tirto.id - Program imunisasi untuk mencegah campak dan rubella (MR) yang digelar pada 1 Agustus-September 2018 kembali memicu kembali perdebatan. Perdebatan terkait pro dan kontra vaksinasi. Vaksinasi MR pada 2018 sendiri mempunyai target 31.963.154 peserta dari 28 provinsi di luar Jawa. Imunisasi ditujukan bagi bayi usia 9 bulan sampai anak usia 15 tahun. Sebelumnya, pada Agustus-September 2017, program ini menjadi target dari seluruh wilayah di pulau Jawa.
Pro dan kontra vaksinasi soal perlu atau tidaknya imunisasi muncul dalam situasi kekhawatiran. Itu terkait dengan adanya kabar insiden dari Sumbawa Barat. Beberapa anak-anak dibawa ke Puskesmas setempat beberapa waktu setelah imunisasi berlangsung.
Kabar itu lantas menjadi bahan yang dibagikan warga media sosial. Bahkan tidak hanya itu, berbagai kabar insiden dari imunisasi MR pada tahun 2017 turut disertakan.
Kasus di Kecamatan Seteluk, Sumbawa Barat
Sebuah berita pada 2 Agustus 2018 menulis bahwa “puluhan siswa dari sejumlah sekolah di kecamatan Seteluk terpaksa dilarikan ke Puskesmas setempat, Rabu, 1 Agustus 2018. Mereka mengeluh sakit setelah sebelumnya mengikuti imunisasi rubella yang dilaksanakan di sekolahnya”. Kabar tersebut juga memuat konfirmasi dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sumbawa Barat.
Dinkes setempat sudah menyatakan bahwa insiden yang ada bukan efek langsung dari vaksin MR, melainkan kondisi fisik anak yang kemungkinan tidak siap menjalani proses vaksinasi.
Namun, berita tersebut menyebar di media sosial disertai pengantar yang bisa mengundang kepanikan. Pengguna Facebook bernama Kostredi, sebagai contohnya, pada 3 Agustus 2018 membagi tautan berita itu dengan tambahan komentar: "Untuk orang tua jangan mau anak2 kita suntik IMUNISASI RUBELLA. itu [modus] bunuh anak bangsa kita.!!!!"
Konfirmasi
Tirto menghubungi Kabid Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) dari Dinkes Sumbawa Barat, H. M. Yusfi Khalid (6/8). Yusfi membenarkan bahwa ada beberapa anak yang dibawa ke Puskesmas setempat setelah imunisasi MR berlangsung di Kecamatan Seteluk, Sumbawa Barat.
Kejadiannya bermula dari seorang anak yang dibawa ke Puskesmas karena mual dan pusing. Hal ini terjadi pada tanggal 1 Agustus 2018 atau hari pertama pelaksanaan imunisasi. Anak itu mengeluhkan rasa mual dan pusing.
“Sekitar jam 9-10 siang hari, satu anak ke Puskesmas, keluhan mual dan pusing. Itu saja keluhannya. Adapun di berita [disebut] sampai pingsan sampai muntah itu ndak ada itu. Itu jelas, sudah bisa kita pertanggungjawabkan itu,” lanjutnya.
Yusfi menekankan bahwa insiden terjadi setelah vaksinasi, bukan saat vaksinasi sedang berlangsung. Setelah satu anak, datang lagi 10 anak ke Puskesmas.
"Dokter ini segera melayani. Nah, oleh teman-teman penjaga diberikan penanganan, untuk menjaga kemungkinan itu. Langsung ada yang diinfus, itu juga. Emang supaya amannya [penanganan] itu," jelasnya.
Berdasarkan laporan yang dia terima, tercatat ada 33 anak dari wilayah Kecamatan Seteluk yang dibawa ke Puskesmas pada hari itu: 13 siswa SD dan 20 siswa SMP. Setelah dokter Puskesmas menyatakan bahwa kondisi anak-anak itu membaik. Mereka diperbolehkan pulang ke rumah pada hari yang sama.
“Ndak ada yang dirawat inap ndak ada. Hanya istirahat, itu saja sebenarnya. Cuma bahasa koran, kan kadang-kadang judulnya itu,” terangnya.
Membagi Informasi Lama: Insiden Tahun 2017
Bukan hanya berita dari Kecamatan Seteluk, Sumbawa Barat yang beredar. Sirkulasi berita ini-itu imunisasi MR muncul kembali dengan menyertakan beberapa insiden pada 2017.
Sebagai contoh, pengguna Facebook bernama Kurnia Dewi, pada 1 Agustus 2018 membuat pernyataan ketakutan atas informasi insiden imunisasi MR tahun 2017. Kurnia menulis: "Iki kudu piye bu ibu bidan syantik. [Ini harus bagaimana Ibu Bidan cantik] Saya jadi horor..
Akun itu menyertakan beberapa potongan gambar dari berbagai sumber sebagai bukti dari insiden.
Jika dibaca dengan cermat, unggahan Kurnia juga merupakan tanggapan bernada panik dari kabar yang beredar via jaringan grup. Salah satu bukti yang ditampilkan dalam insiden itu adalah kejadian lumpuh setelah imunisasi MR di wilayah Demak, 2017 lalu.
