagi."
Meski sekuat tenaga menghindari Nirvana, Nevermind akhirnya sampai juga ke tangan melalui teman-teman sebaya. Kami masih bocah ingusan baru puber, sedang sok melawan dunia, dan beberapa dari kami punya cita-cita ingin jadi preman, meneruskan legacy Agus Curut, preman legendaris yang punya tato di wajah.
“Musik masa muda kita niiih!” kata mereka sambil menyodorkan kaset gambar bayi telanjang seolah mengejar selembar dolar.
Sebelum kaset itu akhirnya saya putar di tape compo tua milik orang tua, sebenarnya saya sudah terpapar “Smells Like Teen Spirit” dengan cara paling klise: video klip di sebuah acara musik televisi yang saya tonton sambil lalu di suatu hari awal 2000-an.
Namun memutar Nevermind memberikan pertualangan lain. Pertualangan baru yang mbuh, lebih tepatnya. Mendengar satu album itu seperti perjalanan tanpa peta. Saya tak tahu apa yang saya harapkan, dan Nirvana memberikan itu. Kuping masih menerima dengan baik hingga track “Polly”. Lagu “Breed” yang kencang itu saya anggap sama dengan mendengarkan The Offspring. Ugh.
Setelahnya: “Territorial Pissings” terdengar amat mengganggu, “Something in the Way” membuat perasaan murung dengan cara yang sukar dijelaskan dan bikin makan tak enak, dan puncaknya, “Endless Nameless” membuat saya memaki.
“Opo iki cuuuuk?!” saya melempar kaset itu ke teman yang menyodorkan kaset beberapa hari kemudian.
Sejak itu saya yakin: saya tak pernah ditakdirkan untuk menyukai Nirvana.
Saya salah.
***
Selain melihat MTV Unplugged: Live In New York, juga membaca Come As You Are: The Story of Nirvana dan Heavier Than Heaven (2001), usia juga berperan besar dalam memandang ulang Nirvana, terutama Cobain. Ini termasuk belajar merelakan bahwa Nevermind memang jadi gong kematian bagi banyak band hair metal, sekaligus mengikhlaskan kalau album ini memang album yang sangat berpengaruh--walau masih kalah bagus ketimbang Appetite for Destruction, tentu saja.
Ketika sekarang mendengar ulang Nevermind, saya mulai memahami kenapa saya tak pernah suka Nirvana ketika itu.
Pertama, Nirvana kurang melodius. Tak ada solo gitar seindah “November Rain”, atau riff menohok seperti “Dr. Feelgood”. Kedua, Cobain bukan penyanyi dengan jenis vokal kesukaan saya: jernih dan melengking tinggi. Di beberapa lagu, dia lebih cocok disebut berteriak ketimbang menyanyi. Coba suruh Cobain nyanyi “In the Darkened Room”, jelas dia akan memilih pensiun jadi vokalis. Ketiga, saya tidak memahami apa faedah menciptakan kebisingan yang tak perlu?
Namun, di atas semuanya, saya tak bisa memahami apa yang dirasakan oleh para Generasi X ini. Saya bisa merasakan kemarahan Cobain terhadap banyak hal: tukang bully, para homofobik, para “grown ups” yang melahirkan tekanan besar dalam hidupnya dan membuatnya sengsara, hingga para rockstar tua yang menyebalkan. Ketika didengar sekarang, bagi saya, teriakan-teriakan Cobain seperti sebuah upaya mencari pertolongan.
Sedangkan saya di usia belasan ketika itu, jelas tidak merasakan kemarahan yang sama. Keluarga saya baik-baik saja. Kami memang bukan keluarga yang ideal menurut P4, ada pertengkaran, pengkhianatan, teriakan, dan tangis di sana-sini--keluarga mana sih yang tidak? Tapi di sebagian besar hidup, kami berbahagia dan saling mengasihi.
Begitu pula dengan lingkungan sosial. Teman-teman saya kala itu punya masa remaja yang muram dan menggiriskan. Namun alih-alih marah, mereka malah menjadikan hidup sebagai sebuah guyonan. Beberapa kawan SMP ada yang berhenti sekolah dan menjalani hidup yang menyesakkan. Ada yang pernah dipenjara di usia yang baru 14 tahun karena mencuri motor—dia menunjukkan jempol kaki yang hancur karena you know lah—dan dia menceritakannya seolah baru saja terlambat sekolah. Enteng belaka.
Ditambah lagi, musik yang saya dengarkan kala itu adalah hair metal. Nyaris nihil kemarahan di sana. Hidup belangsak, ya dibikin party saja. Buat apa marah, toh tak mengubah keadaan juga. Kala itu, mungkin sampai sekarang sih, kalimat yang kerap saya jadikan pedoman adalah nasihat dari Brett Michaels, filsuf dari grup band Poison.
“I raise a toast to all of us, who are breaking our backs every day. If wanting the good life is such a crime, Lord, then put me away.”
Mereka hanya ingin bersenang-senang. Bukan marah-marah. Dan sepanjang hidup, saya nyaris selalu melakukan itu.
Baru di usia lewat 27, mungkin sedikit jenuh dengan gelembung senang-senang itu, saya mulai mengambil jarak terhadap musik hair metal dan mendekatkan diri pada musik-musik yang pernah saya jauhi. Belajar memahami ada banyak cara untuk melepas kemarahan selain tertawa dan bersenang-senang.
Band yang kemudian cukup saya dengar ya Nirvana. Saya menyukai mereka di In Utero, menghormati musik mereka di Bleach yang terdengar lebih mentah tapi terasa betul mereka bersenang-senang. Namun Nevermind tetap jadi daftar putar utama kalau sedang ingin dengar Nirvana--tentu tak mudah mengubah playlist favorit yang berisi XYZ, Great White, Motley Crue, dan Pretty Boy Floyd dalam waktu beberapa tahun saja.
Belakangan saya coba menganalisis kenapa Nevermind jadi meledak dan seketika mengubah lanskap musik kala itu. Tentu sebagai penambah konteks, kamu bisa memasukkan segala hal di dekade 1980-1990 yang memicu banyak kemarahan anak-anak muda. Terutama krisis ekonomi dan kondisi sosial politik. Kondisi-kondisi itu membuat Nevermind dengan segala kemarahan, ketidakpastian, dan kerapuhannya terasa cocok jadi album latar kehidupan Generasi X, generasi yang oleh Anya Strzemien disebut sebagai “…gloomy, goofy club of forgotten middle children.”
Namun bagi saya, kejenuhan terhadap musik peninggalan 1980-an adalah faktor penting kenapa Nevermind akhirnya bisa jadi amat populer. Dengan kata lain, ini di luar segala estetika albumnya: album ini rilis di waktu yang tepat.
Penggemar musik sudah bosan dengan hair metal—yang bisa dibilang berkuasa di industri selama satu dekade—dan melihat Nirvana sebagai sesuatu yang segar dan baru. Tak ada dandanan berlebih, musik yang kencang dan enggan bermanis-manis. Apa adanya. Come as you are.
Ia album yang disebut mengakhiri era hair metal—kita bisa berdebat panjang soal ini, saya sendiri tak setuju dengan predikat ini—sekaligus mengawali era musik rock alternatif.
Di hari perilisan album ini, 24 September 1991, tepat tiga dekade lalu, kebanyakan Gen X mulai masuk fase remaja, dan menemukan banyak alasan untuk marah terhadap apapun. Nevermind, dengan segala yang kencang dan kelam, yang bising dan yang lirih, berhasil menyodorkan opsi musik yang bikin mereka membatin “ini aku banget!” Maka wajar kalau album ini kemudian jadi salah satu album paling berpengaruh sepanjang masa.
Ketika saya menulis artikel ini, tenggat waktu sudah semakin dekat. Sebentar lagi "Something in the Way" yang masih memberikan efek kelu yang sama meski sudah belasan tahun lewat, akan berakhir.
Saya membayangkan kalau saja Cobain masih hidup dan sekarang sudah berusia lewat dari setengah abad, apa yang akan dia lakukan? Meneruskan Nirvana hingga merilis album kedua puluh dan jadi apa yang mereka benci—corporate rock; membuat band baru; atau memutuskan untuk berhenti main musik dan jadi orang biasa seperti keinginannya.
Asyik juga membayangkan Cobain jadi orang biasa yang dikejar cicilan KPR, diburu tenggat, mengalami Zoom fatigue, dan mungkin sesekali di-troll oleh netizen di Twitter kalau kicauannya ngaco.
"Something in the Way" usai, dan masuk lagu terakhir, "Endless, Nameless" lagu yang tidak pernah bisa saya nikmati. Namun pantat sudah terlanjur menempel di kursi keras ini, kalimat terakhir artikel ini sudah terbayang akan ditulis, dan saya jadi enggan berdiri hanya untuk mengubah lagu.
Beberapa detik setelah “Endless, Nameless” menggelegar di ruang baca, istri saya keluar dari ruang kerjanya. Jalan pelan menuju speaker. Mengecilkan volumenya dan mendesis.
“Kecilin dikit. Bentar lagi aku rapat.”
Ah, hidup manusia biasa…
Editor: Irfan Teguh Pribadi