tirto.id - Pelantikan Benyamin Davnie sebagai Wali Kota pada 26 April 2021 menandakan babak baru bagi pembangunan lima tahun di Tangerang Selatan. Di masa yang akan datang, kota satelit ini kian banyak menampung kegiatan ekonomi yang meluber dari ibu kota.
Banyak harapan pada kota muda berusia 12 tahun ini. Salah satunya: Tangerang Selatan diharapkan menjadi kota berwawasan lingkungan dengan porsi ruang hijau yang cukup di tengah pemanasan global dan sebagai ruang terbuka publik—terlebih jika melihat beberapa area yang relatif berbeda dengan ibu kota. Jalan dan pedestrian yang lega disertai pohon rindang di kanan-kiri terlihat di kawasan tiga pengembang terbesar, Alam Sutera, Bintaro Jaya, dan Bumi Serpong Damai (BSD). BSD bahkan telah membangun Taman Kota dan Hutan Kota masing-masing seluas 2,6 hektar dan 7,5 hektar yang kini dikelola pemerintah daerah. Warga Bintaro juga memiliki Taman Menteng.
Namun, the devil is in the details. Tangerang Selatan bukan hanya tempat-tempat tadi. Malah, beberapa klaster elite di Alam Sutera, seperti Sutera Asri dan Sutera Magnolia, sempat kebanjiran pada Februari 2021. Di Bintaro, komunitas pemain skateboard juga meminta lebih banyak ruang terbuka untuk beraksi, seperti yang diberitakan oleh Wartakota, Maret lalu.
Warga Alam Sutera mengeluh karena pengelola terkesan hanya mempercantik jalan utama namun kurang memperhatikan sistem resapan air. Berdasarkan pantauan lapangan, mayoritas lahan Alam Sutera di daerah Tangerang Selatan adalah area komersial tanpa taman kota. Namun perusahaan terbuka ini masih memiliki lahan kosong yang sangat besar di Kota Tangerang yang berbatasan dengan Tangerang Selatan, tepatnya di depan IKEA yang masih bisa dikembangkan sebagai ruang publik hijau.
Tangerang Selatan juga punya Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, dan Pondok Aren (empat kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi); jalan-jalan macet; dan sedikit ruang hijau yang minim akses. Hutan Kota Jombang dan trek joging di sekeliling Situ Gintung hanyalah dua dari sedikit area yang tersedia.
Masyarakat menginginkan lebih banyak taman ratusan hektar yang mudah diakses dengan jalan kaki dan kendaraan umum seperti di kota-kota besar negara lain, seperti Hyde Park di London, St. Stephen’s Green di Dublin, Central Park di New York, atau taman-taman kota berukuran sedang yang bisa ditemukan setiap 5 kilometer di Ho Chi Minh.
Lokasi taman-taman yang hanya selangkah dari mal, gedung perkantoran, stasiun, museum, perpustakaan umum, tempat ibadah dan kantor pemerintah ini sangat bermanfaat untuk warga.
Mimpi memiliki Hyde Park di kampung halaman terdengar indah. Hyde Park, taman seluas 142 hektar itu, menjadi kesukaan penduduk London. Pekerja kantoran bisa tidur siang di tepi danau pada jam istirahat, anak kecil berlarian di rumput luas atau sekadar mencari hiburan melihat orang-orang berdebat dan menyampaikan aspirasi di Speakers’ Corner.
Antusiasme warga terhadap ruang hijau di Tangerang Selatan terbukti tinggi dengan selalu adanya pengunjung di sejumlah taman, termasuk Hutan Kota BSD.
Nurdin, seorang satpam yang bekerja di Jakarta, duduk santai di tepi danau yang ada di kawasan 7,5 hektar itu. Hutan kecil di sepanjang Sungai Jaletreng itu sering ia kunjungi tiap libur kerja.
“Dulu, daerah ini sering banjir karena banyak batang pohon dari kebun dan lahan warga yang jatuh ke kali dan tidak ada yang membersihkan saking luasnya. Sekarang pas udah ditata gini, kali jadi bersih,” kisah pria 42 tahun asli Ciater akhir Februari lalu.
