tirto.id - Dua tahun lalu, Echa Putri Nesia bertanya pada seorang teman yang tinggal di Jakarta. “Kalau ada uang, baiknya investasi dengan cara apa? Beli emas aja atau ada pilihan lain?”
Echa adalah seorang dokter yang tinggal di Langsa, kota kecil di Timur Aceh. Kebetulan, temannya itu punya sedikit pemahaman tentang berbagai instrumen investasi. Oleh karena Echa ingin investasi jangka panjang, sang teman menyarankan agar Echa membeli reksa dana. Menurut si teman, investasi emas terlalu konvensional, risikonya memang rendah, tetapi imbal hasil juga sedikit.
Setelah berdiskusi, maka Echa memutuskan membagi uangnya dalam sejumlah instrumen investasi. Sebagian dibelikan emas, sebagian dibelikan reksa dana, dan sebagian ditempatkan dalam deposito.
Lalu pergilah Echa ke Bank Mandiri Cabang Langsa untuk membeli reksa dana. Sampai di sana, Echa kecewa sebab bank yang dia datangi tak bisa memproses transaksi pembelian reksa dana. Jadi Echa harus ke Medan, sekitar empat jam dari Langsa, jika ingin membeli reksa dana lewat bank tersebut.
Hal itu disampaikan Echa kepada temannya yang tinggal di Jakarta. Sang teman sempat kaget. Dia pikir, semua cabang Bank Mandiri di semua kota bisa menjual reksa dana. Ia lalu menyarankan agar Echa membeli reksa dana secara online di situs-situs penjual reksa dana.
Echa tak berani sebab ia sendiri sebenarnya belum begitu familiar dengan jenis investasi itu. Terlebih sang teman mengatakan ada potensi nilai uang di reksa dana minus, biasanya terjadi ketika pasar saham anjlok. Dengan datang dan membeli langsung ke bank, Echa merasa lebih aman. Tetapi kalau harus membeli produk investasi yang berisiko secara online, dia enggan.
Kisah Echa hanyalah contoh kecil betapa informasi tentang produk-produk investasi tak banyak diketahui mereka yang tidak tinggal di kota besar. Kalaupun mereka tahu, akses terhadap beberapa produk masih terbatas. Semuanya masih terpusat di Jakarta dan segelintir kota besar.
Semakin jauh dari Jakarta, semakin sulit akses pada produk finansial. Di Sorong Selatan, Papua Barat, jangankan untuk membeli reksa dana, mencari mesin anjungan tunai mandiri (ATM) saja susah.
Akses produk keuangan yang sangat tak merata di Indonesia membuat 16,9 persen penduduk dewasa di Indonesia tak tersentuh produk finansial. Mereka tak bisa bisa menabung ke bank. Penyebabnya bukan melulu mereka tak punya uang untuk ditabung, tetapi akses ke bank yang cukup sulit.
Warga Distrik Kais, Sorong Selatan misalnya, untuk bisa bertemu bank atau ATM, mereka harus melewati jalur darat yang tak mulus selama empat jam.
Sebuah perusahaan konsultan asal Swedia bernama Cint pernah melakukan penelitian tentang jenis produk finansial apa yang dimiliki penduduk di beberapa negara, termasuk Indonesia. Pertanyaan diajukan pada penduduk dewasa, berusia di atas 18 tahun.
Dibandingkan India dan Thailand, angka penduduk Indonesia yang tak memiliki produk finansial jauh lebih besar. Di Thailand, jumlah masyarakat yang tak tersentuh produk finansial hanya 2,58 persen. Di India, sedikit lebih besar dari Thailand, tetapi jauh lebih sedikit dari Indonesia, yakni 7,36 persen.
Di negara tetangga, Malaysia, angkanya dobel digit, tetapi masih lebih rendah dari Indonesia, yaitu 14,89 persen. Kalau dibandingkan dengan Amerika Serikat, sudah tentu kalah jauh.
Meskipun AS adalah negara yang luas wilayahnya, penetrasi sektor keuangannya sudah sangat tinggi. Hanya 2,38 persen penduduk dewasa yang tak tersentuh produk finansial. Selain karena sudah menyandang gelar negara maju, bisa jadi karena AS bukan negara yang segala lini—dari pemerintahan hingga hiburan—terpusat di satu kota. Tidak ada Jakarta di Amerika.
Jika dirinci lagi, dari 83,1 persen penduduk dewasa Indonesia yang memiliki produk finansial, sebanyak 23,38 persennya memiliki rekening tabungan. Ini adalah jenis produk yang terbanyak dibandingkan produk-produk lainnya.
Di peringkat kedua ada dana pensiun, tetapi angkanya hanya 5,73 persen. Berbeda sangat jauh dengan porsi rekening tabungan. Dari segi produk-produk investasi, peminat deposito masih jauh lebih banyak dibandingkan reksa dana maupun saham. Tak hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun begitu. Tentu karena deposito tak memiliki risiko investasi seperti reksa dana atau saham.
Inklusi Keuangan
Untuk memperluas akses terhadap produk keuangan, pemerintah yang diwakili Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat program inklusi keuangan. OJK tentu tak sendiri, ia juga bekerja sama dengan pelaku industri jasa keuangan untuk menjalankan program ini.
Jika dilihat di laman resmi Bank Indonesia, inklusi keuangan adalah pendalaman layanan keuangan untuk masyarakat tingkat akar rumput agar dapat memanfaatkan produk dan jasa keuangan seperti menabung, transfer, kredit, asuransi, dan produk lainnya.
OJK pernah melakukan survei nasional literasi keuangan. Hasilnya, tingkat inklusi keuangan masyarakat pada tahun 2013 hanya 59,74 persen. Ini pun didominasi produk perbankan.
Dari segi tingkat pemahaman akan produk-produk keuangan, angkanya hanya 21,8 persen. Angka tersebut jelas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum melek keuangan. Masih banyak yang tak mendapat akses dan pengetahuan tentang berbagai produk dan jasa sektor keuangan yang jika digunakan dengan cermat, dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti