Menuju konten utama

Menteri Rangkap Jabatan di Parpol Memang Rentan Penyelewengan

Menteri yang merangkap jabatan sebagai fungsionaris partai akan selalu rawan terlibat konflik kepentingan. Presiden diminta mempertimbagkan itu.

Menteri Rangkap Jabatan di Parpol Memang Rentan Penyelewengan
Presiden Indonesia Joko Widodo, baris ke lima dari kiri, dan wakilnya Ma'ruf Amin, keenam dari kiri, duduk di tangga Istana Merdeka bersama menteri kabinet barunya saat pengumuman kabinet baru di Jakarta, Indonesia, Rabu, 23 Oktober 2019. AP / Dita Alangkara

tirto.id - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh rekan satu partainya, Nizar Dahlan, atas dugaan “mendapatkan gratifikasi.” Ia pun meminta KPK “menyelidiki dan meningkatkan pada tingkat penyidikan.”

Dalam keterangan tertulis yang Tirto kutip pada Senin (7/11/2020), Nizar mengatakan Suharso menerima bantuan pinjaman jet pribadi saat berkunjung ke Medan dan Aceh pada Oktober 2020 dari seorang kawan. Ia meyakinkan itu dengan menyinggung LHKPN Suharso yang per 2018 lalu hanya Rp 84.279.899. Ia juga mengatakan Suharso tidak menggunakan dana partai atau kementerian.

Pemberian tersebut dimaksudkan agar “mobilitas Plt Ketum PPP tersebut dapat maksimal melaksanakan tugas-tugas partai.” Ia menduga peminjaman berhubungan dengan status Suharso sebagai pejabat negara.

Sebab itu, menurutnya, Suharso memenuhi “kualifikasi dugaan suap dan gratifikasi Pasal 12B ayat (1) UU 31/1999 Jo. UU 20/2001.”

Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan akan segera memverifikasi dan mengkaji laporan Nizar. Jika ditemukan peristiwa pidana, “maka tidak menutup kemungkinan KPK akan melakukan langkah-langkah berikutnya sebagaimana hukum yang berlaku.”

Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Kaukus Muda PPP, Hammam Asy'ari, mengatakan laporan ini “ngawur” sekaligus “menunjukkan yang bersangkutan tidak paham ketentuan gratifikasi yang patut dilaporkan kepada KPK.” Menurutnya, itu bukan gratifikasi seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 A UU Pemberantasan Tipikor sebab Suharso kala itu bukan sebagai pejabat publik, tapi ketua partai.

“Tidak ada kegiatan pribadi atau dinas, dan juga dilakukan pada hari libur, yakni Sabtu dan Minggu,” katanya, mengutip Antara.

Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menambahkan bahwa selain mengada-ada karena pesawat itu dibayar pakai uang partai, laporan ini didasarkan atas faktor sentimen pribadi. “Karena ketidaksenangan akibat ada permintaan yang tidak dipenuhi,” katanya. Selain itu, ia juga mengatakan Nizar sebelumnya kader PBB yang saat pindah ke PPP “tidak pernah aktif dalam kegiatan partai.”

Masalah Rangkap Jabatan

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai terlepas dari perkara benar atau tidaknya gratifikasi Suharso, menteri yang merangkap jabatan sebagai fungsionaris partai, terlebih ketua atau pemimpin, mengandung sejumlah persoalan.

“Terkadang jabatan menteri juga digunakan untuk kepentingan partai, seperti ada menteri yang menggunakan kantornya untuk kepentingan partai,” ujar Ujang kepada reporter Tirto, Senin (9/11/2020).

Contoh kecil ini terjadi pada 29 Oktober 2019. Airlangga Hartarto, Ketum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengadakan pertemuan dengan kader muda Partai Golkar di Kantor Kemenko Perekonomian di Lapangan Banteng, Jakarta.

Selain Suharso dan Airlangga, Presiden Joko Widodo juga mengangkat Prabowo Subianto, Ketum Partai Gerindra, sebagai Menteri Pertahanan.

“Jika ketum partai dan jabatan menteri tak berjarak, jabatan menteri akan digunakan untuk kepentingan partai dan pemilu, untuk mencari sumber dana partai,” tambah Ujang.

Kasus korupsi yang menjerat menteri dan ketum parpol terjadi berkali-kali, termasuk yang ramai pada awal 2020: Eks Menag Lukman Hakim disebut hakim menerima Rp 70 juta dalam kasus suap mantan Ketum PPP Romahurmuziy.

Oleh karena rentan terlibat dalam konflik kepentingan, menurut Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Jokowi harus membuat kabinetnya menjadi lebih profesional. “Lepas dari ketentuan UU yang dibuat orang partai juga, ada baiknya garis integritas kabinet yang dulu didengungkan Jokowi berlaku kembali,” ujarnya Feri kepada reporter Tirto, Senin.

Menurut Feri, semestinya jabatan ketum partai ditanggalkan ketika seseorang terpilih menjadi menteri. “Ada maksim politik: ‘pengabdian kepada partai berakhir ketika pengabdian negara dimulai’. Sebagai pengurus partai saja ditinggal apalagi sebagai ketua,” katanya.

Peneliti dari Transperancy Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola menjelaskan bahwa ketum parpol--organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD--sebetulnya dilarang merangkap menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara.

Pasal 23 berbunyi: (1) Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

“Partai politik termasuk organisasi yang dibiayai negara secara proporsional sebagaimana diatur dalam UU 2/2011 tentang Perubahan atas UU 2/2008 tentang Partai Politik,” ujar Alvin.

Pasal 34 UU 2/2011 berbunyi: (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa;

serta, (3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran. Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.

Ia juga menilai tiga menteri cum ketum parpol tidak memiliki prestasi gemilang. Prabowo tak transparan dalam pengadaan alat militer; Airlangga bersikeras mengesahkan UU Cipta Kerja ketika peraturan itu ditolak masyarakat; sementara Suharso menurutnya gagal menjernihkan peta pembangunan nasional.

“Sudah selayaknya Presiden meninjau ulang posisi para menteri ini untuk dicabut dari jabatannya,” ujar Alvin kepada reporter Tirto, Senin.

Baca juga artikel terkait RANGKAP JABATAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino