tirto.id - Good Omens sepertinya bukan serial TV terbaik untuk disaksikan tanpa pikiran terbuka. Sebaliknya, ia bakal jadi tontonan menghibur untuk mereka yang kerap mempertanyakan iman dan kepercayaan, atau pun yang tak begitu mempermasalahkan blasphemy, terbiasa dengan kisah yang memprofankan sesuatu yang sakral.
Ia juga tontonan tepat bagi yang menggemari trope penceritaan "malaikat dan setan" atau menyukai parodi dengan referensi Alkitabiah semacam Legion, Lucifer, Preacher dan Constantine, bahkan Monty Python.
Pastinya pula bakal cocok untuk para penggemar karya-karya penulis prolifik Neil Gaiman semisal, Stardust ataupun The Sandman. Sebabnya tak lain, serial yang ditayangkan di Prime Video pada 2019 ini diangkat dari novel Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch karya bersama Gaiman dan mendiang Terry Pratchett yang terbit pada 1990. Lebih lanjut, Gaiman pun berlaku sebagai showrunner untuk serial TV ini.
Sekali lagi, Good Omens baiknya didekati dengan pikiran terbuka. Pasalnya, iamenggunakan—atau mungkin lebih tepatnya, memparodikan—berbagai unsur dalam agama-agama Abrahamik. Singkatnya, ia menerapkan teologi untuk komedi, alih-alih religius.
Ini adalah kisah malaikat bernama Aziraphale (dimainkan Michael Sheen) yang bersekutu dengan setan bernama Crowley (David Tennant) demi menghentikan kiamat (Armageddon) yang telah dicanangkan Tuhan sejak lama.
Keduanya punya riwayat panjang, sangat panjang. Aziraphale ialah utusan Surga di Bumi manusia. Dialah sosok yang memberikan Adam dan Eve pedang api usai dua manusia pertama itu diusir Tuhan ke Bumi. Crowley sebaliknya, dialah perwakilan Neraka di Bumi sekaligus sosok yang meyakinkan Eve untuk makan buah dari pohon pengetahuan.
Crowley juga merupakan utusan langit yang mengawal kelahiran Antichrist, sosok yang bakal memulai skenario Armageddon rancangan Tuhan. Dengandibantu para suster satanis, Crowley berencana menukar sang bayi dari neraka dengan bayi manusia yang baru dilahirkan. Namun, dia membuat kesalahan dalam penukarannya dan baru menyadari kesalahan itu seminggu sebelum kiamat.
Saat itulah, segala ontran-ontran dalam Good Omens dimulai.
Di samping plot utama yang melibatkan Aziraphale dan Crowley, Good Omensjuga disesaki berbagai subplot yang semuanya berkaitan dengan Armageddon. Ternyata, begitu banyak yang terlibat untuk melancarkan maupun menghentikan Kiamat.
Mulai dari plot Antichrist berwujud anak manusia bernama Adam Young (Sam Taylor Buck), pemanggilan Four Horsemen of the Apocalypse (Empat Penunggang Kuda) yang bakal melancarkan Kiamat, hingga seorang perempuan okultis dan seorang laki-laki pemburu penyihir yang juga hendak menghentikan Kiamat.
Di sekeliling subplot itu, masuklah karakter-karakter pasukan Surga pimpinan archangel Gabriel (Jon Hamm) dan pasukan Neraka pimpinan Beelzebub (Anna Maxwell Martin).
Mulanya, motif dasar Aziraphale dan Crowley menghentikan Kiamat cukup egois: lantaran mereka menikmati betul hidup dalam wujud manusia di bumi. Lama kelamaan, motif itu diperdalam. Tak ada yang memiliki pemahaman soal manusia sebaikmereka berdua. Gabriel—atau sosok langitan mana pun—tak begitu paham soal manusia, apalagi kemanusiaan.
Hal itu lantas dituangkan dalam penceritaan yang sarat humor dan kritik terhadap para entitas langit. Sering kali menyiratkan “ada kebaikan pada diri setan dan ada pula keisengan dalam diri malaikat” yang kelak bermuara pada satu hal: bahwa takdir yang digariskan Tuhan, yang dieksekusi pasukan Surga dan Neraka terhadap manusia sama sekali tak adil.
