Menuju konten utama
Liga Utama Inggris

Mimpi "Si Rubah" Selama 132 Tahun

Leicester mewujudkan mimpinya menjadi juara Premier League setelah 132 tahun. Kemenangan Leicester merupakan tangisan bagi rumah-rumah judi yang tak pernah mengunggulkannya. Musim ini adalah musim terburuk bagi para tim kandidat juara yang akrab di sapa The Big Five  Statistik berbicara tim-tim elit tersebut mengalami penurunan.

Mimpi
Pemain Leicester City memasuki lapangan saat pertandingan persahabatan Leicester City vs Everton di stadion Supachalasai, Bangkok. FOTO/SHUTTERSTOCK

tirto.id - Banyak orang masih tak percaya Leicester City telah menjuarai Premier League 2015/2016. Pencapaian Leicester telah mencairkan kondisi persepakbolaan Inggris yang selama ini beku: imajinasi!

Tim berjuluk The Fox alias Si Rubah itu akan mengangkat piala juara pada pekan ini. Capaian prestasi menakjubkan selama 132 tahun klub berdiri. Ini adalah kali pertama mereka juara di kasta tertinggi sepakbola Inggris.

Tak peduli apapun hasil melawan Everton pada minggu (8/5/2016) nanti, pesta meriah akan tetap digelar di Stadion King Power . Posisi mereka sudah tak akan lagi terkejar sang runner-up, Tottenham Hotspurs. Pekan berikutnya, mereka akan bermain ke Stamford Bridge, markas Chelsea untuk menutup laga terakhir musim ini.

Ini adalah laga penutupan yang paradoks dan tak terprediksi. Tahun lalu, Chelsea berstatus juara bertahan dan Leicester ada di peringkat 17 – satu strip di atas zona degradasi. Tapi, takdir berbalik dan Leicester menutup tahun ini di peringkat satu.

Sepakbola di Inggris kini sudah demikian tenggelam dalam ideologi profi yang miskin akan fantasi. Awal mula pencapaian kesuksesan semuanya dipandang dengan uang. Keberhasilan Manchester City, Chelsea, dan Blackburn Rovers menjuarai Liga Inggris tak akan terjadi tanpa modal besar.

Pola tersebut ternyata tak berlaku untuk Leicester. Wajar ketika Leicester juara, semua penggemar sepakbola bersorak gembira. “Sepakbola membutuhkan Leicester. Banyak penggemar klub kecil seperti ku yang telah kehilangan harapan. Leicester telah membawa harapan itu datang kembali,” ucap Simon Gleave, pengamat sepakbola kenamaan di Belanda.

Prediksi Rumah Judi

Untuk menyimak keanomalian Leicester kita bisa menganalisa dari pandangan yang diberikan bursa-bursa rumah judi. Seorang bandar tentu membuat prediksi yang penuh rinci dengan angka-angka probabilitas yang rumit.

Musim lalu, mereka memprediksikan kans Leicester juara Premier League hanya 5.000:1. Itu artinya jika Leicester juara, uang anda akan dikalikan 5.000 kali lipat. Mengharap Leicester juara adalah hal absurd.

Angka itu mengalahkan prediksi hal-hal konyol lainnya seperti kans Simon Cowell jadi perdana menteri Inggris (500:1), Ratu Elizabeth mengeluarkan album musik (1.000:1), Kim Kardashian jadi presiden AS (2.000:1) , Elvis Presley sampai sekarang ternyata masih hidup (2.000:1) atau Paus Fransiskus dikontrak untuk bermain di Glasgow Rangers (4.000:1).

Memasang Leicester sebagai kandidat juara adalah tindakan iseng yang dilakukan para fans. Tindakan itu ternyata berbalik membuat rugi besar para bandar judi. Kerugian total dari semua rumah judi bisa lebih dari £100 juta. Ini merupakan kerugian terbesar dalam sejarah rumah judi di Inggris. Dilansir dari The Telegraph, rumah judi, Ladbrokes saja sudah rugi £ 25 juta

"Leicester memenangkan gelar ini di alam konyol, dan berimbas pada biaya terbesar yang pernah kami bayarkan dalam sejarah 130 tahun kami,” ucap juru bicara Ladbrokes, David Williams. “Kami harus benar-benar mengkalibrasi ulang pendekatan terkait koefisien taruhan,” ucapnya.

Faktor Keberuntungan Eksternal dan Internal

Musim ini Leicester memang tampil luar biasa. Sebaliknya, tim-tim elit justru bermain buruk. Musim ini adalah musim terburuk bagi para tim kandidat juara yang akrab di sapa The Big Five: Chelsea, Manchester City, Arsenal, Manchester United, dan Liverpool. Statistik berbicara tim-tim elit tersebut mengalami penurunan dalam persentase akurasi tembakan, jumlah tembakan, dan poin per pertandingan.

Konsistensi The Big Five itu pun dipertanyakan terutama saat menghadapi klub yang tak diunggulkan. Tak sedikit hasil imbang dan kalah malah didapat tim-tim yang ada di posisi peringkat bawah. Manchester City misalnya 60 persen hasil imbang dan kalah yang mereka dapat dilakukan diluar tim The Big Five.

Hal sama terjadi pada Manchester United (80 persen), Arsenal (70 persen), Liverpool (79 persen) dan Chelsea (81 persen). Dua tim yang menjadi pembunuh The Big Five adalah West Ham United dan Tottenham Hotspurs.

Kunci kesuksesan Leicester adalah stabilitas line up tim. Komposisi tim setiap per pertandingan jarang berubah. Ranieri pun jarang mengubah pakem 4-4-2 yang terus dia pakai. Hingga akhir musim, pergerakan dan komunikasi yang mereka jalin tak pernah dicela.

Jika merujuk data Opta, Leicester di musim ini adalah tim yang jarang berubah komposisinya dalam kompetisi Premier League selama 10 tahun terakhir. Hampir 87 persen pertandingan pada musim ini dilakukan oleh 10 pemain yang sama.

Dalam konteks ini, Leicester harus berterima kasih pada dewi fortuna yang mampu mencegah hantu cedera menggetayangi mereka. Dari 20 tim di Premier League, cedera yang menghinggapi Leicester hanya 19 kasus. Coba bandingkan dengan tim kuat seperti Manchester City (71 kasus), Liverpool (66 kasus), Manchester Unuter (60 kasus), Arsenal (42 kasus) dan Chelsea (35 kasus).

Tahun depan, bagaimanapun, Leicester tidak bisa mengandalkan keberuntungan eksternal dan internal ini. Tim-tim The Big Five tentunya akan berbenah. Persaingan semakin menyulitkan setelah Pep Guardiola resmi membesut City dan Antonio Conte melatih Chelsea. Jose Mourinho pun digadang-gadang akan menggantikan Louis van Gaal di Manchester United.

Belum lagi Tottenham Hotspurs yang tampil impresif tahun ini, diprediksikan akan tampil sama selama beberapa musim ke depan karena rataan umur pemainnya yang membuat mereka jadi tim termuda di Inggris.

Leicester tak bisa berharap keberuntungan faktor luar itu datang dua kali. Di lain sisi, Ranieri pun tak akan bisa mempertahankan komposisi yang sama seperti musim ini, mengingat mereka akan tampil pula di Liga Champions. Gelar yang didapat mereka saat ini pun sebenarnya adalah anomali.

Sepanjang Premier League di gelar sejak 1992, sebenarnya tak ada korelasi antara stabilitas line-up dengan gelar juara. Toh meski stabilitas komposisi 10 pemain inti pada tim-tim juara seperti Chelsea, Manchester United dan Manchester City kurang dari 70 persen, mereka bisa tetap juara.

Bagi Leicester masalah baru akan muncul saat stabilitas itu tak akan bisa dipertahankan dalam jangka panjang. Realitas akhirnya akan bertumpu pada campur tangan dengan cedera dan kehendak pemain yang datang dan pergi. Pemain-pemain mereka seperti Jamie Vardi, N’golo Kante, Riyad Mahrez kini sudah jadi incaran klub-klub besar.

Dalam hal ini, pelatih City, Manuel Pellegrini sudah mengingatkan lewat komentar sinisnya. “Leicester adalah tim yang solid dengan jumlah pemain yang cedera sedikit. Mereka layak mendapatkan pujian besar. Tapi saya pikir, mereka tidak akan berada di atas terus selama delapan atau 10 tahun,” sindirnya.

Beban Steve Walsh

Capaian pelatih Claudio Ranieri di Leicester memang luar biasa. Rumah judi dulunya memprediksikan dia adalah pelatih pertama yang didepak dari Liga Inggris. Skuad yang dirakit hanya menghabiskan biaya £ 54,4 juta, jumlah uang yang sama dikeluarkan Manchester City hanya untuk seorang pemain, Kevin de Bruyne.

Keberhasilan Ranieri mengkomposisikan skuad tak akan terjadi tanpa bantuan Steve Walsh. Dia datang sebelum Ranieri. Walsh adalah bawaan pelatih Leicester sebelumnya, Nigel Pearson. Ia merupakan asisten Ranieri, sekaligus pencari bakat Leicester.

Pada periode itu dialah yang menemukan bakat Jamie Vardy, Riyad Mahrez, N’golo Kante dan pemain-pemain penting lainnya. Walsh jugalah yang memoles pemain-pemain buangan Danny Drinkwater, Danny Simpson, Robert Huth, dan Marc Albrighton.

Sir Alex Ferguson menyebut Walsh sebagai "orang yang paling berpengaruh di Liga Premier saat ini” mengingat banyaknya berlian yang dia temukan dan kumpulkan di Leicester.

Kesuksesan Walsh terjadi karena dia memaksa Leicester mengambil pendekatan yang berbeda dalam soal pencarian bakat. Walsh tak hanya mengadalkan intuisi semata, tetapi juga memakai software analisis data seperti Prozone, Opta dan WyScout, yang memiliki data jumlah besar tentang statistik pemain.

Dengan mengambil pendekatan seperti itu, Leicester mampu mengidentifikasi pemain tertentu untuk melakukan peran tertentu. Di sini uang berbicara. Sebagai tim yang modal seadanya, kepercayaan mereka kepada pemain hanya bertumpu pada angka. Pembelian dan penjualan pemain tak dibatasi oleh faktor-faktor non teknis, seperti unsur bisnis dan nepotisme misalnya yang lazim dilakukan tim-tim besar.

Teknologi yang mereka pakai tak hanya sekadar pemanis belaka. Tapi betul-betul diimplementasikan karena mereka betul-betul memakainya tanpa ada tekanan di luar hal teknis. Keajaiban, keberuntungan, kerja keras dan teknologi telah membuat si Rubah menggapai mimpinya.

Baca juga artikel terkait LIGA UTAMA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti