Menuju konten utama

Mendukung Terorisme

Pemerintah mesti melakukan upaya yang lebih sistematis untuk menutup semua ruang gerak teroris, khususnya sel-sel perekrutan mereka, melalui pendekatan intelijen dan keamanan.  Pada saat yang sama organisasi Islam perlu berperan menangkal paham-paham radikal, dengan menyebarkan gagasan Islam damai.  

Mendukung Terorisme
undefined

tirto.id - Pemakaman Santoso dihadiri begitu banyak orang. Sebagian tentu saja adalah para penonton yang ingin menyaksikan pemakaman gembong teroris yang namanya sering menjadi buah bibir di media. Sebagian yang lain adalah orang-orang yang memang menganggap Santoso sebagai pahlawan. Di pemakamannya terbentang spanduk, yang menyebut Santoso sebagai “Syuhada Poso“. Bersamaan dengan itu berkembang cerita tentang jenazah yang berkeringat, atau berbau wangi, yang diklaim sebagai ciri-ciri orang yang mati syahid.

Bukan sekali ini pemakaman teroris jadi meriah. Waktu Imam Samudra dan kawan-kawannya dieksekusi, ia juga dielu-elukan bak pahlawan. Pemakamannya juga diiringi dengan cerita-cerita gaib seperti di atas.

Bagi sebagian umat Islam di Indonesia para teroris adalah pahlawan. Apapun yang telah dilakukan oleh para teroris, mereka tetap dianggap sebagai pahlawan. Perbuatan-perbuatan keji yang telah mereka lakukan tidak membuat mereka dibenci, tapi malah dipuja. Kenapa?

Pertama, karena mentalitas korban. Orang-orang Islam percaya bahwa ada banyak pihak yang memusuhi Islam. Di antara berbagai musuh itu, yang paling legendaris adalah Yahudi dan Kristen, karena keduanya dinyatakan secara jelas dalam Quran. Musuh-musuh Islam itu selalu melakukan berbagai kekejian dalam rangka menghancurkan Islam. Dalam hal ini umat Islam hanyalah korban, yang dengan segala keterbatasannya melakukan perlawanan. Musuh-musuh Islam itu harus dilawan, kalau diperlukan dibunuh. Dari sudut pandang ini, pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh para teroris itu berubah menjadi tidak lagi keji, karena tujuannya suci.

Dalam hal Santoso, ia dianggap sebagai pahlawan dalam konflik Poso. Konflik itu, dari sudut pandang sebagian umat Islam, adalah sebuah upaya keji dari pihak Kristen untuk mengganggu, bahkan membasmi umat Islam. Santoso digambarkan sebagai pahlawan yang berhasil menahan upaya jahat itu. Apapun yang dia lakukan adalah dalam rangka perjuangan itu, karena itu bisa dibenarkan. Bagaimana dengan Amrozi? Ia adalah sosok yang dianggap berani melawan hegemoni Amerika yang dianggap telah banyak menyakiti umat Islam. Tindakan terornya dianggap sebagai balasan atas tindakan keji Amerika. Orang-orang yang dibunuh Amrozi secara disederhanakan sebagai orang-orang Kristen (kafir) yang memang layak dibunuh.

Kedua, soal pengakuan terhadap keabsahan negara Indonesia. Bagi sebagian umat Islam, negara Indonesia yang sekuler ini adalah sebuah kesalahan. Negara seharusnya berdasar pada Quran, dan menjadikan hukum syariat sebagai hukum negara. Tidak hanya itu. Kekuasaan negara ini dipegang oleh kekuatan musuh-musuh Islam, baik dari kalangan sekuler, Kristen, serta kekuatan asing. Banyak orang percaya bahwa, misalnya, pemerintah Indonesia ini hanyalah perpanjangan tangan dari Amerika. Mereka sepenuhnya dikendalikan.

