tirto.id - Hari Lahan Basah Dunia (World Wetlands Day) diperingati tiap 2 Februari. Awalnya bermula dari gelaran Convention on Wetlands atau dikenal dengan nama Konvensi Ramsar pada 2 Februari 1971. Ramsar hanyalah sebuh kota kecil di Iran, tapi hari itu sejumlah perwakilan pemerhati lahan basah sedunia berkumpul. Mengingat isu ini perlu terus disuarakan, maka peringatan skala global di tanggal yang sama pun ditetapkan setiap tahun.
Pada laman resminya, World Wetlands Day (WWD) diperingati untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kelestarian lahan basah demi menyelamatkan jiwa manusia, sekaligus ekosistem Bumi. Setiap tahunnya berbagai lembaga pemerintah, organisasi non-profit, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di dunia mengambil kesempatan untuk berkontribusi dalam gerakan melestarikan lahan basah. Konvensi Ramsar menjadi lembaga terdepan yang siap memfasilitasi program mulia ini.
Apa itu lahan basah? WWD mendefinisikan lahan basah sebagai rea lahan yang tergenang air di musim tertentu maupun secara permanen. Ada dua jenis lahan basah, yakni lahan basah di pesisir pantai termasuk kawasan mangrove, muara, dan terumbu karang. Kedua yakni lahan basah di tengah daratan di antaranya sungai, dataran banjir, rawa, dan lahan gambut.
Masing-masing jenis lahan basah memiliki fungsi vital bagi alam termasuk manusia di daratan maupun sebagai tempat hidup makhluk lainnya. Mangrove atau pohon bakau misalnya, sebagai semak toleran yang tumbuh di pesisir pantai yang dangkal. Ia biasa hidup berdampingan dengan semak pesisir laut lain dan memanjang sepanjang bibir pantai.
Akar pohon bakau saling mengikat di setiap kilometernya. Gerombolan pohon bakau dapat mengurangi gelombang badai laut hingga 50 cm, sehingga mengurangi dampak tsunami. Setiap hektar hutan bakau diperkirakan memiliki nilai hingga US$15.161 per tahun dalam konteks menangkal bencana alam. Kemampuan tambahan, bakau juga berfungsi mampu menyerap karbondioksida.
Lahan basah laut seperti terumbu karang tak kalah pentingnya, WWD mendefinisikannya sebagai struktur pada pada perairan laut dangkal, terutama di perairan tropis, dan terbangun oleh koloni hidup dari polip kerang kecil. Terumbu karang merupakan rumah bagi seperempat dari total spesies laut. Terumbu karang juga menyediakan sumber penghidupan masyarakat lokal sebagai ekowisata .
Seperti pohon bakau, terumbu karang juga memiliki kemampuan untuk meredam gelombang pantai. Perlindungan atas kejadian ekstrem terhadap terumbu karang sama saja melindungi investasi sebesar US$33.556 per hektar setiap tahun.
Lahan basah di daratan seperti sungai perlu dilindungi agar alirannya tetap terjaga dengan baik. Peristiwa banjir di Jakarta telah membuktikan bahwa pendangkalan dasar sungai dan penyempitan luas bantaran sungai menjadi penyebab banjir tahunan di ibu kota. Jakarta pada masa lampau banyak memiliki lahan rawa—biasanya menjadi nama daerah setempat seperti Rawa Buaya, Rawa Bebek dan lainnya. Sayangnya, rawa-rawa banyak disulap menjadi bangunan, dampaknya bencana banjir mudah menghinggapi.
Lahan basah lain yang tak kalah penting untuk dilindungi adalah gambut. Gambut merupakan lahan jenuh yang tergenang air dan mengandung bahan tanaman yang membusuk, menumpuk hingga ketebalan 30 meter, terkumpul dalam jangka waktu yang lama. Lahan gambut mencangkup hingga 3 persen permukaan Bumi. Gambut juga harus dipertahankan karena mampu menyimpan karbon dua kali lipat dibanding karbon yang ada pada total seluruh hutan di dunia. Jika lahan gambut beralih fungsi maka pemanasan global juga akan semakin parah.
Bencana yang Mengintai
Merujuk laporan WWD, kurang lebih 64 persen lahan basah di seluruh dunia telah menghilang sejak 1900. Faktornya beragam, umumnya didominasi oleh ulah tangan manusia. Akibat dari tak terjaganya lahan basah, korban jiwa akibat bencana alam meningkat, ini konsekuensi logis. Sikap rakus dan tak bertanggung jawab manusia membuat tragedi makin sering dan menelan korban jiwa.
WWD mengutip data dari UN Water yang mengungkapkan bahwa bencana yang berhubungan dengan air telah bertanggung jawab pada 90 persen dari seluruh bencana alam di dunia. Tingkat risiko bencana karena faktor air makin meningkat setiap tahun.
Ada 373 bencana alam yang menewaskan lebih dari 296.000 jiwa pada 2010, dan memakan kerugian hingga US$208 juta, tapi dana penanggulangannya jauh lebih besar hingga US$110 miliar. Sementara itu, menurut Global Assessment Report PBB, sejak 1900, lebih dari 11 juta orang meninggal sebagai konsekuensi dari bencana kekeringan dan lebih dari 2 miliar orang lainnya terkena imbas yang berkelanjutan dari kerusakan alam.
Data lain menunjukkan bahwa 1,35 juta jiwa meninggal akibat bencana alam yang terjadi sejak 1996 hingga 2015. Sayangnya, 90 persen dari mereka tinggal di negara dengan pendapatan ekonomi menengah dan rendah. Negara-negara tersebut justru memiliki konsentrasi lahan basah untuk perairan laut maupun di darat yang lebih luas ketimbang lahan basah di negara-negara kaya. Bencana tersebut membuat negara makin miskin sebab bencana-bencana tadi telah menghabiskan dana penanggulangan sebesar US$3,3 triliun sejak 1980-2014.
Untuk mencegah dampak lebih parah, sudah sejak lama WWD mensosialisasikan sejumlah teknik pencegahan bencana. Poin utamanya adalah memanfaatkan lahan basah untuk meminimalisir kerusakan alam. Misalnya, menjaga kelestarian pohon bakau hingga lahan gambut justru memiliki manfaat jangka panjang bernilai investasi tinggi bagi manusia maupun makhluk lainnya.
Beberapa kebijakan yang bisa diterapkan yakni kanalisasi sungai terutama di wilayah kota yang telah kritis demi mencegah banjir datang. Kawasan pohon bakau perlu dibersihkan dan dilindungi keberadaannya. Terumbu karang mesti dihindarkan dari efek negatif pemboman para nelayan pencari ikan.
Pemerintah, bekerja sama dengan organisasi non-profit serta LSM di negara-negara dengan lahan gambut yang luas seperti Indonesia, perlu mencegah pihak-pihak yang melakukan pembakaran dan alih fungsi lahan gambut agar gas CO2 tak lepas dalam skala besar ke udara. Jika ini terjadi, pemanasan global akan makin parah. Dampak lanjutannya pada mencairnya es kutub, berlanjut pada permukaan air makin naik, dan banyak pemukiman yang tenggelam.
WWD menekankan bahwa perlindungan lahan basah memiliki keuntungan tambahan yang besar, yakni mempercepat proses pemulihan usai terjadi bencana. Mereka mencontohkan kasus badai yang menghantam Odhisa, kawasan Timur India, pada 1999, di mana sawah yang terlindungi oleh pohon bakau memproduksi padi yang lebih cepat daripada membiarkan lahan pertanian kosong tanpa area penyangga seperti bakau.
Menjaga lahan basah tetap lestari adalah rumus yang terbaik bagaimana manusia bisa menekan dampak bencana alam atau menghindarinya. Ini bisa dimulai dengan mengasah kesadaran kita betapa pentingnya keragaman dan keberadaan lahan basah di alam.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra