tirto.id - Lolosnya tim nasional sepakbola Fiji ke Olimpiade 2016 tentunya sudah menjadi prestasi tersendiri bagi negeri kepulauan yang terletak di selatan Samudera Pasifik ini. Di Rio De Janeiro nanti, Fiji ibarat bijih kecil yang harus menghadapi rival-rival yang jauh lebih dikenal.
Fiji berada di Grup C dalam babak penyisihan sepakbola Olimpiade Rio 2016. Mereka harus bersaing dengan tiga pemain besar sepakbola dunia yang mewakili kawasannya masing-masing: ada Jerman dari Eropa, Korea Selatan sebagai wakil Asia, dan sang juara bertahan dari Amerika Utara, Meksiko.
Di atas kertas, peluang Fiji untuk berprestasi atau setidaknya tidak menjadi bulan-bulanan lawan sebenarnya sangat kecil. Bukan hanya di sepakbola, tetapi juga di cabang-cabang lain yang diikuti oleh negara bekas jajahan Britania Raya di kawasan Oceania ini.
Pada Olimpiade Rio 2016 kali ini, Fiji bakal tampil di 10 cabang olahraga. Selain sepakbola sektor putra, Fiji yang hanya membawa 52 atlet -18 orang di antaranya adalah anggota tim sepakbola- juga akan bertarung di cabang atletik, panahan, tinju, judo, rugbi, menembak, renang, tenis meja, dan angkat beban.
Fiji telah 13 kali berpartisipasi di pentas Olimpiade. Edisi pertama yang diikutinya adalah pada 1956 di Melbourne, Australia. Namun, hingga saat ini belum ada satu medali pun yang mampu dibawa pulang oleh atlet-atlet dari negara kepulauan yang menganut gaya pemerintahan republik ini.
Sedangkan untuk cabang sepakbola, Fiji memulai kiprahnya pada kualifikasi Olimpiade Barcelona 1992, tapi tidak lolos. Nasib serupa dialami Fiji di edisi-edisi berikutnya secara berturut-turut: 1996, 2000, 2004, 2008, dan 2012. Baru pada 2016 ini, tim nasional sepakbola Fiji untuk pertama kalinya bisa tampil di Olimpiade.
Berkat Frank Farina
Berkembangnya sepakbola Fiji, khususnya untuk level tim nasional, tidak bisa dilepaskan dari sosok sang pelatih, Frank Farina. Pria Australia ini memang bukan orang sembarangan. Ia setidaknya menjadi salah satu tokoh yang paling dibanggakan di persepakbolaan kawasan Oceania.
Semasa masih aktif sebagai pesepakbola, Farina pernah menjadi bagian penting dari kejayaan Club Brugge, klub mapan Belgia. Sebagai penyerang andalan di klub tersebut dari tahun 1988 hingga 1991, ia telah mengoleksi 43 gol dari 75 laga resmi.
Sebelum hijrah ke Eropa, Farina terlebih dulu memperkuat tiga klub Australia di masa-masa awal karier sepakbolanya. Canberra City menjadi klub profesional pertama lelaki kelahiran Darwin ini. Di sana, ia mencetak 15 gol dari 41 laga dalam semusim yakni 1983/1984.
Musim berikutnya, Farina pindah ke Sidney City. Ia berhasil membukukan 21 gol dalam 21 pertandingan. Hanya semusim di Sidney, Farina memutuskan bergabung dengan Marconi Stallions. Di sinilah ia menunjukkan ketajaman yang semakin meningkat dengan mencetak 33 gol dalam 47 laga hanya dalam waktu satu tahun saja.
Aksi cemerlang bersama Marconi Stallions itulah yang membuat Club Brugge tertarik memboyongnya ke Eropa. Farina pun sukses mengantarkan klub ini meraih gelar juara Belgian League Championship musim 1989/1990, Belgian Cup musim 1990/1999, serta Belgian Supercup di periode yang sama.
Usai melalui masa jaya di Club Brugge, Farina pun melanjutkan riwayat rantaunya di Eropa. Ia pernah memperkuat Bari (Italia), Notts County (Inggris), serta dua klub asal Perancis, yakni Strasbourg dan Lille.
Di tataran tim nasional, Farina telah membela negaranya sejak di tim U-20, U-23, hingga skuad senior. Ia adalah anggota tetap tim nasional Australia senior selama lebih dari satu dekade, yakni sejak 1984 sampai dengan 1995, dengan mengoleksi 67 caps dan menyumbangkan 14 gol di ajang resmi.
Jejak karier Farina setelah gantung sepatu dan berlanjut sebagai pelatih pun cukup memukau. Sempat membesut Brisbane Strikers (1996-1998) dan Marconi Stallions (1998-1999), ia dipercaya untuk menangani tim nasional Australia. Kiprahnya bersama The Socceroos cukup lama, dari tahun 1998 hingga 2005.
Brisbane Roar, Sidney FC, dan tim nasional Papua Nugini juga pernah dilatih oleh Farina sebelum ia ditunjuk menjadi Direktur Teknik Fiji U-20 pada 2014. Tahun berikutnya, Farina melatih Fiji U-20 dan membawa timnya lolos ke Piala Dunia U-20 2015 di Selandia Baru. Selain itu, di ajang Pasific Games 2015, Fiji menorehkan kemenangan dengan skor super besar 38-0 atas Mikronesia.
Tak Pikirkan Hasil di Brazil
Di Pacific Games 2015 yang juga menjadi fase kualifikasi untuk memperebutkan satu tiket wakil Oceania ke Olimpiade Rio 2016, Fiji ternyata dinaungi keberuntungan. Mereka berhasil melaju ke semifinal bersama tuan rumah Papua Nugini, Selandia Baru, dan Vanuatu.
Papua Nugini menjadi lawan berat menanti Fiji di fase empat besar itu. Namun, skuad asuhan Farina mampu menang dengan skor 1-3 atas tuan rumah. Hattrick Napolioni Qasevakatini yang hanya mampu dibalas satu gol oleh Papua Nugini lewat Tommy Semmy membawa Fiji melaju ke final.
Di partai penentuan, Fiji seharusnya menghadapi Selandia Baru, tim terkuat di Oceania setelah Australia beralih menjadi anggota konfederasi sepakbola Asia Tenggara (AFF). Namun, lagi-lagi dewi fortuna masih bersama pasukan Farina.
Kemenangan Selandia Baru dengan skor 2-0 atas Vanuatu di semifinal dibatalkan karena terjadinya pelanggaran. Selandia Baru terbukti menurunkan pemain yang tidak memenuhi syarat di laga tersebut. Dampaknya, konfederasi sepakbola Oceania memutuskan bahwa Vanuatu yang berhak tampil di final untuk meladeni Fiji.
Laga final antara Fiji kontra Vanuatu harus dituntaskan melalui adu penalti setelah kedua tim bermain imbang 0-0. Akhirnya, Farina bisa tersenyum lega karena Fiji memenangkan pertandingan pamungkas tersebut dengan skor 4-3 lewat babak tos-tosan. Tim nasional sepakbola Fiji untuk pertamakalinya lolos ke Olimpiade.
Di babak penyisihan grup sepakbola Olimpiade Rio 2016, Fiji tergabung di Grup C. Anak-anak dari kepulauan Pasifik itu dikepung tiga raksasa yang mewakili tiga benua berbeda, yaitu Jerman dari Eropa, Korea Selatan dari Asia, dan Meksiko dari Amerika. Fiji tentu saja sama sekali tidak diunggulkan.
Fiji memang tidak perlu jadi unggulan karena Farina tidak membebani pasukannya dengan target apapun. “Tidak akan ada tekanan terhadap pemain kami. Mereka hanya harus memberikan seratus persen kemampuan karena kami menghadapi tim-tim terbaik dunia,” kata Farina seperti dikutip dari Fiji Sun Online.
Debut di Olimpiade 2016 menjadi bukti bahwa Fiji memang hanya serupa biji kecil di tengah belantika sepakbola dunia. Qasevakatini dan kawan-kawan dihajar tanpa ampun oleh Korea Selatan dengan skor 8-0. Entah berapa hasil yang akan terjadi saat menghadapi jerman dan Meksiko nanti.
Apapun hasilnya, Fiji sekali lagi hanya ingin melanjutkan kesenangan. Terus berlari dan menikmati mimpi tanpa harus memikirkan beban prestasi. Sebagaimana kata Farina, “Kami akan belajar lebih banyak, itulah yang menjadi kunci bagi kami."
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti