Menuju konten utama

Mengapa Obsesi untuk Serba Tahu Tidak Selalu Perlu Dicapai?

Internet membombardir dengan segudang informasi, yang belum tentu kita butuhkan, dan justru berujung menimbulkan kecemasan.

Mengapa Obsesi untuk Serba Tahu Tidak Selalu Perlu Dicapai?
Ilustrasi Tanda tanya. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Percepatan teknologi membuat manusia dengan mudah menerima beragam informasi dan berita terbaru. Hanya dengan satu klik, kita juga bisa mengetahui hal-hal personal orang lain; apa sarapan sahabat kita hari ini, di mana tetangga menghabiskan liburan, sampai mengetahui kabar mantan.

Walau tahu beberapa informasi mungkin tidak penting atau tidak wajib untuk diketahui, tetap saja kita tergoda untuk mengonsumsi informasi tersebut.

Dalam artikel yang ditulis Mike Robin, penulis dan leadership expert disebutkan, manusia begitu terobsesi untuk mengetahui segalanya. Obsesi ini menurutnya, sering kali berkaitan dengan ego dan ketakutan kita untuk dihakimi atau dipermalukan orang lain.

Obsesi ini pada akhirnya menjadi lebih besar daripada keinginan tulus untuk mencari pengetahuan dan informasi untuk pembelajaran atau pemahaman. Orang cenderung ingin mengendalikan hal-hal yang tak terkendali, seperti kehidupan.

Putra Wiramuda, praktisi mindfulness Myndfulact dan penulis buku, mengatakan era digital ini sangat berbeda. Saat ini setiap orang sangat mudah, bahkan terlalu mudah mendapatkan informasi apapun dari gawai, baik yang valid maupun hoaks. “Tidak hanya informasi dari sumber tepercaya saja, seperti portal berita melainkan dari media-media sosial yang kemudian viral.”

Kehidupan modern juga membuat manusia seakan wajib, tidak hanya menjawab setiap pertanyaan, tetapi juga menjawabnya dengan cerdas. Jawabannya harus dibuat dalam waktu sesingkat mungkin. Respon cepat semacam ini, kini dianggap sebagai ukuran kecerdasan tertinggi.

Tak jarang orang menjadi ingin tahu segalanya atau pura-pura tahu untuk dianggap pintar dan dikagumi oleh lingkungan sekitarnya.

"Efek Dunning-Kruger", jenis bias kognitif saat seseorang percaya bahwa mereka lebih pintar dan lebih mampu daripada orang lain, membuat obsesi serba tahu dan kecenderungan psikologis manusia ini menjadi semakin kompleks dalam mengelola dan menerima informasi.

Efek Dunning-Kruger membuktikan, bahwa pada dasarnya, orang berkemampuan rendah tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengenali ketidakmampuan mereka sendiri. Kombinasi kesadaran diri yang buruk dan kemampuan kognitif yang rendah membuat mereka melebih-lebihkan kemampuan mereka.

Akibatnya, orang cenderung mengungkapkan pendapat berdasarkan yang mereka dengar tanpa benar-benar mengetahui. Tetapi di saat yang sama, mereka berpikir mereka tahu lebih banyak daripada yang lain.

Di masa Yunani kuno, Sokrates yang dikenal senang menggunakan metode untuk balik bertanya dengan asumi bahwa ia tidak mengetahui (atau sedikit tahu), membuat ia harus membayar prinsipnya - yang tidak sejalan dengan ekspektasi masyarakat umum saat itu - dengan nyawanya.

Sokrates sebenarnya bukan ingin mengagungkan ketidaktahuan, tetapi ia ingin mengekspos mereka yang berpura-pura mengetahui hal-hal yang tidak mereka ketahui.

Fenomena yang pada masyarakat kini, masih, dan semakin menjadi.

Menimbulkan Kecemasan

Berbeda dengan Sokrates yang tidak gentar dengan "ketidaktahuannya", masyarakat kini menurut Putra, merasa memiliki tuntutan untuk serba tahu.

Obsesi serba tahu ini berangkat dari ketakutan tidak mendapat perhatian dalam percakapan, perasaan malu jika tidak tahu hal yang dibicarakan, tidak nyambung, dikucilkan, dan lain-lain.

Sebenarnya tidak ada dampak yang serius kalau seseorang tidak tahu akan banyak informasi. Hidupnya tetap aman-aman saja, bahkan kecenderungan hidup menjadi lebih kalem karena tidak terbebani oleh emosi negatif.

Karena menurut Putra, gempuran informasi yang diterima, dapat membawa emosi-emosi negatif, yang jika kita tidak siap dan aware justru membebani kehidupan kita sehari-hari.

“Akses informasi perlu diimbangi dengan kemampuan kita untuk berjeda, membatasi diri dari infomasi yang berlebihan.”

Semakin sedikit informasi yang masuk ke dalam otak, akan membantu kita lebih tenang, nyaman, dan bahagia dalam menjani kehidupan. “Ini karena otak manusia didesain untuk mengolah informasi secara terbatas dalam jumlah tertentu,” jelas Putra.

Ketika dijejali dengan informasi yang terlalu banyak dalam waktu yang bersamaan, apalagi informasi itu mengandung emosi negatif, otak akan terbebani dan penuh tekanan. Tidak tahu akan banyak hal justru menuai manfaat positif, seperti mampu mengaloksikan waktu, energi, perhatian untuk hal-hal yang prioritas dalam kehidupan kita.

Pendapat Putra hampir sama seperti artikel yang ditulis Tobias van Schneider. Selama ini kita beranggapan bahwa semakin banyak yang kita ketahui, semakin baik keadaan kita. Dan memang benar, pertumbuhan kita, baik secara pribadi maupun sebagai masyarakat, bergantung pada pengetahuan. Persis seperti ungkapan Francis Bacon, Scientia potentia yang berarti, pengetahuan adalah kekuatan.

Kemampuan otak manusia yang dapat memproses rata-rata 34 gigabyte informasi per hari, membuat manusia dapat melakukan multitasking atau skimming - interaksi dangkal dengan dunia secara umum. Namun, ada dampak yang tidak terlihat dari kemampuan kerja otak dalam memproses informasi ini, yakni munculnya kecemasan.

Sebagai contoh, saat kita memasang 100 kamera keamanan di properti Anda, dan kemudian Anda mengecek layar kamera keamanan tersebut. Anda akan menganggap setiap orang yang lewat di depan rumah Anda berpotensi menjadi pejahat, yang akhirnya membuat kita menjadi gelisah dan cemas.

Merangkul Ketidaktahuan

Seseorang yang sudah merasa serba tahu, memiliki kecenderungan tidak menerima kritik atau masukan dari orang lain, karena kepercayaan dirinya yang tinggi. Oleh karena itu, tidak selalu mengetahui tentang semua hal memberikan kesempatan pada seseorang untuk mempertanyakan kembali (informasi yang diterima), dan menghilangkan asumsi awal. Pemilihan informasi ini bijaksana dilakukan di era digital kini.

Putra mengatakan, saat ini sudah banyak aplikasi yang bertujuan untuk membatasi penggunaan gawai. “Banyak aplikasi yang mengingatkan kita untuk membatasi sosial media, misalnya 2- 3 jam sehari, aplikasi tersebut menjadi pengingat untuk berhenti atau berjeda.”

Meski demikian, jika kita ingin mencari informasi, kita bisa mengunduh aplikasi tertentu yang sesuai dengan minat tertentu seperti olahraga, ekonomi makro, sementara untuk informasi yang sifatnya tidak perlu, lebih baik ditinggalkan.

“Di titik itu, penting bagi kita untuk punya kemampuan menyeleksi informasi apa yang akan diakses dan diolah sehingga kita menjadi lebih tenang, nyaman, karena energi dapat difokuskan untuk kesehatan fisik dan mental kita,”

Mampu merangkul ketidaktahuan, menurut Robin, adalah salah satu aspek kehidupan dan pertumbuhan yang paling penting, sekaligus juga paling menantang.

Menjadi baik-baik saja dengan ketidaktahuan memungkinkan kita menjadi kreatif, terbuka, dan bersedia hidup dalam keadaan penuh keajaiban dan kemungkinan, seperti yang dilakukan anak-anak.

Infografik Power Of Not Knowing

Infografik Power Of Not Knowing. tirto.id/TIno

Meningkatkan kemampuan untuk tidak mengetahui dengan bijak, dapat dimulai dengan meyakinkan diri bahwa kita tidak perlu melakukan dan mengetahui segalanya untuk sukses dan bahagia. Saat melepaskan, kedamaian dan kebebasan dapat muncul secara otentik. Hal ini adalah praktik tentang kepercayaan dan ketidakterikatan

Berhenti berpura-pura bahwa Anda tahu hal-hal yang tidak Anda ketahui. Hal itu membuat stres dan menimbulkan kecemasan. Semakin mudah bagi kita untuk mengakui bahwa kita tidak mengetahui sesuatu, semakin besar kemungkinan kita mempelajarinya, melepaskannya, meminta bantuan, atau berdamai dengannya. Hal ini terkait dengan rasa penerimaan diri dan penghargaan diri yang mendalam.

Temukan hal-hal yang Anda tidak tahu. Melakukan hal ini membangun kepercayaan diri kita, menantang kita untuk mengembangkan diri kita sendiri, dan memberi kita latihan untuk bergaul dalam ketidaktahuan dan ketidakpastian hidup – di mana sebagian besar pertumbuhan, perubahan, dan transformasi nyata dapat terjadi.

Baca juga artikel terkait ILMU PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Mild report
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi