Menuju konten utama

Menteri Teten Nilai Thrifting Rugikan UMKM Tak Sesuai Gernas BBI

MenkopUKM Teten Masduki menilai bisnis thrifting atau pakaian bekas impor dinilai sangat merugikan UMKM.

Menteri Teten Nilai Thrifting Rugikan UMKM Tak Sesuai Gernas BBI
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki (kedua kanan) mengamati produk pie susu saat mengunjungi salah satu toko oleh-oleh khas Bali di Kuta, Badung, Bali, Kamis (26/1/2023) malam. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo.

tirto.id - Bisnis thrifting atau pakaian bekas impor dinilai sangat merugikan Usaha Mikro Kecil menengah (UMKM). Maka dari itu, Menteri Koperasi dan UKM atau MenkopUKM Teten Masduki mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai produk lokal dengan membeli dan mengonsumsinya.

Teten Masduki mengatakan, saat ini telah banyak produk-produk fesyen lokal dengan kualitas tinggi yang tidak kalah dengan brand dan produk luar negeri kenamaan.

“Argumen kami untuk menolak masuknya pakaian bekas dan sepatu bekas impor untuk diperdagangkan sangat kuat, kita ingin melindungi produk dalam negeri terutama di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), sekarang sudah banyak diproduksi di Indonesia,” ujar Teten Masduki dalam keterangannya di Kantor KemenKopUKM, Jakarta, Senin (13/3/2023).

Di tengah gerakan untuk mencintai, membeli dan mengonsumsi produk dalam negeri, Teten menilai terdapat penyelundupan barang-barang bekas TPT tersebut yang tidak sejalan dengan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI).

“Saat ini kami terus mendorong masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri melalui kampanye BBI yang telah digaungkan Presiden sejak tahun 2020,” bebernya.

Kendati begitu, pemerintah melalui KemenkopUKM juga turut menginisiasi berbagai kebijakan yang menjadi bentuk dukungan serta komitmen dalam mencintai dan menggunakan produk dalam negeri.

Salah satunya adalah melalui alokasi 40 persen belanja pemerintah dan BUMN untuk memajukan produk lokal.

“Melalui kebijakan tersebut, diprediksi oleh BPS akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,85 persen sekaligus menciptakan 2 juta lapangan kerja tanpa investasi baru,” ujarnya.

Dengan adanya aktivitas thrifting, Teten menyebut disebabkan oleh hukum permintaan dan penawaran. Apabila permintaa thrifting produk impor dapat dihentikan maka akan berpengaruh pada pasar yang kemudian dapat diisi oleh produk dalam negeri.

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah KemenKopUKm Hanung Harimba menuturkan, larangan mengenai thrifting atau pakaian bekas impor sebenarnya sudah diatur dalam peraturan Menteri Perdagangan (Permen).

Yaitu, Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

“Pada Pasal 2 Ayat 3 tertulis bahwa barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas,” tutur Hanung.

Isu thrifting, menurut Hanung, saat ini menjadi sebuah isu yang serius, terlebih karena saat ini ekonomi dunia mengalami perlambatan. Sehingga, impor barang bekas menjadi tantangan tambahan bagi para pelaku UMKM di Indonesia.

Selain itu, thrifting juga mempunyai dampak negatif yang dinilai sangat merugikan. Di antaranya adalah, menimbulkan masalah lingkungan yang serius karena banyak di antara baju bekas impor tersebut berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Selanjutnya, thrifting pakaian impor merupakan barang selundupan atau ilegal yang tidak membayar bea dan cukai, sehingga menimbulkan kerugian negara.

Thrifting pakaian impor ini juga akan merugikan produsen UKM tekstil. Menurut CIPS dan ApsyFI, 80 persen produsen pakaian di Indonesia didominasi oleh industri kecil dan mikro,” ucap Hanung.

“Sedangkan, impor pakaian bekas selama ini memangkas pangsa pasar mereka sebesar 12-15 persen,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait THRIFTING atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Maya Saputri