Bromance Malaikat dan Setan
Gaiman dan Pratchett seolah menemukan celah dalam tuturan kreasionisme dan menyadari itu bisa dikembangkan jadi cerita baru. Dan di antara hasilnya adalah Antichrist di bawah bimbingan dan pertemanan yang tepat bahkan pada akhirnya menolak menghancurkan kemanusiaan. Tuhan benar-benar entitas tak tersentuh dan untuk bicara dengannya harus via jubir, Metatron.
Yang paling heboh adalah bahwa The Great Plan, skenario dari Yang Maha Kuasa itu, bisa dilawan.
Baik pasukan Surga maupun pasukan Neraka sama-sama menginginkan perang karena sudah diperintahkan demikian. Itu bukan rencana yang sempurna, sama sekali jauh dari kata memuaskan. Jelas bukan penggambaran dan motif yang baik dari sudut pandang kemanusiaan, bahkan dalam perspektif duo malaikat-setan yang lama membaur bersama manusia.
Bahwa Surga dan Neraka ternyata tidaklah jauh berbeda. Kubu yang terakhir malah memiliki Mozart, Beethoven, Schubert, dan banyak lagi—alias lebih menghibur.
Namun, apakah Good Omens sepenuhnya mengkritik teologi hanya karena bisa dikritik atau satire semata? Sepertinya, tidak juga.
Good Omens kadang menyisipkan komentar sosial. Contohnya adalah Four Horsemen of the Apocalypse yang dinarasikan memiliki formasi anyar. Dari asalnya Death, War, Famine, dan Pestilence kini jadi Death, War, Famine, dan Pollution. Di dunianya Good Omens,Pestilence atau Wabah dianggap pensiun sejak ditemukannya penisilin dan posisinya digantikan Pollution—yang kian relate bagi manusia di dunia kita.
Di atas semuanya, barangkali Gaiman hanya ingin menuliskan relasi intim yang tak lazim antara malaikat dan setan. Episode 3 jadi salah satu yang terbaik untuk urusan ini, di mana serial mengusung klise “menyusuri zaman” ketika Aziraphale dan Crowley terlibat dengan peristiwa-peristiwa besar dari banjir zaman Nuh, penyaliban Yesus, hingga Revolusi Prancis dan kejatuhan Nazi.
Keduanya ditampilkan menginspirasi penemuan dan karya besar yang melampaui zaman, tapi sekaligus mengimplikasikan bahwa keduanya tak (banyak) terlibat dalam peristiwa-peristiwa besar maupun perang yang digambarkan condong sebagai karya manusia belaka.
Kita kerap kali mendapati mereka berdua tak lebih sebagai penyaksi. Dua kawan yang tadinya pragmatis kini berani memberontak menentang Tuhan. Dua sosok yang dinanti hukuman, baik dari pihak Surga maupun Neraka tatkala gagal menjalankan tugas.
Sebuah kisah dengan ending yang cerdas, mengaburkan sifat alami malaikat dan setan kala keduanya bertukar wujud, memberikan kesan bahwa keduanya bisa saja pihak yang berdiri di balik kebenaran, lebih benar dari skenario Tuhan.
Mungkin saja ini memang hanya soal bromance (kalau bukan romance). Pertemanan keduanya yang terpisahkan pagar tinggi-panjang, selalu ditulis sebagai oposan, terang-gelap, surga-neraka, pegawai Tuhan-abdi Satan. Satu pertemanan yang pada intinya menjadi kisah yang sangat optimis pada kemanusiaan.
Untuk mengesankan ini bukanlah “penafsiran” ala Gaiman dan Pratchett, dihadirkanlah humor yang kental. Itu menjadikan bentuk keseluruhan serial ini sebagai komedi. Frances Mcdormand yang ditugaskan sebagai narator (sekaligus pengisi suara Tuhan) juga kadang turut bertugas menjadi penggerak humor. Sang aktor kawakan tak hanya menjelaskan lini waktu dan narasi kisah, tapi juga kadang menjelaskan bagaimana setan bisa dijebak dalam gelombang elektronik.
