tirto.id - Hampir tidak ada riwayat dari sumber-sumber tradisional yang secara lengkap menggambarkan masa muda Nabi Muhammad. Kita memang mengetahui masa kecilnya sejak lahir hingga berusia kira-kira 8 tahun ketika ia mulai diasuh pamannya, Abu Talib bin Abdul Mutalib. Tapi periode setelah itu, di umur sekitar 12-20 tahun, gambaran yang kita dapatkan hanya sepotong-sepotong.
Pada periode tersebut ia dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Abu Talib. Sang paman menyayangi keponakannya yang yatim piatu itu seperti anak kandung sendiri.
Muhammad kecil pernah diajak pamannya berniaga hingga Syam (Siria). Kisah-kisah Nabi Muhammad hasil kompilasi sejarawan Persia Abu Ja’far al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk yang disusun pada abad ke-10 mengisahkan bahwa dalam suatu pemberhentian di Busra, seorang pendeta Kristen Nestorian bernama Bukhaira melihat tanda-tanda khusus pada diri Muhammad. Bukhaira meramalkan Muhammad kelak akan menjadi nabi dan meminta Abu Talib untuk melindungi keponakannya.
Riwayat-riwayat menyebutkan pula bahwa Nabi Muhammad tumbuh sebagai remaja tampan yang rendah hati. Tapi bukan keistimewaannya. Ia dikenal seantero Makkah sebagai pemuda jujur yang bisa dipercaya siapapun. Dari kualitas pribadi macam itulah kemudian muncul panggilan “al-amin” untuknya. Julukan tersebut bermakna “ia yang bisa dipercaya”.
Abu Talib memiliki delapan anak kandung. Ditambah satu keponakannya, berarti ia harus bertanggung jawab untuk memberi nafkah sembilan anak. Ini barangkali agak berat baginya sebab ia bukan orang yang kaya raya.
Karena itu, ketika Muhammad sudah cukup umur untuk bekerja, ia merasa harus membantu meringankan beban pamannya. Di masa itu salah satu harta paling berharga dari klan-klan di Makkah adalah kepemilikan kambing. Para pemilik kambing butuh penggembala agar hewan ternak mereka bisa memperoleh rumput dengan teratur. Anggota-anggota klan lazimnya mempekerjakan anak muda untuk menggembalakan kambing-kambing itu.
Muhammad kemudian menjadi seorang penggembala yang merawat kambing-kambing baik milik keluarganya maupun milik keluarga lain. Dengan begitu, ia bisa mendapatkan upah sekadarnya. Upah yang ia peroleh kemudian diserahkan kepada pamannya. Abu Talib sangat bersyukur mempunyai keponakan yang baik hati.
Salah satu biografer Nabi Muhammad dari zaman modern yang secara agak dramatis menceritakan periode penggembalaan ini adalah Muhammad Husain Haekal. Dalam Sejarah Hidup Muhammad (pertama kali diterbitkan di Mesir pada 1935), Haekal mengisahkan babak kehidupan tersebut dengan penuh romantisme.
“Pada siang hari, di tengah udara dan suasana yang agak bebas, serta di bawah paparan sinar matahari, dan di malam hari ditemani kemilau bintang-bintang, penggembala kambing berhati suci itu menemukan tempat yang tepat untuk berpikir dan merenung. Muhammad menerawang jauh di tengah suasana alam seperti itu dan berharap dapat melihat sesuatu di balik semua itu,” urai Haekal (hlm. 140).
Interpretasi Haekal mengarah kepada gagasan bahwa Nabi Muhammad mulai merenungi secara mendalam hal-hal ketuhanan, tanda-tanda alam, dan spiritualitas ketika ia menggembalakan kambing. Haekal juga mencatat Nabi Muhammad selalu berbangga dengan pekerjaannya sebagai penggembala.
“Musa diutus, dan dia adalah penggembala kambing. Daud diutus, dan ia adalah penggembala kambing. Aku diutus, dan aku juga seorang penggembala kambing,” ujar sang Nabi dalam sebuah hadis.
Bekerja untuk Khadijah
Ketika usia Muhammad semakin dewasa, ia tampaknya harus mencari pekerjaan lain yang bisa mendatangkan upah lebih besar. Bagaimanapun, kebutuhan keluarga Abu Talib semakin bertambah.
Secara kebetulan, ketika Muhammad sedang mencari profesi baru, seorang saudagar kaya Makkah tengah membutuhkan pekerja. Khadijah, saudagar itu, adalah pemilik usaha perdagangan kain yang menjual barang-barangnya hingga ke kota-kota yang jauh. Ia sendiri tidak turun langsung sebagai kafilah. Khadijah mempekerjakan orang untuk berniaga.
Abu Talib mengenal saudagar itu dengan sangat baik sejak dahulu sebelum suami Khadijah meninggal. Abu Talib lalu mendatangi rumah Khadijah dan menawarkan kepadanya apakah ia bersedia menerima Muhammad bekerja.
Khadijah juga mengenal Muhammad. Perempuan itu tahu reputasi Muhammad sebagai al-amin dan menaruh respek kepadanya. Karena itu, ketika Abu Talib meminta upah dua kali lipat lebih tinggi untuk Muhammad, Khadijah tak menolaknya. Maka demikianlah, mulai saat itu Muhammad bekerja kepada Khadijah dan memperdagangkan kain-kainnya ke luar kota.
Tugas pertama Muhammad adalah berniaga ke Syam. Ia ditemani seorang budak bernama Maisaroh untuk membantunya selama perjalanan. Pekerjaan ini sukses besar. Dagangan milik Khadijah laku keras.
“Dengan kejujuran dan kecakapannya, Muhammad mampu menjalankan amanat Khadijah. Bahkan, beliau mampu mendapat keuntungan yang jauh lebih banyak daripada yang dilakukan orang lain yang pernah bekerja untuk Khadijah,” catat Haekal (hlm. 145).
Atas informasi dari Maisaroh, Khadijah mendengar betapa jujur Muhammad dalam berniaga. Orang-orang yang membeli dagangannya juga terkesan dengan kerendahan hati lelaki muda dari Makkah itu.
Khadijah rupanya jatuh cinta kepada Muhammad, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua kemudian menikah dan sisanya adalah sejarah.
Jika ditafsirkan dengan perspektif modern, hubungan kerja antara Khadijah dan Muhammad adalah relasi pemilik modal dengan buruh. Dalam sumber-sumber tradisional Islam memang tidak diceritakan apakah sistem kerja tersebut berupa pengupahan atau bagi hasil. Tapi yang jelas, Muhammad mendapatkan timbal balik atas pekerjaannya (dalam sebuah riwayat disebut berupa empat ekor unta).
Dalam konteks hubungan kerja itu, Muhammad hanya memiliki tenaga dan tidak menguasai alat-alat produksi; sementara Khadijah mempunyai kapital. Sehingga bisa dikatakan, saat itu Muhammad-si-pemilik-tenaga bekerja untuk Khadijah-si-pemilik-modal.
Dari seseorang yang pernah berpeluh sebagai buruh itulah kemudian muncul kalimat menggetarkan: “Bayarlah upah buruh sebelum keringatnya kering.”
==========
Pada Ramadan tahun ini redaksi menampilkan sajian khusus bernama "Tarikh" yang ditayangkan setiap menjelang sahur. Rubrik ini mengambil tema besar tentang sosok Nabi Muhammad sebagai manusia historis dalam gejolak sejarah dunia. Selama sebulan penuh, seluruh artikel ditulis oleh Ivan Aulia Ahsan (Redaktur Utama Tirto.id dan pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta).
Editor: Irfan Teguh Pribadi