tirto.id - Arie Sudjito Pembina Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan negara harus memiliki komitmen dan mempertegas soal kebebasan sipil.
“Kalau kita yakin bahwa demokrasi ditandai dengan kebebasan sipil, maka prinsip ini harus dipegang, Karena dengan cara seperti itu, orang akan semakin kreatif, sehingga dosen, mahasiswa, jurnalis, dan aktivis -aktivis lain yang ingin berdiskusi tentang sejarah Indonesia bisa lebih terbuka,” kata Arie di Gedung Dekanat, Fisipol UGM, Senin (23/5/2016).
Pernyataan tersebut muncul menyikapi kemunculan pihak kepolisian dan beberapa ancaman pembubaran acara pemutaran dan diskusi film 'Pulau Buru Tanah Air Beta' di kompleks Gedung Dekanat, Fisipol UGM, Senin (23/5/2016).
“Apa yang dilakukan oleh mahasiswa dengan diskusi film seperti ini atau mendiskusikan topik seperti ini agar mereka tahu tentang sejarah, dan tidak membaca secara sepotong-potong,” ujar Arie.
Ia mengatakan tindakan represif yang dilakukan beberapa pihak atas aktivitas akademik, sosial termasuk diskusi pemutaran film dan sebagainya, seharusnya tidak perlu diperluas, sebab akademik berupa diskusi atau pun membedah film itu adalah bagian dari tradisi untuk membangun pemikiran kritis yang tidak ada hubungannya dengan blok-blok politik tertentu.
Menurut Arie, tindakan-tindakan represif yang akhir-akhir ini bermunculan merupakan tantangan bagi pemerintahan Presiden Jokowi, yang mendorong agar terjadi rekonsiliasi nasional.
“Gelombang dibalik upaya rekonsiliasi ini kan tinggi sekali, saya yakin di pemerintah sendiri ada fragmentasi, dengan adanya situasi seperti itu saya sampaikan bahwa mari kita kembalikan pada konstitusi kita,” kata Arie.
Ia yakin dengan semakin sering berdiskusi akan terjalin keterbukaan dengan sejarah. Dengan adanya keterbukaan, menurut Arie, kita akan menemukan reformulasi atas rekonsiliasi nasional yang diinginkan itu.
“Pesan penting dari pemutaran film ini, sudahlah hentikan intervensi atas dunia akademik dan diskusi yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi, kelompok-kelompok tertentu, dan juga jurnalis,” tambah Arie.
Ia mengatakan tidak perlu menebarkan ketakutan di mana-mana. Ia menginginkan ada ruang untuk masyarakat sipil, terutama di kampus, dan komunitas lain untuk membicarakan tentang bangsa ini demi kepentingan masa depan.
“Kita ajak semua komponen membicarakan sejarah, agar masyarakat tahu musuh kita yang sebenarnya adalah korupsi, ketidakadilan, mafia politik, premanisme politik, bukan orang-orang yang memiliki pandangan dan identitas sejarah yang berbeda. jangan kita sibuk permusuhan atas nama sejarah, tapi fokus membangun rekonsiliasi, nah tradisi akademik bisa memulai hal itu,” kata Arie.
Mengenai isi film, Arie mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Menurutnya, ketakutan yang muncul setiap kali akan diadakan pemutaran film ini hanya persoalan stigma saja.
“Sebetulnya ini soal stigma saja, banyak orang yang belum nonton sudah merasa ketakutan, kan nggak perlu yang seperti itu karena reproduksi stigma itu yang membuat kita sulit beranjak karena kita perlu melangkah ke arah yang lebih jauh, bukan jalan di tempat,”
Arie mengharapkan, kegiatan-kegiatan akademik dan kritis seperti ini memperoleh dukungan dari pemimpin universitas atau fakultas di seluruh Indonesia.
Editor: Mutaya Saroh