“Mending lebih banyak taman kota daripada perumahan, bikin macet, satu rumah bisa punya dua mobil. Di sini banyak perumahan kecil yang nyempil, enggak kelihatan dari jalan. Kalau taman kota enak, warga sekitar juga bisa jualan di sini.”
Berapa Banyak Taman Kota di Tangsel?
Berapa banyak taman kota di Tangerang Selatan? Tidak ada data resmi. Secara empiris, taman-taman ini rata-rata terlihat kecil, kurang dari satu hektar, tidak dikelola secara profesional, jaraknya berjauhan, dan sulit diakses dengan jalan kaki serta kendaraan umum.
Pemerintah daerah tidak memiliki data terintegrasi melainkan tersebar di berbagai dinas. Dinas Lingkungan Hidup, misalnya, memelihara 12 taman lingkungan dengan total 5,8 hektar. Sisanya dikelola oleh dinas lain, termasuk Dinas Pekerjaan Umum (PU).
Secara keseluruhan, data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Tangerang Selatan menunjukkan ruang terbuka hijau (RTH) yang dikelola pemerintah adalah 4,2% atau hanya 692 hektar dari total wilayah kota 16.458 hektar di 2019. Porsi ini menyusut dari 9% di 1.324 hektar pada 2016 dari total wilayah kota saat itu 14.719 hektar.
Penyusutan porsi RTH ini, menurut Bappeda, terjadi karena adanya ketentuan baru dari pemerintah pusat dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam RTRW 2019, pemerintah pusat menentukan batas baru suatu wilayah maka ini menambah luasan wilayah menjadi 16.485 hektar. Sedangkan definisi RTH yang dikelola pemerintah dipersempit menjadi taman kota, sempadan sungai, situ, dan lainnya tetapi tidak termasuk lahan-lahan kosong aset pemerintah pusat dan daerah, maka porsinya menyusut menjadi 4,2%.
“Lapangan Terbang Pondok Cabe [aset Pertamina seluas 116 hektar] tadinya dihitung sebagai RTH di RTRW 2011 kini tidak dihitung lagi sebagai RTH di 2019,” ujar pejabat tinggi Bappeda yang meminta tidak disebutkan namanya, Rabu (17/3/2021).
Para aparat dalam wawancara dengan Tirto juga mengusulkan kepada pemerintah pusat agar perhitungan total luas wilayah kota seharusnya tidak termasuk luas perairan, agar penghitungan area hijau dapat secara akurat dibandingkan hanya dengan luas daratan.
Secara terpisah, data menunjukkan lahan Tangerang Selatan telah terbangun 62% di 2015, melonjak pesat dari 29,6% di 2005. Berdasarkan penelitian Dyah Fatma dan Atsushi Deguchi untuk The City Planning Institute of Japan, hal ini salah satunya disebabkan oleh pertambahan penduduk yang tinggi.
Target 30% RTH di 2031
Secara nasional, Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mengharuskan semua kota di Indonesia memiliki porsi RTH sebesar 30%, terbagi dari 20% RTH publik atau yang dikelola pemerintah publik dan 10% RTH privat. RTH yang dibangun swasta, melalui ketentuan pemerintah dan negosiasi, bisa diserahkan kepada pemerintah setelah beberapa waktu.
Artinya, setiap warga diharapkan juga bertanggung jawab menyediakan minimal 10% area hijau atau halaman di tempat tinggalnya. Definisi ruang terbuka hijau menurut peraturan daerah adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Atap gedung termasuk media yang dapat dijadikan ruang hijau.
Untuk mencapai target, pemerintah kota mulai 2019 telah menaikkan Koefisien Dasar Hijau (KDH) pada hampir semua daerah peruntukan. KDH adalah rasio ruang hijau berbanding total lahan yang akan dibangun. Artinya, semua izin pembangunan baru yang diajukan sejak 2019 harus menaikkan porsi ruang hijau mereka. Kawasan perumahan dan kawasan industri naik menjadi 12,5% dari 10%. Ruang hijau khusus perumahan vertikal atau apartemen juga baru diatur di 17,5% pada RTRW 2019 yang baru ini, yang merupakan revisi dari RTRW 2011.
