Menuju konten utama

Media Diminta Taat Etik Saat Meliput Sidang Meski Belum Ada Aturan

Menurut MA, pengertian sidang yang terbuka untuk umum tidak berarti ada kebebasan media melakukan penayangan langsung proses persidangan.

Media Diminta Taat Etik Saat Meliput Sidang Meski Belum Ada Aturan
Terdakwa kasus dugaan pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso mendengarkan pembacaan pledoi oleh penasehat hukumnya dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (12/10). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Dewan Pers meminta media massa mengedepankan pertimbangan etika dalam memberitakan proses persidangan. Imbauan diberikan terutama untuk lembaga penyiaran berbasis rekaman gambar atau televisi.

Anggota Dewan Pers Ratna Komala mengatakan, saat ini terdapat kekosongan hukum yang mengatur tayangan berita dengan format siaran langsung pada sebuah persidangan. Meski ada kekosongan hukum, ia menyarankan agar semua lembaga penyiaran mengedepankan pertimbangan etik dalam menyiarkan siaran langsung di persidangan.

"Siaran langsung persidangan harus bijak dan taat etik, tak dilakukan terus menerus selama persidangan berjalan. Tidak semua harus kita serahkan ke publik dan mereka secara liar menerjemahkan," ujar Ratna di Pusat Pendidikan dan Pelatihan MA, Bogor, Rabu (18/7/2019).

Berdasarkan penelusuran Tirto, hingga kini belum ada aturan yang membatasi format penayangan berita persidangan dengan cara siaran langsung oleh media massa.

Selama ini, izin siaran langsung pemberitaan di persidangan tergantung pada keputusan Ketua Majelis Hakim perkara terkait. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga tercatat pernah beberapa kali mengeluarkan imbauan ihwal siaran langsung pemberitaan di sidang sebuah perkara.

"Tren live report persidangan belum ada aturannya. Padahal dengan konvergensi media ada keterlibatan publik langsung dalam siaran," kata Ratna.

Pada kesempatan yang sama, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, pengertian sidang yang terbuka untuk umum tidak berarti ada kebebasan media melakukan penayangan langsung proses persidangan.

Menurutnya, prinsip keterbukaan sidang untuk umum sebenarnya hanya berlaku di konteks peradilan terkait. Media tidak berarti bebas menayangkan langsung jalannya proses persidangan dengan dalih adanya prinsip keterbukaan untuk umum.

"Bagaimana kalau sidang terbuka untuk umum disiarkan langsung? Saksi yang belum datang [ke sidang] bisa melihat di TV, bisa dengar radio [kesaksian orang lain]. Ini akan mengganggu objektivitas hakim dalam memeriksa perkara. Kalau siaran langsung ini tidak diatur dalam aturan tertentu, maka ke depannya akan sesuai selera pasar," ujar Suhadi.

Hakim Agung itu menyebut, penayangan persidangan kasus pembunuhan dengan kopi sianida yang melibatkan terpidana Jessica Kumala Wongso pada 2016 lalu memberi pelajaran bagi hakim di Indonesia dalam hal pemberian izin siaran langsung untuk media.

Saat itu, proses persidangan Jessica nyaris selalu ditayangkan langsung sejumlah TV skala nasional. Penayangan berlangsung berjam-jam sesuai durasi persidangan.

"Setelahnya jarang terjadi ketua majelis hakim mengizinkan siaran langsung [di persidangan] Ini membutuhkan regulasi untuk mencukupi ketentuan KUHAP. Apakah [regulasinya nanti] dalam bentuk aturan contempt of court atau aturan sendiri untuk siaran langsung," kata Suhadi.

Baca juga artikel terkait DEWAN PERS atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dipna Videlia Putsanra