tirto.id - Reuni 212 yang digelar Minggu (2/12) jadi lautan manusia di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Silang pendapat terjadi tentang seberapa banyak peserta reuni tersebut. Novel Bamukmin, Ketua Pusat Media Reuni 212 menyebut angka 3 juta peserta. Bernard Abdul jabbar, Ketua Panitia Reuni Akbar Mujahid 212 mengatakan acara itu dihadiri sekitar 8 juta orang. Di sisi lain, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan peserta Reuni 212 hanya sekitar 40 ribu orang saja.
Dalam hitung-hitungan lain yang ditulis Tirto, area yang dihadiri orang-orang yang ikut Reuni 212 yang diperkirakan menempati luas sekitar 179.526 meter persegi itu dihadiri antara 193.244 orang hingga 772.976 orang.
Di luar perdebatan soal jumlah pasti, Reuni 212 memang dihadiri banyak massa di satu titik tertentu. Karena massa pengguna sinyal seluler yang berjibun tersebut, sinyal ambruk. Giska Adilah, salah seorang peserta Reuni 212, mengalaminya selama berada di lokasi Reuni 212.
“Sinyal mulai drop dari biasanya ia bisa memperoleh 4 bar (full bar), di area Reuni 212 hanya memperoleh 2 bar,” kata Giska, yang memakai layanan Telkomsel.
Karena penurunan sinyal itu, tutur Giska, ia sukar melakukan aksi komunikasi seperti mengunggah foto ke media sosial, melakukan sambungan telepon, serta mengirim percakapan.
Kala sukar berkomunikasi di area Reuni 212 Giska sempat bertanya-tanya apa yang terjadi. Ia awalnya menduga sinyal di area Reuni 212 yang hancur tersebut diblokir atau mengalami signal jamming. Istilah ini merujuk pada teknik pelenyapan atau pemblokiran sinyal dengan menggunakan alat tertentu.
Singue Kilatmaka, Manager Media Relation Telkomsel, membantah adanya jammer signal. "Enggak ada [signal jamming]. Tidak ada operator [mana pun] yang bisa jamming.”
Dalam penuturannya, penurunan sinyal atau ketiadaan sinyal di area Reuni 212 murni atas terjadinya “overcapacity.” Tidak ada kendala jaringan atau infrastruktur, hanya terjadi penambahan kapasitas pengguna di atas rata-rata di titik tertentu.
“Logikanya begini. Kemarin ada penambahan massa, 100 orang menggunakan ponsel di 1 titik bersamaan. Kan berbeda [kualitas yang diperoleh jika dibandingkan dengan] 50 orang. Nah karena sudah diinfokan, kita tambah kapasitas,” kata Singue. Namun, ia juga menjelaskan bahwa penambahan kapasitas itu tak banyak menolong. “Enggak ada operator yang bisa [mengamankan sinyal dari massa sebanyak itu]."
Singue lantas menekankan bahwa 1 BTS (Base Transceiver Station) memiliki kapasitas penggunaannya tersendiri.
Keterbatasan Tower Telepon Seluler
Sandy Bond dalam buku berjudul Towers, Turbines and Transmission Lines menyebut BTS sebagai nama teknikal dari tower telepon seluler (ponsel). Tower telepon seluler merupakan tower yang mengandung antena yang bekerja untuk menerima dan mentransmisikan sinyal radio frequency (RF) yang terhubung ke kabinet di pusat tower dan mengandung transmitter dan receiver gelombang radio ultrasonik (UHF).
Jika ditelaah lebih jauh, gelombang radio ultrasonik yang digunakan bagi teknologi seperti 2G, 3G, dan G lainnya, menggunakan dua pita berbeda: pita seluler dan PCS (Personal Communications Services). Pita seluler atau pita “800 MHz” mengandung dua blok yang masing-masing berfrekuensi di kekuatan 25 MHz. Sementara itu, pita PCS atau pita “1,9 GHz” mengandung enam blok yang masing-masing berkekuatan dari 10 hingga 30 MHz.
Di lain sisi, ponsel merupakan perangkat yang mengirimkan informasi (suara, teks, data) menggunakan gelombang UHF. Informasi itu dikirimkan dan diterima oleh transceiver tower. Kala ponsel hendak melakukan panggilan, ponsel berkomunikasi dengan tower terdekat dari lokasinya menggunakan gelombang UHF. Tower lantas berkomunikasi antar-BTS menggunakan gelombang mikro atau jaringan kabel untuk menyambungkan si ponsel dengan ponsel tujuan. Komunikasi pun terjadi.
Ponsel tak terhubung hanya dengan satu tower. Ketika ponsel bergerak, ponsel secara simultan terhubung dengan tower terdekatnya. Paper “How Cell Towers Work” yang ditulis Michael Harris menyebut bahwa tower dibangun dengan skema khusus agar ponsel tak kehilangan sinyal kala bergerak. Skema itu bernama skema hex, yang terinspirasi sistem heksadesimal atau sistem bilangan basis 16.
Secara sederhana, tower dan ponsel saling terhubung dengan gelombang radio. Signal jamming, teknik merusak sinyal yang disinggung di atas, memancarkan gelombang yang sama untuk mengakibatkan terputusnya koneksi antara ponsel dan tower. Perangkat jammer memancarkan serangan bernama “denial-of-service,” menyerang ponsel dan tower dengan gelombang radio bertubi-tubi.
Tower memiliki batasan dalam memenuhi permintaan ponsel. Menurut Singue, batasan yang dimiliki tower tergantung besarnya tower itu sendiri. Namun, secara umum, tower hanya sanggup memenuhi permintaan sekitar 100 permintaan saja dalam sekali waktu. Jika angkanya melebihi itu, kualitas akan menurun atau tower akan otomatis mengalihkan kelebihan permintaan ke tower terdekat lainnya.
Mengapa saat tak ada kerumunan besar tower bisa melayani permintaan ponsel dengan baik? Sebab, permintaan diproses secara berulang dan bergiliran. Ini tak bisa dilakukan kala ribuan permintaan langsung meminta dilayani tower.
Bond, masih dalam bukunya, menyebut keterbatasan yang dimiliki tower terjadi karena ia bekerja menggunakan energi rendah. Tower berjarak 50 meter akan menghantarkan sinyal yang memenuhi volume ruangan sebesar 0,0318 W/m2 (Watt per meter persegi, satuan untuk mengukur volume kekuatan radiasi sinyal). Sementara itu, pada jarak 1 meter dari tower kekuatannya ada di angka 79,6 W/m2.
Bukan hanya aksi Reuni 212 di Monas yang mengalami penurunan, bahkan lenyapnya sinyal telepon seluler. Pada titik di mana banyak massa berkumpul, kemungkinan akan terjadi persoalan yang sama. Contohnya adalah konser, acara olahraga, atau demonstrasi.
Dalam gelaran Super Bowl, final sepakbola Amerika Serikat, banyak penonton mengalami penurunan kualitas sinyal ponsel yang dimiliki. Berkirim pesan, streaming video, hingga melakukan sambungan telepon sukar dilakukan. Beberapa layanan telekomunikasi di Amerika Serikat mengantisipasi lonjakan dengan memasang “tower portabel.” Verizon, misalnya, memasang “tower” bernama Small Cells. Sementara AT&T menggunakan COWs alias Cell-on-Wheels guna mengamankan sinyal.
Singue sendiri memberi tip jika mengalami penurunan sinyal tatkala berada dalam kerumunan. "Pindah saja lokasinya sedikit saja, lancar lagi," katanya.
Editor: Maulida Sri Handayani