Menuju konten utama
Laporan dari Singapura:

Menonton Coldplay sebagai Penghibur Kelas Wahid

Coldplay berkarier selama 2 dekade dan menjalani perubahan yang cukup drastis.

Menonton Coldplay sebagai Penghibur Kelas Wahid
Konser Coldplay di Singapore. 31 Maret 2017. Kevin Mazur/AMA2015 / WireImage

tirto.id - Coldplay, salah satu band pop terbesar di dunia saat ini, sukses menggelar konser kedua mereka di Singapura. Konser yang merupakan rangkaian tur dunia "A Head Full of Dreams" ini tidak cukup berlangsung satu hari. Tingginya antusiasme penonton menyebabkan rencana konser pada 1 April 2017, akhirnya ditambah satu hari sebelumnya, 31 Maret 2017.

Sekitar 50.000 tiket dikabarkan ludes di masing-masing pertunjukan. Ini adalah bukti bahwa Coldplay masih digemari banyak orang dalam rentang karier yang merentang nyaris dua dekade. Band ini dibentuk Chris Martin dan Jonny Buckland pada 1996. Coldplay lahir sebagai band kampus di University College of London, Inggris. Pertemuan Chris dan Jonny dengan dua personel lain, Will Champion dan Guy Berryman, berlanjut karena kesamaan musikalitas. Mereka sempat menamakan diri sebagai Starfish, dan beberapa kali manggung di bar lokal.

Setelah merilis dua mini album, Safety (1998) dan The Blue Room (1999), Coldplay akhirnya memperoleh kontrak eksklusif untuk merilis lima album dengan label rekaman Parlophone di awal 1999.

Selama masa kariernya itu, Coldplay telah melakukan berbagai perubahan. Baik dari segi aksi panggung atau musikalitas. Awalnya Coldplay dikenal sebagai band rock alternatif dengan aksi panggung sederhana. Namun kini, Coldplay menghadirkan ramuan dari berbagai variasi musik, yang disertai dengan aksi panggung lebih atraktif dan hidup, serta tentu saja memakan biaya produksi besar.

Suka atau tidak suka, Coldplay telah memutuskan untuk mengikuti zaman dan tren terkini. Semakin ke sini, usaha mereka untuk semakin menguasai dunia musik pop pun semakin tak bisa ditutupi.

Konser Berwarna yang Megah

Pada Jumat (31/3) sore, National Stadium yang dipilih sebagai tempat pertunjukan konser Coldplay di Singapura telah dipadati penonton. Beberapa di antara mereka terlihat mengenakan kaos maupun atribut bertulis Coldplay, maupun judul dan gambar sampul album Coldplay, seperti A Head Full of Dreams dan Parachutes. Meski kepadatan terjadi, namun luasnya area kompleks National Stadium membuat para penonton yang telah siap bersenandung tetap bisa bergerak sembari sekali waktu berfoto.

Antrian panjang terlihat di kelas Standing Pen A dan B. Sekitar pukul 18:00 waktu setempat, pintu gerbang dibuka dan satu per satu pemegang tiket mulai memasuki area konser.

Sesuai dengan jadwal yang diumumkan promotor Live Nation Lushington di akun media sosial mereka, pagelaran pertunjukan musik berjalan tepat waktu. Meski masih terlihat sejumlah area yang belum terisi, penyanyi Jess Kent membuka konser pada pukul 19:00.

Tepat selang satu jam setelahnya, lampu pun dipadamkan, tembang “O Mio Babbino Caro” dari penyanyi opera Maria Callas diperdengarkan, dan muncullah tayangan yang menampilkan testimoni para penggemar Coldplay di Asia pada layar besar yang terletak di bagian tengah panggung.

Seiring dengan hitungan mundur yang ditampilkan pada layar utama tersebut, teriakan pun semakin lantang terdengar, dan atmosfer kemegahan konser mulai dapat dirasakan. Chris Martin akhirnya muncul dan Coldplay secara resmi membuka konser mereka yang kali kedua di Singapura ini dengan tembang “A Head Full of Dreams”. Lagu ini dipakai sebagai judul album terbaru mereka, dirilis pada 2015, sekaligus judul rangkaian tur yang sedang mereka jalani.

Seperti konser mereka di negara yang disinggahi tur ini, berbagai usaha dilakukan Coldplay agar para penonton tetap mengagumi aksi panggung mereka. Tak ubahnya judul lagu yang telah mereka nyanyikan sendiri, Coldplay saat ini benar-benar “life in technicolor”.

Sorotan laser yang menyilaukan mata, ledakan confetti, kembang api yang megah, hingga sejumlah bola berwarna-warni yang dilemparkan kepada para penonton di sekitar area panggung menjadi daya tarik tersendiri. Belum lagi ditambah ide cemerlang membagikan wristband kepada setiap penonton. Dari gelang itu akan muncul aneka ria warna yang dikontrol otomatis.

Harus diakui, ide gelang dengan lampu tersebut adalah satu hal yang patut dipuji. Tidak mudah memang untuk bisa mempersatukan sekitar 50.000 penonton di dalam stadion berkapasitas besar. Usaha Coldplay pun terasa tidak sia-sia karena pijar lampu yang silih berganti terlihat begitu indah, baik di mata maupun untuk diabadikan ke dalam kamera ponsel.

Susah rasanya untuk tidak menikmati aksi panggung yang solid dari keempat sahabat sejak masa kuliah itu di atas panggung. Chris sebagai garda depan menjadi daya tarik utama. Ia tampil amat bertenaga. Mondar-mandir panggung, berjingkrakan, memainkan gitar, juga keyboard. Meski begitu, ia berhasil menjaga suaranya tetap prima.

Pilihan lagu yang dibawakan pun patut diapresiasi. Mereka banyak membawakan lagu di album terbaru, dikombinasikan dengan lagu-lagu hits lawas yang membuat konser ini jadi seperti karaoke massal.

Total mereka membawakan 7 buah lagu dari album paling anyar, A Head Full of Dreams. Selain “A Head Full of Dreams” yang menjadi lagu pembuka, mereka juga berturut-turut membawakan “Birds”, “Everglow”, “Hymn for the Weekend”, “Adventure of a Lifetime”, “Amazing Day”, dan “Up&Up” sebagai tembang penutup yang terasa begitu menguatkan.

Di luar itu, mereka memasukkan beberapa lagu dari album-album terdahulu ke dalam daftar. Seperti didedikasikan bagi penonton yang ingin bernostalgia pada zaman-zaman sebelum Coldplay jadi lebih berwarna, lagu “Don’t Panic” dan “Clocks” sempat dinyanyikan. Sementara itu, pada lagu-lagu populer yang sarat bermuatan nostalgia seperti “Yellow”, “The Scientist”, dan “Fix You”, para penonton ikut bernyanyi bersama.

Usaha untuk menggaet penonton "kekinian" dan berusia lebih muda, Coldplay membawakan lagu rancak yang dibalut pengaruh musik elektronik. Mulai dari “Every Teardrop Is A Waterfall”, “A Sky Full of Stars”, “Viva la Vida”, “Magic”, hingga “Paradise”. Bahkan untuk “Paradise”, mereka menggunakan dentuman musik elektronik gubahan Tiesto sebagai bagian penutup.

Sesuai tradisi dalam konser tur "A Head Full of Dreams Tour”, Chris dan kawan-kawan juga membawakan satu buah lagu cover. Kali ini, mereka melantunkan lagu “Heroes” milik David Bowie. Selain itu, Coldplay juga mengabulkan permohonan seorang penggemar yang disampaikan melalui video di Instagram untuk menyanyikan “’Til Kingdom Come” dari album X&Y (2005).

Kalau ada kekurangan, maka itu adalah absennya lagu “In My Place”. Padahal jika membandingkan dari senarai lagu pada konser yang digelar tahun lalu, andalan dari album A Rush of Blood to the Head (2002) itu acap kali dinyanyikan.

Sebagai gantinya, Coldplay membawakan lagu “Something Just Like This” yang merupakan kolaborasi teranyar mereka dengan duo pegiat musik elektronik yang tengah naik daun, The Chainsmokers. Bisa diprediksi, nomor “Something Just Like This” yang dibawakan perdana dalam rangkaian tur pada malam itu akan masuk dalam setlist untuk beberapa waktu ke depan.

Sebuah Perubahan Berusia Dua Dekade

Konser Coldplay di Singapura malam itu merupakan pengalaman unik tersendiri. Meskipun saya bukan penggemar berat dan hanya benar-benar mengagumi satu album penuh A Rush of Blood to the Head milik mereka, namun setidaknya ada rasa bahagia dan usaha keras membendung air mata saat melihat Coldplay menyanyikan lagu-lagu hits yang kerap diputar di era kejayaan MTV.

Mereka saat ini terus berupaya mengikuti arus zaman agar tetap bisa relevan. Polanya pun bisa ditangkap, seperti merilis single kolaborasi dengan penyanyi Rihanna dalam “Princess of China” (2011), ataupun dengan Beyoncé dalam “Hymn for the Weekend” (2015), hingga dengan The Chainsmokers di “Something Just Like This” pada awal tahun ini. Tak heran, upaya itu pun akhirnya merembet masuk dalam produksi konser mereka yang kian megah dan berwarna.

Rangkaian tur dunia "A Head Full of Dreams Tour" sendiri seakan menjadi langkah mereka untuk menjaring lebih banyak pendengar dengan usia yang lebih muda. Lewat nama besar Coldplay, mereka telah bisa dianggap berhasil dalam menciptakan gegap gempita bagi orang dari seluruh penjuru untuk datang menyaksikan aksi panggung. Persis seperti yang terjadi di Singapura pekan lalu.

Untuk di kawasan Asia Tenggara, mereka hanya memutuskan singgah di Singapura selama dua hari (31 Maret dan 1 April), Manila, Filipina pada Selasa (4 April) lalu, dan di Bangkok, Thailand pada Jumat (7 April) ini. Setidaknya untuk di Singapura, Coldplay berhasil menarik para penonton yang mayoritas masih berusia muda, dan datang dari Indonesia maupun Malaysia.

Chris Martin pun menyadari hal itu. Di sela penampilannya, saat dirinya memberikan pujian bagi para penonton dan negara Singapura, ia sempat mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada para penonton dari Indonesia, Malaysia, dan Vietnam atas usaha mereka untuk bisa menyaksikan aksi panggung grup musiknya.

Secara jelas, Coldplay memang jauh berbeda jika dibandingkan saat mereka merilis Parachutes (2000) maupun A Rush of Blood to the Head. Namun tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti mereka akan kembali menciptakan karya dengan pakem lawas. Yang pasti saat ini Coldplay telah mengambil risiko untuk menggarap musik yang lebih variatif, serta menggelar konser yang lebih berwarna dan kental dengan nuansa pop.

Pagelaran di Singapura pekan lalu menjadi bukti dari risiko, atau bahkan kegilaan, yang telah diambil Coldplay. Di tengah kritik terhadap transformasi musikalitas dan citra mereka saat ini, konser ini berhasil menampilkan kematangan mereka dalam berkarier, serta semakin mengukuhkan predikat sebagai salah satu band pop terbesar di dunia.

Coldplay memang telah berubah. Dari "sekadar" band rock alternatif, kini menjelma jadi penghibur kelas wahid.

Baca juga artikel terkait KONSER MUSIK atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Musik
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Nuran Wibisono