Menuju konten utama

Mengapa Usul Revisi UU Pemilu Merugikan Rakyat dan Partai Guram

Partai besar mau menaikkan anggaran ambang batas parlemen. Hal ini membuat sulit partai guram, juga memperkuat jejaring oligarki di Indonesia.

Sejumlah atribut visual kampanye dari para kontestan Pemilu 2019 yang tak beraturan mengotori ruang publik di Jakarta. tirto.id/Dicki

tirto.id - Sebagian partai dengan perolehan suara menengah-atas menggulirkan kembali isu revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama soal ambang batas parlemen dan sistem proporsional. Saat ini ambang batas parlemen sebesar empat persen (pasal 414), sementara sistem proporsional yang digunakan bersifat terbuka (pasal 168 ayat 2).

Partai yang perolehan suaranya di bawah empat persen tidak mendapat jatah kursi di DPR; sementara sistem proporsional terbuka menyediakan pilihan bagi masyarakat untuk memilih langsung caleg. Mereka yang meraih suara terbanyaklah yang dipilih. Lawan dari itu adalah sistem proporsional tertutup. Dalam sistem ini masyarakat hanya memilih partai seperti pada Pemilu 2004. Siapa caleg yang dapat kursi ditentukan oleh partai masing-masing.

Jika dirunut sejak awal tahun lalu, partai yang pertama kali mengusulkan menaikkan ambang batas dan mengubah sistem proporsional adalah PDIP. Ini adalah salah satu hasil rekomendasi saat rapat kerja nasional pada 12 Januari. PDIP, partai dengan perolehan suara terbanyak pada pemilu terakhir, ingin ambang batas parlemen setidaknya naik minimal 5 persen dan mengubah sistem proporsional terbuka jadi tertutup.

Usul tersebut lantas ditanggapi dan memicu pro dan kontra. Partai menengah-atas seperti Gerindra, Golkar, dan Nasdem mengaku sepakat dan tak mempermasalahkannya. Golkar dan Nasdem bahkan sempat mengusulkan ambang batas parlemen jadi tujuh persen setelah masing-masing ketua partai, Airlangga Hartarto dan Surya Paloh, bertemu pada pada 9 Maret lalu.

Sebaliknya, partai menengah-bawah atau yang pada pemilu terakhir memperoleh suara relatif kecil meski tetap lolos dari lubang jarum ambang batas mengaku tak sepakat dengan peraturan ini.

Wakil Ketua Umum PPP Arwani Thomafi misalnya mengatakan kenaikan ambang batas hanya menguntungkan partai besar. "Kalau PT-nya dinaikkan, makin banyak suara yang hangus dan makin meningkatkan disproporsionalitas," kata Arwani Thomafi, Senin (8/6/2020). "Tetap saja. Enggak ada kenaikan," tambahnya.

Hal serupa diungkapkan Bakomstra DPP Partai Demokrat Ossy Dermawan. "Kita harus menghitung secara cermat angka yang tepat dengan pertimbangan demokrasi keterwakilan dan tanpa interest sepihak partai-partai besar," katanya. "Maka menurut hemat kami, angka parliamentary threshold 4 persen adalah angka yang realistis dan bijak untuk diterapkan," tambahnya.

Suara sama datang partai-partai di luar Senayan. Forum Sekjen Pro-Demokrasi, yang terdiri dari partai-partai yang tak masuk parlemen, menolak keras usul ini karena dapat mengurangi kans mereka lolos ke parlemen. Selain itu, sama seperti Demokrat, mereka juga menilai menaikkan ambang batas parlemen hanya akan memperbanyak suara-suara masyarakat yang hangus.

Pemilu terakhir diikuti 14 partai, tapi hanya sembilan yang lolos. Tujuh partai yang tidak lolos mengumpulkan suara akumulatif nyaris 10 persen.

Sekjen PKPI Verry Surya mengatakan selain menjalin komunikasi antara partai yang tak lolos, mereka juga berhubungan dengan PAN, PPP, dan Demokrat--partai di parlemen yang punya posisi politik sama. "Dan tentu saja juga (komunikasi) dengan para sahabat DPR RI yang mengusulkannya," kata Verry Surya lewat rilis yang diterima wartawan Tirto pada 7 Juni lalu.

Oligarki

Selain alasan-alasan di atas, menurut dosen dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Rajamuda Bataona, usul ini patut ditentang karena hanya akan "memperkuat dominasi oligarki politik di Indonesia."

Istilah oligarki lama dikenal dalam studi politik. Seorang ilmuwan sosial Jeffrey A. Winters mengatakan oligarki adalah sistem yang merujuk pada "politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (oligark)." Politik adalah salah satu cara mempertahankan kekayaan tersebut, salah satunya lewat parlemen--yang tugasnya membuat kebijakan.

Hal senada dikatakan oleh pakar hukum tata negara sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Baginya, menaikkan ambang batas parlemen menjadi tujuh persen adalah bentuk kejahatan partai-partai besar untuk mematikan keberagaman di parlemen.

"Ada baiknya, angka empat persen dipertahankan karena itu menjaga keberagaman warna bendera partai dan keterwakilan perspektif warga negara di parlemen," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (10/6/2020) siang.

Ia juga mengkritik keras langkah-langkah partai yang hendak mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Menurutnya, sistem tersebut juga sama-sama mempertahankan jejaring oligarki di tubuh partai.

"Mengembalikan sistem proporsional tertutup adalah upaya untuk memperkuat dominasi ketua partai dalam demokrasi," kata Feri. "Sekarang saja terbuka namun ketua partai sudah dominan karena recall anggota di tangan partai bukan di tangan pemilih, apalagi kalau tertutup," katanya menegaskan.

Baca juga artikel terkait REVISI UU PEMILU atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino