tirto.id - Membaca kisah hidup tokoh politik, sastrawan, atau pengusaha barangkali merupakan hal lumrah. Tapi bagaimana jika membaca otobiografi kelompok perempuan pelestari hutan larangan? Ini bukan hutan terlarang seperti di cerita mistis, melainkan hutan lindung yakni Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
TNKS merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia yang membentang di wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, hingga Bengkulu, dengan luas mencapai 1,4 juta hektar. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation Ministry of Forestry (2003) menyebut, TNKS adalah salah satu cadangan hutan hujan tropis terbesar dan terpenting di Asia.
Tahun 2003, TNKS ditetapkan sebagai Warisan Alam Asean (ASEAN Heritage Parks). Selanjutnya pada 2004, TNKS bersama Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ditetapkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) yang masuk ke dalam daftar Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites)
Buku Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan (2023) menyuguhkan kisah hidup sekelompok perempuan dari Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Perempuan-perempuan ini bukan tokoh terkenal yang kerap wara-wiri di media sosial atau pun televisi. Sebagian besar dari mereka hidup berdekatan dengan hutan dan menggantungkan hidupnya kepada hutan.
Buku ini secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga bagian cerita, yaitu mengenai pribadi penulis, pengalaman bersama TNKS, serta kesadaran melestarikan dan memperjuangkan hak memanfaatkan TNKS.
Pertama, layaknya otobiografi, buku ini menyajikan cerita mengenai alur kehidupan mereka sebagai penulis hingga membentuk kehidupan mereka sampai saat ini. Di sini diceritakan mereka berasal dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang berbeda.
Tapi ada satu kesamaan dari para perempuan ini, yaitu mereka hidup berdekatan dengan hutan larangan atau hutan lindung dari kecil hingga dewasa.
Selanjutnya, para penulis mengisahkan pengalaman mereka yang berhubungan langsung dengan hutan larangan. Seperti namanya, hutan larangan ternyata bahkan lebih menakutkan dari kisah mistis hutan gaib dalam cerita horor.
Para perempuan ini bercerita mengenai bagaimana masa kecil mereka selalu diselubungi teror karena orang tua mereka terpaksa melakukan praktik ilegal mengolah hutan untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari.
Selain tidak boleh digarap, pepohonan di hutan larangan juga tidak boleh ditebang. Bahkan, memungut ranting pepohonan yang sudah jatuh di tanah untuk kayu bakar saja tidak boleh.
Bila ketahuan atau kepergok menggarap, menebang pohon, atau memungut kayu bakar di hutan larangan, petugas kehutanan tidak segan-segan untuk bertindak.
Salah satu keluarga dari mereka bahkan pernah merasakan dinginnya jeruji besi selama 6 bulan karena kedapatan menggergaji pohon yang sudah tumbang di hutan.
Mereka mengungkapkan bahwa kejadian pondok kebun mereka di dalam hutan larangan dibakar oleh petugas kehutanan merupakan kisah klasik yang menjadi lika-liku drama kucing-kucingan selama berpuluh-puluh tahun.
Terakhir, buku ini bercerita mengenai ikatan erat perempuan dan hutan. Penulis menjelaskan dengan cara yang akan membuat saya sebagai pembaca tercengang, bahwa ternyata bila ditilik lebih dalam, kerusakan hutan akan berdampak langsung pada kehidupan perempuan.
Baik terkait tubuh perempuan terutama organ tubuh yang terkait menstruasi, hamil, menyusui dan melahirkan, peran perempuan di ranah rumah tangga (domestik) terkait pangan, air dan kesehatan, di ranah produktif dan komunitas.
Lalu, mereka menyampaikan bagaimana salah satu kegiatan yang mereka ikuti di Kantor TNKS pada tahun 2017 telah membentuk pemahaman mereka mengenai hak-hak perempuan terkait hutan dan lingkungan hidup.
Pemahaman ini kemudian membuat perempuan-perempuan ini bersepakat membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL). Mereka lalu menyampaikan keinginan untuk terlibat mengelola TNKS dan memanfaatkan TNKS. Mereka juga meminta diinformasikan cara dan dikuatkan kapasitasnya agar bisa terlibat mengelola dan memanfaatkan TNKS dengan baik.
Perjuangan membuahkan hasil, mereka mendapatkan pengakuan formal terhadap hak mereka untuk mengelola hutan TNKS dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di hutan TNKS yang terkait pangan.
Perempuan Pelestari Hutan Larangan Bersuara Lewat Tulisan
Membaca Membangun Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan (2023), kita diajak untuk menyelami pengetahuan mengenai hak perempuan atas hutan dan lingkungan hidup.
Hak-hak tersebut antara lain: hak untuk hidup aman, tenteram, dan damai; hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin; hak atas informasi; hak untuk berkomunikasi; hak akses partisipasi; hak akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Tidak hanya itu, perempuan juga berhak untuk mengajukan usul dan atau keberatan terhadap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup; hak untuk mendapatkan pendidikan; hak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; hak untuk menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan; hak untuk memanfatkan hutan; dan hak untuk memanfaatkan hasil hutan.
Ketika membaca dan merenungi keterkaitan perempuan dengan hutan serta hak perempuan atas hutan dan lingkungan hidup. Saya tercengang karena gaung mengenai topik ini tidak pernah saya dengar dan baca sebelumnya.
Terlebih, keterkaitan hutan dan perempuan diulas secara mendetail dengan bahasa yang mudah dicerna. Saya yakin tidak banyak orang yang tahu atau pada titik lebih dalam menyadari keterikatan dua hal tersebut.
Buku ini menyuguhkan cerita berdasarkan pengalaman dan sudut pandang keenambelas perempuan, sehingga racikan pengetahuan yang akan didapat saat membaca tidak melulu tentang teori kehutanan dan lingkungan hidup yang acap membuat kita mengerutkan kening saat mencoba memahaminya.
Namun, terlepas dari semua pengetahuan yang ada, hal yang paling menarik dari buku ini dan membuat berbeda dari buku yang saya pernah baca sebelumnya adalah keberanian perempuan-perempuan ini untuk menyuarakan pengalamannya melalui tulisan.
Mereka bukanlah jurnalis atau bahkan akademisi yang akrab dengan dunia penulisan, namun alur tulisan serta “suara” yang mereka bangun dalam buku ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Buku ini juga sedikit banyak mengingatkan saya dengan Habis Gelap Terbitlah Terang oleh R.A Kartini, pahlawan emansipasi itu memperjuangan hak perempuan melalui pemikirannya yang dituangkan melalui rangkaian tulisan-tulisan.
Begitu pula para perempuan ini dengan keberaniannya memberitahu masyarakat luas mengenai pengalaman mereka terkait hak perempuan atas hutan dan lingkungan hidup serta betapa pentingnya melestarikan hutan dilihat dari sudut pandang mereka sebagai perempuan yang hidup berdekatan dengan hutan.
Secara keseluruhan buku ini sangat pantas dimasukkan ke dalam daftar baca bagi mereka yang tertarik dengan topik mengenai perjuangan perempuan, hutan, dan atau lingkungan hidup.
Buku ini diracik dengan sangat baik, namun bukan berarti tidak ada cela yang mungkin bisa menggelitik sedikit rasa penasaran pembaca. Salah satunya adalah ketidakseimbangan porsi tulisan dari keenambelas penulis.
Saya mendapati ada beberapa orang penulis yang memiliki porsi tulisan hingga belasan halaman sedangkan yang lain kurang dari sepuluh halaman. Cerita yang cukup singkat dari beberapa penulis tersebut membuat cerita mereka terasa seperti sajian pelengkap dari beberapa orang tokoh utama di dalamnya.
Identitas Buku
Judul:
Jalan Perubahan: Kumpulan Otobiografi Perempuan Pelestari Hutan Larangan
Penulis:
Rita Wati, Purwani, Kayum, Feni Oktaviana, Eva Susanti, Nurlela Wati, Julian Novianti, Marta Ningsih Hariyani, Donsri, Sujirah, Meliani, Rohima, Roisa, Mulyani, Rusmawati, Sugini, Wahyuni Saputri, Rika Nofrianti, Rike Vevri Dwiyani, dan Ella Deskomariatno
Editor:
Dedek Hendry
Penerbit:
HATOPMA
Cetakan Pertama:
14 Maret 2023
Jumlah Halaman:
276
Link download e-book: (PDF)
----------
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis/kontributor. Redaksi hanya menyunting sesuai dengan kebutuhan tulisan.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Iswara N Raditya