Selain itu, pemerintah juga menargetkan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) rampung akhir tahun ini. Dengan RDTR, status manfaat lahan menjadi lebih jelas sehingga pemberian izin pembangunan akan lebih selektif. RDTR disusun pada peta berskala 1:5.000, lebih detail dibanding RTRW yang skalanya 1:25.000.
Namun pejabat Bappeda mengatakan pembuatan RDTR memakan waktu yang sangat lama. Padahal, dalam RTRW 2011, pemerintah menargetkan RDTR diterbitkan paling lambat di 2014.
“Mudah-mudahan tahun ini [rampung] karena terkait kedetailan masalah peta tadi juga enggak gampang. Teknologinya pemetaan [untuk RDTR] sendiri kan beda. Cara bikin peta itu kalo kayak BPN [Badan Pertanahan Nasional] itu dia harus foto udara pakai pesawat. Semakin rendah [skala peta] makin rendah juga fotonya. Kalau [peta RTRW] 1:25.000 itu kan citra satelit, jadi beda cara pemetaan,” ujarnya.
“Kemarin ini kita sudah dapat [peta] dari teman-teman BPN tapi tidak tahu [apakah bisa lanjut dipakai atau tidak] karena ada aturan baru lagi untuk penyusunan RDTR jadi petanya harus di-update lagi, diupdate lagi,” lanjutnya.
Setelah tersedia, peta bahan RDTR masih perlu diverifikasi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) melalui proses yang sangat panjang untuk memastikan keakuratan peta. “Kita untuk RTRW saja yang skala petanya 1:25.000 proses verifikasinya dua tahun. Enggak gampang, apalagi RDTR,” lanjutnya.
Selain pemetaan, ada juga penyusunan substansi RDTR yang perlu diselaraskan dengan program-program lain, seperti pembangunan jalan tol dan sebagainya yang ada di pemerintah pusat dan provinsi.
Desainer sosial ekologis dan arsitek Susiadi “Adi” Wibowo dari Lab Tanya mengatakan pemetaan ruang hijau idealnya juga melibatkan perhitungan seperti berapa banyak emisi yang perlu ditangani, target cadangan air dalam tanah dan iklim mikro di suatu daerah.
Selain absennya RDTR, Tangerang Selatan juga tidak mempunyai peraturan zonasi dan aturan operasional lainnya untuk menunjuk dinas tertentu sebagai pengawas keberadaan RTH di lapangan.
“[Ruang hijau] yang existing itu apa dalam waktu ke depan akan tetap eksis atau beralih fungsi. Kita ga punya alat operasional kontrolnya,” ujar Adi, Kamis (11/3/2021).
“Secara kasat mata, [hijaunya Tangerang Selatan] hanya tertolong oleh swasta dan kebun warga. Tapi kita kan nggak boleh mengandalkan itu. Kasus yang sering muncul, area hijau suatu lingkungan beberapa tahun kemudian jadi lahan dengan pengerasan [diaspal/dibeton], tempat ibadah, dan lain-lain,” lanjutnya.
Komitmen Wali Kota adalah Kunci
Sebagai kota muda yang baru berdiri di 2008, bujet daerah lebih banyak dicurahkan untuk membangun infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Saat ini, pembangunan ruang hijau bukan prioritas utama.
Namun, para ahli lingkungan mengatakan justru karena masih belia, mengusahakan hutan-hutan urban tidak sesulit Jakarta yang berumur lebih dari lima abad dengan segala tumpang tindih fungsi lahannya.
Rachmat Witoelar, mantan Menteri Lingkungan Hidup 2004-2009, mengatakan bahwa pembangunan taman kota dengan luas ratusan hektar tidak mustahil meski hampir terlambat, asal ada kemauan baik dan komitmen dari walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“[Membangun banyak taman kota] kalau [di] kota yang masih dibikin masih relatif mudah. Masih bisa. [Membangun taman sebesar Hyde Park juga] itu terserah DPRD dan walikotanya. Itu masih bisa. Tapi kalau DPRD dan walikotanya diiming-imingi oleh pengusaha ya susah,” kata Rachmat yang sekarang menjabat sebagai Pembina di Institute for Sustainable Earth and Resources Universitas Indonesia, pada Senin (1/3/2021).