Pemerintah sekuler yang tidak sesuai Islam ini harus dihancurkan, kemudian diganti dengan pemerintahan Islam. Upaya untuk menggantinya bisa bermacam-macam, dari yang halus melalui mimbar khotbah, atau yang kasar, melalui perjuangan bersenjata. Segala usaha untuk tujuan itu dapat dibenarkan, apapun tindakan yang diambil.

Ketiga, karena kepercayaan pada teori konspirasi. Banyak orang yang masih tidak percaya bahwa Amrozi telah memasang bom di Bali dulu. Mereka percaya bahwa Amrozi itu hanya korban fitnah. Bom sebenarnya adalah mikro-nuklir yang dipasang oleh agen CIA atau Mossad. Jadi, Amrozi itu sebenarnya tidak membunuh siapapun.

Penetapan status teroris terhadap Santoso, Abubakar Baasyir, Osama Bin Laden, dan Abdurrahman Al-Baghdadi, dianggap sebagai bagian dari sebuah konspirasi besar untuk memburukkan citra Islam. Kepolisian RI dianggap sebagai perpanjangan tangan kekuatan konspiratif itu belaka.

Kalau Anda mencoba mencari benang merah yang secara konsisten menghubungkan ketiga skenario sebab di atas, Anda tidak akan menemukannya. Bagaimana, misalnya, hubungan antara kerusuhan Poso, perampokan yang dilakukannya, serta deklarasinya mendukung ISIS, tidak akan kita temukan. Demikian pula, kalau Amrozi dan kawan-kawan itu bukan pihak yang memasang bom, lantas mereka dianggap mati syahid dalam perjuangan apa? Apakah orang yang dihukum mati karena kesalahan pengadilan dapat dianggap mati syahid? Pertimbangan yang dipakai untuk membuat berbagai pembenaran terhadap para teroris dan aksinya memang bukan pertimbangan nalar, melainkan pertimbangan emosional belaka.

Yang penting dalam konteks ini adalah sekedar kata-kata kunci, seperti Kristen (Nasrani), Amerika, konspirasi, musuh Islam, sekuler, kekuatan asing, dan sebagainya. Kata-kata kunci itu dipakai dalam berbagai skenario jangka pendek, berbasis pada kepercayaan (believe). Demikian pula, kesahihan basis fakta sama sekali tak penting. Apakah kerusuhan Poso itu adalah sebuah rencana sistematis dalam rangka permusuhan terhadap umat Islam, atau sekedar pertikaian horizontal dalam suatu lingkungan spesifik, juga tidak pernah mereka analisa dengan baik.

Di sisi lain, gagasan yang mereka dukung juga sekedar kumpulan kata-kata kunci yang tak saling bersambung. ISIS adalah sebuah kelompok yang lahir dari berbagai konflik kepentingan di Timur Tengah. Bagaimana konflik itu bisa dikaitkan dengan Indonesia, apakah orang-orang di sana memang peduli terhadap masalah di Indonesia, tidak benar-benar perlu dipikirkan secara konsisten. Yang terdengar hanyalah kata-kata kunci seperti negara Islam, syariat, khilafah, kejayaan Islam, dan sebagainya.

Bagi pemerintah dan kelompok arus utama dalam tubuh umat Islam ini adalah tantangan besar. Organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah telah menegaskan komitmen terhadap NKRI sebagai bentuk final dari negara kita, rumah bagi umat Islam. Tentu saja kedua organisasi ini tidak mendukung kelompok-kelompok teroris dengan berbagai aktivitasnya. Namun sebagaimana dibahas tadi, masih ada pula yang tidak berpandangan demikian, dan mendukung gagasan yang dianut oleh kelompok-kelompok teroris. Bahkan tidak sedikit pula dari mereka yang berasal dari lingkungan kedua organisasi itu.

Pemerintah mesti melakukan upaya yang lebih sistematis untuk menutup semua ruang gerak teroris, khususnya sel-sel perekrutan mereka, melalui pendekatan intelijen dan keamanan. Pada saat yang sama organisasi Islam perlu berperan menangkal paham-paham radikal, dengan menyebarkan gagasan Islam damai.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.