tirto.id - “Akhirnya aku ‘kena mental’ juga, Auntie,” kata keponakanku yang baru saja mendarat di sofa ruang tamu. Dengan lunglai, dia melanjutkan cerita. “Aku baru tahu seperti ini rasanya ‘kena mental’. Bosku itu memang unbelievable, nggak nyampe nalarku sama apa maunya.”
“Bayangin ya, Auntie. Kerjaanku beres semua. Materi presentasi dan semua kerjaan sudah sesuai deadline. Manajerku juga bilang, kerjaanku excellent. Tapi tahu apa yang bosku bilang? Masih kurang! Pas aku tanya apa yang kurang, aku disuruh cari tahu sendiri. Ini sering terjadi. Semua orang juga diperlakukan sama,” panjang-lebar, dia bercerita.
Seperti tak percaya, aku pandangi berulang-ulang Mentari, keponakanku ini. Cantik, S1 dan S2-nya cumlaude, baik hati, ramah, dan tekun. Apa yang salah darinya sampai bisa bilang dirinya “kena mental”?
Istilah “kena mental” marak dipakai sejak pertengahan 2021. Nessi Purnomo, M.Si., Psikolog, Psikolog Klinis, menyebutnya sebagai bahasa gaul, bukan bahasa medis.
“Ketika si A mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang menyebabkan si B secara psikologis merasa tidak nyaman, kemudian orang mengistilahkannya dengan ‘kena mental’. Si B ‘kena mental’, nih. Ini istilahnya anak-anak gaul, dalam dunia psikologi yang baku, sebetulnya tidak ada,” jelas Nessi.
Don Raden, M.D., psikiater dan salah satu pendiri Raden Wellness di Highwood, Illinois, juga menyebut mental breakdown, nervous breakdown, atau mental health crisis ini bukanlah istilah klinis, dan tidak digunakan secara luas di kalangan profesional medis dan psikiatri.
Breakdown sendiri adalah kondisi di mana seseorang mengalami gangguan kesehatan mental. Gangguan paling umum adalah ketika seseorang sudah mulai mengalami depresi yang cukup parah, biasanya dalam beberapa minggu.
"Seseorang akan mulai merasa lebih gelisah, lebih sulit tidur, berpikir lebih negatif tentang diri sendiri, merasa semakin putus asa dan tidak kompeten dengan apa yang ia lakukan,” terang Dr. Philip Timms, konsultan psikiater dari South London and Maudsley Trust.
Pada tingkat serius, terjadilah apa yang disebut sebagai mental breakdown. Kondisi ini, oleh Dr. Raden, digambarkan sebagai situasi di mana seseorang mengalami tekanan mental atau emosional yang sangat parah sehingga tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Ibaratnya, seseorang telah mencapai titik terendah dan “hancur” karena ia tidak lagi berfungsi dengan cara yang normal.
Mental breakdown dapat timbul dari peristiwa tertentu, yang juga dapat mengindikasikan kondisi yang sedang berlangsung dan mendasari kecemasan atau depresi.
Contohnya, kondisi di kantor, perubahan hidup yang signifikan (memiliki bayi, mengalami kerugian finansial yang besar, berpisah dengan pasangan) atau tragedi (kehilangan orang yang dicintai, diagnosis medis, atau kecelakaan mobil).
Apa pun yang menyebabkan stres berlebihan juga dapat memicu mental breakdown. Secara umum, merasa stres dan tidak mampu mengatasinya dapat menyebabkanmu merasa kewalahan, sehingga tidak dapat melakukan fungsi normal sehari-hari.
Ada suatu hal yang menjadi tekanan bagi seseorang, bisa jadi tidak bermasalah untuk orang lain. Itulah mengapa disebut subjektif, karena tiap orang bisa berbeda penerimaannya.
Stres bisa dialami mulai dari usia berapa pun karena sumber dan tingkat stresnya beda-beda. Contohnya, anak SD saja sudah bisa stres, sudah bisa mengalami kondisi mental tidak nyaman yang membuat fungsi sehari-harinya terganggu.
Apa yang harus dilakukan ketika semua orang berpotensi stres dan mengalami mental breakdown?
Nessi memberi solusi. Kita perlu memahami dulu hal-hal yang berpotensi membuat kita mengalami stres, dan hal-hal yang tidak.
Yang penting, bukan bagaimana kita menghindari stres, melainkan bagaimana kita mengendalikannya.
Misalnya, kamu tahu kamu akan stres dengan kondisi yang terjadi, tapi paling tidak kamu tahu apa yang kamu perlukan, apa yang bisa kamu lakukan, kamu bisa minta tolong kepada siapa, bentuk bantuan seperti apa yang kamu butuhkan ketika kamu sedang mengalami situasi seperti ini.
“Inilah mengapa, selain berdampak negatif, stres juga bisa memberi manfaat positif. Dari stres, kita bisa jadi lebih aware. Kalau itu memang sesuatu yang mau tidak mau terpaksa kita jalani, kita harus tahu how to handle, sehingga kita tidak akan mengalami kondisi psikologisnya menjadi berat. Bisa kita handle dan kita tahu how to do-nya,” papar Nessi.
Masalah hidup akan selalu kita alami dan tak terhindari. Namun, sama dengan stres, cara menghadapi masalah bukan dengan lari darinya, tapi dengan menghadapinya.
Yuk, mulai berani mulai sekarang!
Penulis: Glenny Levina
Editor: Yemima Lintang