Laporan berjudul Public Park/Private Money yang dikeluarkan oleh The Trust for Public Land, sebuah organisasi konservasi di Amerika Serikat, juga menyatakan: “Pergerakan mereka [organisasi konservasi untuk membangun taman kota] seringnya datang dari kombinasi pengguna [ruang hijau] dan penduduk sekitar, tapi penerimaan secara politis dari walikota dan pemerintah kota secara de facto diperlukan.”
Surabaya di bawah kepemimpinan mantan Walikota Tri Rismaharini bisa menjadi contoh. Tri Rismaharini aktif menggandeng perusahaan swasta lewat program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan desainer muda dalam mengadakan taman yang tidak hanya hijau tapi juga menarik untuk dikunjungi warga, misalnya lewat penyediaan Wi-Fi gratis sampai perpustakaan.
Bujet Tangerang Selatan sendiri sangat terbatas untuk penciptaan bidang taman lingkungan dan taman koridor jalan, yaitu hanya Rp1,8 milyar di 2021 di bawah DLH. Sementara, harga lahan sudah tinggi di beberapa tahun terakhir.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Theresia Rustandi berkata para pengembang di bawah REI pasti mematuhi aturan pemerintah daerah dalam menyediakan master plan dengan menggunakan konsultan, termasuk menyediakan RTH sesuai porsi yang telah ditetapkan.
Keberadaan RDTR yang disusun secara profesional juga penting agar peruntukan lahan menjadi jelas sesuai sifat ekosistem, target cadangan air dan pengurangan polusi yang ingin dicapai. Dari sana, ujar Theresia Rustandi, pengembang hanya akan mengikuti.
Tren Taman Kota di Dunia
Sejarah taman kota berbeda-beda di setiap kota. Ebenezer Howard, wartawan Inggris yang baru saja pulang dari Amerika Serikat pada 1876, mengusulkan agar London ditata lagi setelah banyak pabrik berdiri akibat Revolusi Industri pertama (1750-1850) dan kedua (1870-1914). Dua revolusi industri ini menghasilkan pemandangan yang tak indah dan polusi udara. Kini London memiliki 3.000 taman.
Jauh sebelum itu, taman kota telah ada di berbagai kota dan diperuntukan untuk warga tanpa tiket masuk. Taman Alameda di Sevilla, Spanyol, misalnya, dibangun pada 1574. Taman Városliget di Budapest, Hongaria, sudah berdiri dari 1800-an.
Karena keberadaannya yang ditujukan untuk kepentingan umum, pengadaan ruang hijau utamanya adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, di Amerika Serikat kini telah bermunculan organisasi konservasi yang mengumpulkan dana dari swasta untuk membuat dan mengelola taman publik. Taman publik ini bisa dibuka di lahan kosong atau memanfaatkan pabrik dan gedung yang sudah tak terpakai.
Biaya pembuatan dan perawatan taman sangat mahal sehingga pendanaan perlu dilakukan dengan serius dan berkelanjutan. Sumber dana bisa diambil dari pajak, donatur, baik perusahaan maupun individu juga dari pengelolaan taman itu sendiri. Banyak pengelola membuat lahannya sebagai area rumput luas yang bisa disewakan sebagai tempat konser, pemutaran film, tempat latihan menari dan lain-lain. Kolaborasi warga sekitar yang dijadikan pengurus sekaligus pengusaha taman, misalnya, dengan berdagang makanan secara tertib merupakan solusi saling menguntungkan.
Meski mahal, pakar mengatakan penghijauan di dalam kota sangat penting. Pada dasarnya satu pohon dapat mencukupi kebutuhan oksigen dua orang seumur hidup. Namun kini pohon tidak hanya diperlukan untuk manusia tapi juga untuk menetralisir asap kendaraan dan pabrik. Ia tentunya juga menyediakan keseimbangan ekologis.
==========
Stefani Ribka adalah alumnus Management Development Institute of Singapore. Pernah menjadi wartawan di The Jakarta Post selama 2015-2018. Kini menulis lepas sambil berwirausaha di pinggiran Jakarta.
Penulis: Stefani Ribka
Editor: Windu Jusuf