tirto.id - Pesawat kini jadi salah satu transportasi utama orang dan barang di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, pesawat memang cocok untuk menunjang hal itu karena irit uang dan waktu. Wajar dalam dua dekade terakhir pertumbuhan bisnis penerbangan nyaris tak terbendung. Maskapai baru bermunculan. Jikapun ada yang kolaps, maka maskapai baru yang lainnya akan menggantikan.
Potensi bisnis penerbangan di Indonesia memang menggiurkan. Jumlah penumpang per tahunnya dalam lima tahun terakhir selalu stabil di atas 50 juta penumpang. Pertumbuhan lalu lintas penerbangan Indonesia pun berkisar 6 persen per tahun, lebih baik ketimbang peningkatan aviasi seluruh dunia yang berkisar 4,7 persen pertahun.
Masalah muncul saat kebutuhan yang tinggi itu tak seiring dengan peningkatan sumber daya yang ada, khususnya di posisi pilot. Pertumbuhan pilot di Indonesia tidak bisa mengejar penambahan pesawat udara, jumlah penumpang, penambahan rute dan frekuensi penerbangan.
Mengoperasikan pesawat itu tak semudah menahkodai kapal laut atau menyetir bus atau kereta api. Mendidik pilot itu tidaklah mudah. Butuh waktu panjang dan biaya yang mahal.
Masalah klasik ini yang membuat sekolah-sekolah penerbangan terkadang sepi peminat. Agar bisa lulus jadi pilot, biaya yang harus dikeluarkan berkisar Rp500 juta – Rp700 juta. Setelah siswa lulus pun masih ada tantangan yang harus dilalui, yakni antrean bekerja di maskapai bersaing dengan senior.
Lantas, butuh waktu jam terbang lama agar pilot-pilot pemula bisa mendapatkan izin Commercial Pilot License (CPL) dari Kementerian Perhubungan. Proses yang lama itu membuat defisit pilot terus terjadi.
Untuk masalah ini, Indonesia tidak sendiri. Dunia pun menghadapi krisis yang sama hingga tahun 2030 mendatang. Riset Current Market Outlook pada 2011 memaparkan, dunia membutuhkan tambahan 460.000 pilot dalam 20 tahun ke depan. Kebutuhan terbesar terpusat di regional Asia Pasifik, mencapai 183.200 pilot (38 persen dari total keseluruhan).
Kekurangan pilot di dalam negeri ini mau tak mau memaksa maskapai nasional untuk menggunakan jasa pilot-pilot asing. Data dari Kemenhub bisa membuktikan itu.
Statistik Kemenhub mencatatkan angka pertumbuhan jumlah pilot yang beroperasi di Indonesia tiap tahunnya berkisar 6-7 persen. Data terakhir mencatat izin CPL yang dikeluarkan Kemenhub pada 2014 mencapai 9341 izin. Dalam waktu lima tahun terakhir, permintaan CPL memang meningkat pesat mencapai 26 persen ketimbang 2010 yang hanya 6.874 izin.
Dari dua data di atas, kita bisa mengambil kesimpulan, berdasarkan data CPL jumlah pilot yang beroperasi di Indonesia sebenarnya sudah selaras dengan kebutuhan industri penerbangan. Ini artinya, kekurangan yang digembor-gemborkan itu bisa tertupi.
Namun kenaikan izin CPL bukan berarti kita mampu menambah jumlah pilot lokal. Ini dikarenakan izin CPL ini dikeluarkan Kemenhub kepada siapapun yang hendak mengoperasikan pesawat komersial di Indonesia, entah itu pilot lokal ataupun pilot asing.
Inilah masalahnya: pilot dalam negeri kita semakin tersisih.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo, Rabu lalu (16/4/2016) mengatakan, jumlah pilot lokal di Indonesia berkisar 7.400 pilot. Jika mengacu pada peningkatan izin CPL dalam lima tahun terakhir yang berkisar 4-7 persen, maka estimasi izin CPL yang dikeluarkan Kemenhub pada 2015 berkisar 9616 izin.
Dari kombinasi jumlah CPL 2015 dan klaim Suprasetyo, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pilot asing memang benar-benar menyerbu Indonesia. Sekitar 2000 pilot atau 20 persen penerbang yang beroperasi di Indonesia adalah pilot asing.
Kementerian Perhubungan merilis kebutuhan pilot baru di Indonesia tiap tahunnya mencapai 800 orang. Namun, dari 16 sekolah penerbangan yang terdaftar, tiap tahunnya hanya bisa memasok 200-300 penerbang baru.
Agar selisih ini bisa dikikis, mau tak mau kita harus memperbanyak jumlah sekolah-sekolah penerbangan yang tersebar di seluruh provinsi – tak hanya terpusat di Pulau Jawa.
Tak berhenti di sana, pemerintah pun wajib terus memantau dan mengontrol kualitas sekolah-sekolah ini. Banyak sekolah pilot yang beroperasi asal-asalan, yang pada ujung-ujungnya siswa terdidik tak akan terpakai bekerja di maskapai. Banyaknya maskapai akhirnya mempekerjakan tenaga asing, bahkan untuk tingkat pilot yunior, disebabkan kurangnya kualitas sumber daya lokal yang dilatih.
Salah seorang pejabat di Dirjen Perhubungan Udara, Kemenhub, Capt. Avirianto kepada Tabloid Aviasi pernah mengatakan bahwa persaingan ketat dengan pilot asing membuat bahkan banyak siswa lulusan dari sekolah penerbangan di Indonesia yang menganggur. “Ini merupakan bukti yang ironis bagi industri penerbangan tanah air. Ada yang belum terserap ada juga karena tidak lulus tes masuk pilot dari suatu maskapai,” kata dia pada 2014 lalu.
Dia memaparkan masalah pelik ini karena berkaitan dengan hal teknis. “Kelemahan lulusan kita dibandingkan dengan lulusan luar negeri yaitu di luar negeri dibekali dengan simulator type rating (sesuai dengan jenis pesawat yang akan dioperasikan), sementara sekolah pilot di kita baru sebatas dibekali simulator device untuk training,” ucapnya lagi.
Sedangkan Ketua Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug Yudhi Sari Sitompul menjelaskan masalah pelik sekolah penerbangan di Indonesia adalah terbatasnya terbatasnya ruang udara untuk latihan penerbangan. Di sekolah penerbangan favorit ini saja ruang udara yang diberikan hanya lima titik. “Idealnya STPI mempunyai 32 ruang udara,” ucapnya.
Pertambahan ruang udara otomatis akan berefek pada bertambahnya jumlah frekuensi penerbangan. Dia berkelakar percuma saja memiliki banyak pesawat latih tapi tak bisa terpakai semua karena ruang udara yang minim.
Tak terserapnya lulusan dalam negeri disikapi Ketua Asosiasi Sekolah Pilot Indonesia Sunaryo secara tegas.
“Alasannya karena lulusan kita tidak tidak sesuai standar. Ini kan aneh, kurikulum sekolah pilot di kita kan dibuat dan diuji oleh pemerintah sesuai dengan apa yang diinginkan maskapai,” ucapnya dikutip dari Antara.
Alasan maskapai memilih pilot asing sebenarnya semata karena uang. Banyak dari mereka yang rela dibayar murah. Hal ini diungkapkan Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Udara Kemenhub Yuli Sudoso.
Kehadiran pilot asing ini ke Indonesia sebenarnya bukan semata karena uang. Yuli mengatakan, pilot-pilot asing yang baru lulus pendidikan ini banyak menyerbu ke Indonesia demi mengejar pengalaman jam terbang. Setelah jam terbang terpenuhi maka mereka pun akan kembali ke negara asal.
Yuli memaparkan di luar negeri, pilot-pilot harus mengumpulkan hingga 1.500 jam terbang agar bisa melamar ke maskapai. Sedangkan di Indonesia, hanya perlu 200 jam terbang. “Jadi mereka rela dibayar murah atau tidak dibayar supaya jam terbangnya terkumpul dan kembali pulang ke negaranya, kalau tidak memenuhi enggak boleh karena itu regulasinya," katanya.
Dengan mulai diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016, maka siap-siap saja pilot dari negara-negara ASEAN akan semakin mudah menyerbu Indonesia.
Sebelum MEA dimulai saja invasi itu sudah kian terasa. Bagaimanapun juga, MEA adalah ancaman bagi sekolah-sekolah penerbangan di Indonesia. Bagi maskapai yang memang siklus perputarannya mengincar untung, nasionalisme itu urusan belakangan. Masa depan Indonesia yang jadi negara tanpa pilot bukan masalah yang mesti dipikirkan.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti