tirto.id - Ibadah zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi yang mampu dan memiliki kelapangan harta. Seiring perkembangannya, perusahaan yang merupakan entitas ekonomi juga turut dikenai zakat.
Kewajiban zakat ini ditetapkan Allah SWT melalui firmannya dalam Alquran surah Albaqarah:
“Dan dirikanlah salat, serta tunaikanlah zakat, serta sujudlah kamu bersama-sama dengan orang yang menjalankan,” (Q.S. Albaqarah [2]: 43).
Kemudian, dari hadis yang diriwayatkan Samurah bin Jundub juga menyatakan:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari harta yang disiapkan untuk niaga,”(H.R. Abu Daud).
Selain zakat perorangan, usaha niaga dalam skala kecil dan besar, termasuk perusahaan juga dikenai zakat.
Di Indonesia, hal ini disinggung dalam Instruksi Menteri Agama RI, nomor 5 Tahun 1991, dalam salah satu poinnya, yang menyatakan bahwa perusahaan juga turut dibebani zakat.
Ketentuannya dihitung berdasarkan bidang usaha yang dijalankan perusahaan terkait. Jika melakukan niaga, maka dikenakan zakat perdagangan, sedangkan jika melakukan produksi, maka dikenai ketentuan zakat investasi, atau pertanian.
Dalam Panduan Zakat Praktis (2013: 61) yang diterbitkan Kementerian Agama RI, rinciannya dijelaskan sebagai berikut:
1. Jika perusahaan bergerak dalam bidang usaha perdagangan, maka perusahaan tersebut mengeluarkan harta sesuai dengan aturan zakat perdagangan.
Oleh karena itu, kadar zakat wajib yang dikeluarkan adalah sebesar 2,5 persen.
2. Jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang produksi, maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi atau pertanian.
Dengan demikian, zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan, sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5 persen untuk penghasilan kotor atau 10 persen untuk penghasilan bersih.
Hal ini senada dengan uraian Didin Hafidhuddin dalam Zakat dalam Perekonomian Modern (2002: 116) yang menuliskan bahwa zakat perusahaan tidak dibebani pada sarana dan perlengkapan produksi. Zakat perusahaan hanya dikenai pada laba atau penghasilannya saja.
Selain itu, karena zakat hanya diwajibkan kepada umat Islam, jika dalam perusahaan terkait, ada penyertaan modal dari pegawai atau investor dari non-muslim, maka perhitungan zakatnya dikurangi kepemilikan modal atau keuntungan dari anggota perusahaan non-muslim tersebut.
Untuk cara dan contoh perhitungannya adalah sebagai berikut:
Misalnya, suatu perusahaan perdagangan mebel pada saat tutup buku per 31 Desember 2020 dalam kondisi keuangan sebagai berikut:
- Stok mebel 20 set seharga Rp40.000.000
- Uang tunai di bank sebanyak Rp15.000.000
- Piutang aktif sebesar Rp7.000.000
- Utang dan pajak adalah sebesar Rp6.000.000
Jika dihitung menurut perhitungan zakat perusahaan melalui jenis niaga, maka zakatnya adalah sebesar 2,5 persen.
Besaran zakat yang harus dibayar adalah penjumlahan keuntungan yang ada di perusahaan tersebut, ditambah simpanan laba dan piutang aktif, serta dikurangi utang dan pajak, maka kalkulasinya: 2,5% x (Rp62.000.000-Rp6.000.000) = Rp1.400.000
Oleh karena itu, zakat yang harus dibayarkan perusahaan mebel tersebut adalah sebanyak Rp1.400.000.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno