tirto.id - Asnatip, 53 tahun, terancam dipenjara karena menjadi juru parkir liar. Dia bekerja di luar area Pasar Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Selama ini, lelaki yang biasa disapa Asna itu tak menganggap pekerjaannya ilegal. Nasibnya berubah pada Kamis (6/12/2018), saat personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mendatanginya ketika sedang menata motor pelanggan.
Sebelum dicokok Satpol PP, Asna rutin mengantongi uang Rp300 ribu dari hasil jerih payahnya. Jumlah itu harus dipotong setoran harian.
"Nyetor ke RW [Sawah Besar]. Setiap hari nyetor Rp150 [ribu]," kata Asna kepada reporter Tirto, Kamis (6/12/2018).
Duda dua anak itu sebelumnya rutin setor ke Perusahaan Daerah di Pasar Sawah Besar. "PD [Perusahaan Daerah] bubar. Baru ditarik ke sini [RW Sawah Besar]," tuturnya.
Jumlah tersebut belum termasuk Rp25 ribu yang Asna harus setorkan ke pegawai dishub setempat yang dipanggilnya dengan nama Pak Jamal. "[Pak Jamal] ke sini setelah Asar, ambil duit. Setiap hari. Datangnya sendirian, naik motor," ujarnya.
Asna mengaku mendapat seragam Unit Pengelola (UP) Perparkiran berwarna biru muda dari Jamal. Seragam itu dia bayar seharga Rp80 ribu.
"[Waktu beli] masih baru diplastikin," lanjut Asna. "Yang nawarin Pak Jamal juga. Katanya pake baju, besok dibawain."
Rumah Asna berada di daerah Karawang. Dia jarang pulang karena sehari-hari tidur di dalam pasar. Wilayah kerja Asna pun awalnya di dalam pasar, akhirnya pindah setelah ada pembongkaran.
Menanggapi Asna yang memiliki seragam resmi dan rutin setor ke dua orang, Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Sigit Wijatmoko mengatakan, "Jukir resmi tidak hanya sekedar seragam. Ada Surat Tugas dan ID Resmi Petugas," terangnya.
Terancam Dipenjara dan Didenda
Kepala Satgas Satpol PP Kecamatan Sawah Besar Sugiarso mengaku dua minggu sebelumnya sudah menegur Asna. Dia sudah meminta Asna membuka lahan parkir di dalam pasar.
"[Tapi] Yang bersangkutan masih melakukan aktivitasnya," ujar Sugiarso ketika ditemui reporter Tirto di daerah Karang Anyar, Jakarta Pusat, kemarin.
Sugiarso menegaskan, Asna dijerat Pasal 10 Perda DKI Jakarta Nomor 8/2007. Dia terancam hukuman kurungan penjara maksimal 90 hari atau denda maksimal Rp30 juta. Perda itu dibuat di era mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
“Yaitu setiap orang atau badan tidak boleh menyelenggarakan pemungutan parkir tanpa izin gubernur," tuturnya. Dia berharap jeratan pidana pada Asna bisa memberikan efek jera agar tak ada yang mengulangi hal serupa.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko menjelaskan, Perda tersebut memang dibuat tahun 2007. Namun enam bulan sebelum sanksi diterapkan, sudah dilakukan sosialisasi.
"Apa yang dilakukan oleh jajaran Satpol PP adalah kegiatan yang sesuai dengan Tupoksi dan kewenangannya," kata Sigit ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (6/12/2018).
Pemprov DKI Harusnya Tak Pidanakan Asna
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta mengatakan, seharusnya Asna tak dipidana.
"Saya, sih, belum menemukan sifat kriminalnya. Mending tertibkan preman di Stasiun, terminal (bayangan), pasar. Di situ roda perekonomian rakyat," kata Gandjar ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (6/12/2018).
Dia cemas dengan perangkat hukum yang belakangan justru memicu musim gemar mempidanakan orang. "Hukum pidana dijadikan alat untuk menakuti-menakuti atau memaksa orang tunduk," keluhnya.
Gandjar berharap Pemprov DKI Jakarta tidak terburu-buru dalam menerapkan sanksi. “Apalagi memidanakan. Sementara kemampuan menegakkan aturan sangat terbatas baik SDM-nya, saranan, pengawasannya, pembinaan aparaturnya, dan sebagainya,” ujarnya.
Hingga kini Asna mengaku tak mengetahui adanya Perda yang berakibat pidana padanya. Dia bahkan tak paham bagaimana prosedur hukum yang akan dijalaninya, padahal Asna akan disidangkan hari ini, Jumat (7/12/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Itu, sih, kayaknya Pak RW yang urusin [proses peradilannya]," kata Asna.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana