tirto.id - "Persis pada awal dekade 1970-an, Lena Soderberg hanya berakhir menjadi halaman tengah majalah Playboy," tulis Emily Chang dalam bukunya berjudul Brotopia: Breaking Up The Boys' Club of Silicon Valley (2018). "Namun segalanya berubah tatkala model berusia 21 tahun asal Swedia tersebut menyatakan kehendaknya untuk pindah dari tempat asalnya, Stockholm, menuju Chicago. Alasan yang dikemukakan kepada redaksi Playboy: 'demam Amerika'
Majalah Playboy gembira. Setibanya di Amerika Serikat, Playboy melahirkannya kembali, mengorbitkan ulang Sodenberg di majalah dewasa tersebut dengan nama Lenna Sjooblom. Pada edisi November 1972, Playboy memuat serangkaian foto-foto seksi Sjooblom. "Yang unik dan sekaligus getir," tutur Chang, "salah satu foto yang dimuat majalah tersebut sukses menghindarkan Lenna mengikuti jejak pendahulunya--meroket sebentar, kemudian menjadi debu di bawah tepat tidur pria hidung belang". Satu foto itu menjadikan wajah Lenna setenar Mona Lisa, paling tidak bagi kalangan akademik yang mempelajari ilmu komputer pada dekade 1970-an.
"The First Lady of The Internet"
Pada 1973, di bawah bendera Institut Pemrosesan Sinyal dan Gambar pada University of Southern California, Doktor Ilmu Komputer bernama William Pratt tengah berupaya mengkonversi foto dalam bentuk fisik menjadi digital. Ia mendapat dukungan dana dari Advanced Research Projects Agency (ARPA, dan kini bernama Defense Advanced Research Projects Agency alias DARPA), lembaga penelitian di bawah Kementerian Pertahanan AS yang salah satu ciptaannya kita kenal dengan nama internet, Pratt dan timnya melakukan pekerjaan rintisan di bidang pemrosesan gambar digital.
Corinne Iozzio, dalam laporannya untuk The Atlantic, menulis bahwa Pratt dan timnya menciptakan algoritma untuk mengkonversi foto fisik ke bentuk digital. Untuk menguji apakah algoritma bekerja, mereka melakukan pemindaian dari foto (fisik) apapun yang mereka miliki menggunakan scanner Hewlett-Packard 2100. Dan di suatu hari pada 1973, tim merasa bosan dengan stok foto uji coba yang mereka miliki. Maka, sebagaimana dituturkan Andrew Sawchuk--salah satu anggota tim--pada Iozzio, "tim mencari alternatif foto yang lebih mengkilap, foto wajah manusia." Kebetulan, salah satu anggota tim membawa majalah Playboy edisi November 1972.
Dalam Brotopia: Breaking Up The Boys' Club of Silicon Valley (2018), tim yang dinahkodai Pratt tersebut lantas membuka-buka majalah Playboy tersebut untuk mencari gambar yang dapat digunakan. "Saya berkata, 'Ada beberapa gambar yang tampak cukup bagus di sana'," kenang Pratt, "dan cowok-cowok pascasarjana memilih salah satu foto yang ada di sana, yakni bentangan tiga halaman penuh Lena, mengenakan sepatu bot, syal, dan topi yang menunjukkan bagian belakang telanjang dan satu payudara terbuka." Foto seronok Lenna Sjooblom akhirnya dipilih.
Tetapi karena mesin pemindai era 1970-an yang mereka gunakan berukuran kecil dan hanya mampu memindai gambar sebesar 512 kali 512 pixel, foto Sjooblom dipotong dan menyisakan wajah hingga bahunya saja. Usai dipindai, lahirlah foto digital Lenna yang mengandung 250.000 piksel--lebih kecil 32 kali dibandingkan foto yang dipotret melalui iPhone 6.
Pratt mengaku secara teknis foto Lenna dipilih karena subjek fotonya "mengenakan topi berbulu besar di atasnya yang akhirnya akan menciptakan banyak detail frekuensi pada foto yang dipindai yang sulit diterjemahkan ke kode". Bagi Pratt, ini "sangat menantang". Soal kenapa majalah Playboy dan kenapa Lenna, Pratt hanya berkilah bahwa "anak-anak buahnya mungkin senang dengan majalah ini".
David C. Munson, mantan pemimpin redaksi IEEE Transactions on Image Processing--jurnal yang mempublikasikan hasil riset Pratt, dalam "A Note on Lena" (1996), menyebut bahwa foto Lena yang diambil dari Majalah Playboy dianggap sebagai "foto berstandar industri" karena "foto berisi campuran detail yang bagus, yakni bidang datar, bayangan, dan tekstur hingga sangat baik untuk kebutuhan menguji berbagai algoritma pemrosesan gambar". Di sisi lain, Munson menyebut foto Lena dipilih karena itu adalah "foto perempuan yang menarik, yang tak terlalu mengherankan karena komunitas riset komputer kebanyakan diisi oleh kaum laki-laki."
Karena kerja penelitian mengubah foto fisik menjadi digital bukan hanya dilakuan University of Southern California seorang, foto Lenna yang telah digitalisasi tersebut disebarkan, dijadikan bahan uji coba serupa di seluruh dunia. Foto Lenna lalu melanglangbuana, dari satu peneliti ke peneliti lain, dari satu jurnal ke jurnal lain. berkat foto itulah foto Lenna itu, lahir ekstensi dokumen foto bernama JPEG--atau JPG karena di masa-masa awal Windows, Bill Gates hanya menghendaki tiga digit bagi penamaan ekstensi.
Majid Rabbani, dalam "An Overview of The JPEG2000 Still Image Compression Standard," yang dimuat dalam jurnal Signal Processing: Image Communication edisi 17 tahun 2002, menyebut bahwa kehadiran JPEG alias Joint Photographic Experts Group bukan soal mengubah foto cetak menjadi bentuk digital, melainkan lebih soal kompresi: menciptakan foto digital dengan ukuran file yang sekecil-kecilnya. Salah satu teknik untuk mengecilkan ukuran foto digital adalah colorspace conversion, yakni teknik mengelabui keterbatasan sensor mata manusia melihat warna yang tidak seakurat komputer. Secara ilmiah, mata manusia hanya memiliki kemampuan fisik untuk membedakan sekitar 10 juta warn. Namun, warna-warna itu terlihat melalui serangkaian ilusi dan perspektif. JPEG mencoba memanipulasi keterbatasan fisik manusia ini, mengonversi warna menjadi RGB (red, green, blue) atau CMYK (cyan, magenta, yellow, key--hitam) dan menunjukkan serangkaian perbedaan warna melalui bit-bit matematika.
Konversi digital ala JPEG memungkinkan foto diunggah ke internet, dunia yang diciptakan DARPA. Karena foto Lenna menjadi salah satu foto yang pertama dikonversi ke bentuk JPEG, tak mengherankan jika subjeknya dijuluki "Ibu Negara Internet" (The First Lady of the Internet).
Lenna, singkat kata, menjadi legenda bagi kalangan akademisi komputer.
Linda Kinstler, dalam kisah pencariannya terhadap sosok Lenna Sjooblom yang dimuat Wired, menyebut bahwa banyak kalangan peneliti komputer percaya bahwa Lenna merupakan sosok imajiner, bukan sungguhan persis seperti persepsi masyarakat terhadap "Bliss", foto pemandangan yang menjadi wallpaper Windows XP. Bahkan, Jeff Seideman, Presiden Society for Imaging Science and Technology, mengaku "kaget bahwa Lenna merupakan sosok nyata".
Selain menjadi sosok yang fotonya diabadikan sebagai bahan uji coba JPEG, Lenna kemudian menjadi model untuk sampul katalog produk-produk Kodak. Ia pun didaulat menjadi salah satu perempuan "Shirley Cards" ala Kodak, kartu untuk mengkonfigurasi warna di era fotografi film. Terakhir, di dunia teknologi, Lenna menjadi sampul buku panduan printer Xerox 7700.
Atas jasanya terhadap dunia teknologi, Majalah Playboy pada 2013 menyatakan Lenna Sjooblom sebagai "pahlawan di dunia teknologi". Tentu, kenyataan ini menggelitik. Kembali merujuk Emily Chang, perempuan acap kali dipandang sebelah mata di dunia teknologi. Fakta bahwa foto Lenna dimuat Playboy sebagai bahan uji coba JPEG, menurut Chang, memperkuat seksisme di dunia teknologi. Lenna, dalam bentuk foto, diizinkan masuk ke lab-lab teknologi, sementara perempuan yang memiliki kemampuan teknis justru diabaikan. Pada 1984, tahun ketika Macintosh diluncurkan, 40 persen gelar ilmu komputer diserahkan kepada perempuan. Sayangnya saat itulah kemajuan perempuan di bidang teknologi tiba-tiba stagnan. Mereka kurang diterima di dunia itu.
Ketika buku yang ditulis Chang terbit, seperempat pekerjaan di bidang komputer di AS berada di tangan perempuan, turun dari 36 persen pada 1991. Angka tersebut lebih buruk jika dibandingkan dengan perusahaan besar seperti Google dan Facebook. Pada 2017, misalnya, jumlah pekerja perempuan di Google menyumbang 31 persen total tenaga kerja, tetapi hanya 20 persen para pekerja perempuan di Google bekerja untuk bagian-bagian terpenting perusahaan.
Dikendalikan oleh laki-laki, produk teknologi yang lahir pun lebih memihak laki-laki dibandingkan perempuan. Segala sesuatu, tulis Chang, "mulai dari smartphone berukuran besar hingga jantung buatan telah dibuat dengan ukuran yang lebih cocok untuk anatomi pria". Hingga 2016, jika Anda mengatakan "Saya mengalami serangan jantung" kepada asisten virtual seperti Siri, S Voice, atau Google Assistant, “Anda akan segera mendapatkan informasi berharga tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Jika Anda mengatakan, "Saya diperkosa", atau "Saya dilecehkan oleh suami saya", suara perempuan yang menarik dari Siri atau Google Assistant akan berkata, "Saya tidak mengerti pertanyaan Anda".
Maka, merujuk "Culture, Communication, and an Information Age Madonna" yang termuat dalam jurnal IEE Profesional Communication Society Volume 45 tahun 2001, Jamie Hutchinson menyatakan bahwa Lenna adalah simbol. Simbol dari "fantasi laki-laki atas seksualitas perempuan" yang dibuktikan pada kenyataan bahwa foto Lenna diambil dari Majalah Playboy.
Editor: Windu Jusuf