Selalu ada kesan agar “jangan serius-serius amat”, apalagi dalam mengikuti kisah yang senantiasa konyol, yang kadang disertai alur dan humor ganjil, serta beberapa karakter dengan running gag rada garing; sebut saja itu tendensi keisengan Gaiman.
Struktur naratifnya tak biasa, mepetnya hari-hari jelang kiamat ditampilkan maju-mundur, cukup untuk menjaga ketertarikan. Itu tetap jadi kesatuan yang padat, kalau bukan kelewat padat dalam enam episode. Kiamat bahkan sudah terjadi pada episode 4.
Namun, kepadatan itu diakhiri dengan konklusi yang cukup memuaskan bagi banyak pihak—kecuali yang menginginkan Armageddon terjadi.
Secara keseluruhan, Good Omens memangtak sampai menjelma serial yang “luar biasa”. Iapunya banyak porsi keisengan—kadang juga menjurus penggampangan—dalam plotnya yang mudah untuk diabaikan karena sifatnya sebagai komedi atau satire.
Peran Four Horsemen, misalnya, kendati tetap menghibur, tapi terkesan kurang dimaksimalkan. Begitu juga dengan Satan (Benedict Cumberbatch) sebagai penguasa neraka, figur penting yang benar-benar terasa seperti cameobelaka.
Menyangkut poin terakhir, Good Omens nyatanya cukup serius. Selain Cumberbatch, terdapat nama-nama familier yang turut mengisi serial ini. Karenanya, ia seakan jadi tempat kumpul para aktor berkelas dan populer dengan mengisi peran-peran kecil. Ada McDormand dan Jon Hamm yang telah disebutkan, hingga Mark Gatiss (Sherlock) dan Brian Cox (Succession).
Semuanya mendukung akting duo Michael Sheen (The Damned United, Twilight, dll.) dan David Tennant (Dr. Who, Jessica Jones, dll.) yang selalu mengesankan dalam setiap momen dalam beragam wujud perubahan sang malaikat dan setan. Selalu ada chemistry kuat saat keduanya bersua di layar.
Khusus Tennant, agaknya dia memang selalu cocok memainkan peran nyeleneh dan karenanya memerankan setan pun jadi alami belaka buatnya.
Good Omens ditunjang pula olehefek visual yang cukup pantas, meski tak begitu memukau. Dengan make up yang selalu jitu di setiap waktu, begitu pun desain produksinya, terutama soal pemanfaatan Inggris sebagai latar dunia klenik yang terasa maksimal.
Diiringi pula musik dan score fantastis dari David Arnold. Ia kadang terdengarcampy, dengan musik tema yang mudah lengket di kepala. Itu dilengkapi pula dengan deretan lagu dari band legendaris Queen yang memberikan kesan Inggris-sekaligus-universal, membuatnya lebih mudah diterima kalangan luas.
Good Omens tadinya hanya direncanakan sebagai miniseries. Enam episode ini saja sebenarnya sudah cukup mengkover keseluruhan novelnya. Namun, kita ternyata disuguhi season keduanya pada 2023 ini. Barangkali, ia melanjutkan omongan Crowley pada episode pamungkasseason pertama ini: bahwa selepas kiamat sukses ditunda, perang besar berikutnya bisa saja meletus antara langit dan bumi, Surga dan Neraka sekaligus kontra kemanusiaan—dengan duo malaikat dan setan ini tampaknya akan berada di pihak kita, manusia.
Maka kelanjutannya patut dinantikan, terutama oleh mereka yang mencari hiburan ringan dalam cerita yang iseng tapi juga padat, bagi mereka yang cukup terbuka dalam menyaksikan entitas-entitas langit ditampilkan sebagai sosok-sosok yang memiliki cela, yang bisa saja keliru dalam menulis takdir maupun dalam memandang manusia dan kemanusiaan.
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi