Menuju konten utama

Mengenal Tokoh-Tokoh Seni Tari Tradisional di Indonesia

Tiap daerah memiliki tokoh tarinya masing-masing. Siapa sajakah tokoh tari tradisional di Indonesia?

Mengenal Tokoh-Tokoh Seni Tari Tradisional di Indonesia
Kelompok tari Sanggar Riak Renteng Tingang menampilkan tarian Selimut Putih Dayak Kalteng pada acara Palangkaraya Bangkit dan Menarilah, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar./hp.

tirto.id - Tari tradisional merupakan tari yang berasal dari rakyat. Kemunculan tari tradisional didasarkan pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya tiap daerah.

Jenis tari tradisional Indonesia sangat banyak. Tari tradisional tersebut terbentang dari seluruh daerah Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

Tiap daerah memiliki tokoh tarinya masing-masing. Tokoh-tokoh ini mempopulerkan tari tradisional daerahnya hingga skala nasional. Bahkan, beberapa tokoh juga berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Merujuk pada buku Seni Budaya Kelas VIII (2014), terdapat sejumlah tokoh tari tradisional di Indonesia. Perinciannya adalah sebagai berikut.

1. Theodora Retno Maruti

Maruti lahir pada 8 Maret 1947 di Solo, Jawa Tengah. Kariernya sebagai penari profesional dimulai pada 1961 melalui pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan.

Popularitas Maruti terus melonjak. Ia terpilih sebagai salah satu duta kesenian Indonesia di forum Internasional, New York World Fair pada 1964. Di sana, Maruti mewakili Indonesia untuk pertunjukan tari tradisional.

Karya-karya Maruti menurut Nostalgia (2018) dalam artikelnya di Jurnal Urban (Vol 1, No.2, 2018) merupakan “rangkuman beragam idiom tarian klasik yang menyatu dalam aliran tuturan bahasa gerak dan tembang.” Hal ini karena Maruti mampu memadukan bentuk tari bedaya dan langendrian.

Bedaya merupakan tari putri yang ditampilkan dengan lembut, tenang, dan teratur mengikuti iringan gamelan. Sedangkan langendrian adalah drama tari dengan pemain yang berdialog menggunakan tembang macapat.

Widyastutieningrum dalam artikelnya yang terbit di Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni (Vol. 8 No. 1, 2012) menyatakan bahwa dalam pembuatan karyanya, “Maruti mempertahankan ketenangan dan kebeningan tari klasik Jawa yang mistis” dengan memperlihatkan “gelora dinamis yang anggun.”

Karya Maruti kerap bercerita tentang perempuan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa tari ciptaannya seperti dewabrata, abimanyu gugur, rara mendut, savitri, dan pembayun yang menggambarkan kesetiaan perempuan dalam berbagai situasi.

Selain itu, Maruti juga mengambil cerita dari epos Ramayana, babad tanah Jawa, dan cerita kepahlawanan.

2. Ayu Bulantrisna Djelantik

Bulantrisna merupakan salah satu seniman tari tradisional di Bali. Ia merupakan anak pertama dari Made Djelantik, anak raja kabupaten Karangasem dan Astri Henriette Zwart.

Sejak kecil, Bulantrisna telah mendapat didikan dari para maestro tari Bali. Atas ketekunannya, ia mendapatkan apresiasi dari dalam maupun luar negeri.

Panji dalam artikelnya menyatakan bahwa Bulantrisna telah menghasilkan banyak karya yang “hampir semuanya bergenre palegongan.” Genre pelegongan merupakan seni tari dari Bali yang telah berkembang sejak abad 19.

Ruspawati dalam Rekonstruksi Tari Legong Tombol dalam Karya Seni (2021:3) menyatakan bahwa tari legong memiliki banyak tarian, tapi memiliki busana, struktur, lagu, dan nada pokok yang baku. Musik yang digunakan berasal dari Gamelan Semar Pagulingan Saih Lima dan gending yang diadopsi dari drama tari gambuh.

Bersama dengan Retno Maruti, Bulantrisna mengambangkan drama tari calonarang. Dalam drama tari tersebut, keduanya memadukan budaya Jawa dan Bali dalam bentuk bedaya dan langendrian.

3. Rasinah

Rasinah lahir pada 3 Februari 1930. Ia berasal dari keluarga seniman. Ibunya, Sarinah berprofesi sebagai petani dan seniman ronggeng. Sementara itu, ayahnya bernama Lastra, seorang dalang wayang kulit dan dalang topeng.

Rasinah telah belajar tari sejak kecil. Kepiawaian Rasinah mengantarkannya pada masa kejayaan pada tahun 1945. Sebulan, ia dapat melakukan pertunjukkan sebanyak 25 kali.

Namun, pada tahun 1970-an, Rasinah tak banyak melakukan pertunjukkan. Popularitas tari topeng kalah dengan tarling, dangdut, dan sandiwara. Ia lalu berhenti menari dan aktif kembali pada 1994.

Lasmiyati menulis dalam artikelnya bahwa popularitas Rasinah mulai terdengar sampai luar negeri sejak tahun 1999 saat ia menari di Jepang. Berlanjut dengan pertunjukannya yang lain di Eropa pada 2001.

Rasinah mempopulerkan tari topeng Cirebonan gaya Indramayuan. Latar belakang tari topeng Cirebon adalah cerita Panji.

Dalam tari topeng, penari menggunakan kostum dengan penutup wajah (kedok). Tiap kedok tersebut memiliki karakter dalam cerita Panji, yakni Panji, Pamindo, Rumyang, Patih atau Tumenggung, Jinggananom, dan Klana.

Merujuk dari laman Kemendikbud, Rasinah konsisten membawakan tari klana udeng dalam pertunjukannya. Tari klana udeng adalah tarian yang disajikan setelah tari kelana gandrung.

Bedanya, dalam tari kelana udeng, penari tidak menggunakan penutup kepala Sobra dan hanya menggunakan udeng atau ikat kepala dari kain.

Tari klana udeng menjadi ciri khas tari topeng gaya Indramayu dengan tari topeng Cirebon yang lain.

4. Huriah Adam

Huriah lahir pada 6 Oktober 1936 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia lahir di tengah masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Dalam sistem ini, perempuan dianggap memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Selain itu, perempuan kerap dianggap sebagai Bundo Kanduang. Istilah yang memandang perempuan hanyalah hiasan Rumah Gadang yang tak pantas tampil dalam seni pertunjukkan. Namun, Huriah tinggal di lingkungan yang mencintai seni. Ayahnya adalah seorang ulama yang tertarik pada kesenian Minangkabau, Syekh Adam Balai-Balai.

Sang ayah mendirikan Madrasah Irsadin Naas yang memfasilitasi kegiatan seni tari dengan menyediakan tempat khusus, pentas, dan guru kesenian.

Walaupun demikian, ia tetap tak mengantongi restu dari keluarga untuk terjun di dunia tari. Keluarganya khawatir ia akan dikecam masyarakat. Huriah tak peduli, ia tetap menari. Tekad Huriah berbuah hasil.

Ia disebut sebagai pioner pembaharu tari Minangkabau. Istilah pionir merujuk pada keberanian Huriah untuk menentang tradisi masyarakat yang memandang rendah perempuan dan kreativitasnya dalam mengembangkan tari Minang.

Huriah mengembangkan gerak dalam tarian randai dalam berbagai bentuk tarian, baik secara berkelompok, pasangan, maupun perseorangan. Randai merupakan salah satu permainan tradisional yang menggabungkan seni bela diri dengan seni tari.

Surheni dalam artikelnya menyebut bahwa Huriah “menampilkan tari perempuan yang digarap dengan gerak dinamis, kuat, dan penuh tekanan, yang berpadu dengan kelembutan.”

Huriah mulai melakukan pertunjukkan tari pada tahun 1960-an. Sejumlah tarian yang Huriah ciptakan antara lain tari nina bobok, tari tani, tari nelayan, tari payung, tari sandang pangan, dan tari sekapur sirih.

Atas tari yang dikembangkannya, Huriah mampu menciptakan genre tari yang khas. Terlebih, Huriah juga menggunakan iringan musik Eropa seperti akordeon dan piano dalam pertunjukannya.

Baca juga artikel terkait SENI BUDAYA atau tulisan lainnya dari Fatimatuzzahro

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Fatimatuzzahro
Penulis: Fatimatuzzahro
Editor: Yandri Daniel Damaledo