Namun pertanyaannya, tepatkah informasi itu? Kejadiannya memang benar terjadi. Namun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah memberi hasil investigasinya melalui rilis resminya, 6 September 2017. Rilis itu memuat bukan hanya insiden yang terjadi di Demak saja, tapi juga Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang terjadi di Blitar dan Bogor.
Disebutkan dalam laporan bahwa, “Nama: NA, perempuan, 12 tahun; Berdasarkan hasil investigasi dan analisis KOMNAS PP-KIPI dan KOMDA PP-KIPI provinsi Jawa Tengah, disimpulkan anak mengalami infeksi susunan syaraf pada tulang belakang. Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus lain. Setelah dirawat di RSUP Dr. Karyadi, pasien dinyatakan sembuh dan telah pulang ke rumah. Menurut klasifikasi WHO 2014, KIPI yang terjadi pada anak NA tidak berhubungan dengan imunisasi MR (koinsiden)”.
Artinya, informasi yang dibagikan oleh Kurnia dalam Facebooknya tidaklah utuh. Kurnia tidak menyertakan tambahan informasi dari Kemenkes bahwa hasil investigasi KIPI 2017 telah menyatakan bahwa insiden lumpuh di Demak setelah imunisasi bukanlah efek dari vaksin MR, melainkan infeksi susunan syaraf pada tulang belakang.
Dua insiden dari wilayah lain yang disebut dalam laporan itu, Blitar dan Bogor, juga dinyatakan tidak berhubungan dengan imunisasi MR.
Reaksi Vaksin Umum Terjadi
Hal yang sama ditanyakan Tirto kepada Kabid Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) dari Dinkes Sumbawa Barat, terkait insiden di Sumbawa Barat. Dalam kasus ini, tidak ada satu pun anak yang mengalami insiden serupa dengan kasus tahun 2017. Anak-anak di Kecamatan Seteluk tidak ada yang mengalami sakit parah. Umumnya hanya karena situasi kelelahan serta ketidaksiapan menjalani imunisasi secara fisik dan psikologis.
"Jadi kaitan secara psikologis anak, lihat temannya begitu. Itu beberapa jam setelahnya, tidak langsung. Ya namanya anak-anak langsung main, main segala macam akhirnya, pusing dia atau mungkin kurang sarapan. Bisa saja itu terjadi," terangnya.
Namun, terlepas dari insiden di Sumbawa Barat, reaksi ringan setelah pemberian vaksin sebenarnya hal yang wajar. Ini semestinya menjadi semacam pengetahuan dasar terkait imunisasi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam informasi “Dasar-Dasar Keamanan Vaksin” menerangkan pengetahuan dasar terkait imunisasi itu. Disebutkan bahwa, “reaksi terhadap suatu vaksin bersifat sangat individual, walaupun pembuatan, penyimpanan, dan cara pemberiannya sudah sesuai dengan SOP [prosedur operasional standar]”.
Informasi juga menyebut bahwa “reaksi vaksin ini biasanya muncul sehari atau dua hari setelah imunisasi (kecuali ruam setelah imunisasi campak muncul pada hari ke 6–12 pasca-imunisasi) dan berlangsung selama satu sampai beberapa hari.”
Khusus untuk vaksinasi MR, misalnya, dalam tabel Badan Kesehatan Dunia disebutkan bahwa adanya reaksi lokal (sakit, bengkak, dan kemerahan) terjadi kurang dari 10 persen. Sementara itu, kemungkinan untuk reaksi sistemik berupa demam di bawah 38 derajat punya potensi sebesar 5-15 persen.
Panduan itu juga menggarisbawahi bahwa “reaksi lokal dan sistemik seperti rasa sakit dan demam bisa muncul setelah imunisasi sebagai bagian dari proses reaksi kekebalan."
Kesimpulan
Pihak Dinkes Sumbawa Barat memberi informasi utuh atas insiden Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang terjadi di Kecamatan Seteluk, 1 Agustus 2018. Benar bahwa 33 anak dibawa ke Puskesmas setelah pelaksanaan imunisasi. Namun, apa yang mereka alami tidaklah parah.
Anak-anak sudah pulang dan beristirahat di rumah pada hari itu juga. Informasi yang benar, jika dibagikan di media sosial dengan nada kepanikan, berpotensi menjadi kepanikan massal dan menggagalkan program imunisasi. Apalagi ketika unggahan kabar lama ihwal insiden Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) setelah imunisasi MR tahun 2017 dimunculkan lagi, tanpa disertai hasil investigasi Kemenkes.
Masyarakat sebaiknya melengkapi diri dengan pengetahuan umum seperti “Dasar-Dasar Keamanan Vaksin, pelatihan melalui elektronik” agar tak panik dan mempersiapkan diri sebelum imunisasi. Pemerintah pun perlu menyertai program nasional ini dengan penyuluhan dan kampanye yang memadai.
========
Tirto mendapat akses aplikasi CrowdTangle yang memungkinkan mengetahui sebaran sebuah unggahan (konten) di Facebook, termasuk memprediksi potensi viral unggahan tersebut. Akses tersebut merupakan bagian dari realisasi penunjukan Tirto sebagai pihak ketiga dalam proyek periksa fakta Facebook.
Editor: Maulida Sri Handayani