tirto.id - Bulan Desember adalah saat yang membikin waswas bagi kebanyakan anak sekolah dan orangtuanya. Ini adalah bulan akhir semester gasal dan waktunya pembagian rapor. Siswa-siswa diberitahu seberapa bagus nilai mereka selama satu semester. Lengkap dengan rankingnya, jika sekolah masih memakai sistem ranking.
Jadi juara, biasa saja, atau malah di posisi buncit? Siswa yang mendapat ranking buncit terancam dimarahi dan dicap bodoh. Dan biasanya ada iming-iming hadiah bagi yang masuk 10 besar apalagi ranking satu.
Meski ranking atau peringkat pendidikan Indonesia termasuk rendah dalam perkembangan pendidikan dunia, yakni rangking 57 dari 65 negara dunia versi Organisation for Economic Cooperation Development (OECD), dunia pendidikan Indonesia secara umum masih bangga memelihara sistem ranking.
Maksudnya mulia: supaya siswa termotivasi mendapat nilai tinggi dalam semua pelajaran di sekolah dan ranking baik, sehingga mereka belajar keras. Selama ini sistem kompetisi dalam dunia pendidikan dipercaya akan menciptakan semangat dan etos belajar siswa.
Tapi sistem itu sangat mungkin merugikan siswa-siswa yang punya masalah belajar beraneka ragam. Sumber daya dan kemampuan siswa terhadap pelajaran pun beda-beda. Sangatlah tak adil jika memukul rata kemampuan siswa yang bisa ikut les bermacam-macam pelajaran dan tercukupi gizinya dengan siswa yang kurang memiliki waktu belajar. Misalnya, karena mereka harus membantu orangtuanya banting tulang.
“Sistem ranking itu adalah sistem yang tidak adil dan berbahaya bagi perkembangan konsep diri anak karena yang menjadi patokan selalu nilai rata-rata.... Jika sebuah kelas terdiri dari 40 anak, maka semakin rendah rankingnya berarti semakin bodoh anak itu. Anak berpikir secara linier dan cenderung akan menerima kenyataan bahwa ia bodoh karena berada di ranking bawah,” tulis Adi Gunawan dalam Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan? (2005).
Merasa bodoh tak jarang membuat motivasi belajar menurun. Saat perhatian siswa teralih ke hal-hal di luar kegiatan belajar formal, tak jarang mereka juga dicap nakal. Ada pula kasus siswa rela disebut nakal demi menutup rasa rendah diri karena cap bodoh. Anak didik bisa jadi berpikir, “Buat apa belajar jika hanya terus menerus dicap bodoh dan tidak mendapat kemampuan apapun?”
Siswa di peringkat atas dalam sistem rangking juga tak jarang mendapat beban mental yang rawan membuat mereka terpuruk kondisi psikisnya. Mereka bisa tertekan jika peringkatnya turun. Tak jarang ada siswa tiba-tiba drop kondisi tubuhnya saat ujian akhir semester karena terlalu lelah belajar.
Anak dengan ranking teratas yang kerap jadi anak kesayangan guru membuat ekspektasi terhadap mereka menjadi tinggi. Ranking teratas haruslah bisa selalu dapat nilai tertinggi dalam ujian atau melanjutkan ke sekolah bergengsi. Siswa “berprestasi” relatif selalu ada dalam sorotan.
Terkait dunia kerja pun tak ada jaminan siswa yang selalu ranking satu di sekolah akan lancar karirnya. Thomas Alva Edison bahkan dicap bodoh di sekolah, tapi jadi pemilik banyak hak paten yang membangun perusahaan raksasa bernama General Electric. Bahkan jenius abad ke-20 pun Albert Enstein bukanlah mahasiswa teristimewa di kampusnya.
Berdasar teori Multiple Intelligence, dalam dunia pendidikan sejatinya tidak ada anak yang bodoh. Yang ada adalah anak punya kemampuan pada aspek-aspek yang berbeda. Ada yang cerdas di bidang matematika, ada yang berbakat di bidang musik, ada yang menyukai dan cepat mampu di bidang olahraga, menggambar, dan lainnya. Sayang, dunia pendidikan Indonesia berambisi menciptakan orang-orang yang bisa melakukan semua hal.
Psikolog Sartono Mukadis pernah mengatakan sistem ranking kelas di sekolah merupakan bentuk pelecehan pada anak karena akan membuat keadaan menjadi tidak sehat. Tapi tetap saja ada semacam obsesi untuk meranking, mengukur prestasi belajar anak-anak.
Menurut Adi Gunawan dalam Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?, “cara paling adil dan baik mengukur prestasi anak adalah dengan membandingkan prestasi saat ini dengan prestasi sebelumnya.”
Tapi, seperti tertulis dalam buku Cooperative Learning, sistem ranking sudah jadi lingkaran setan yang membikin siswa menjadi korban. “Mereka melewati proses pendidikan seperti seekor keledai yang letih karena ditunggangi seseorang berbadan gemuk. Keledai ini dipaksa berjalan dengan iming-iming sebuah wortel yang digantung persis di mulutnya, tapi tidak pernah bisa menggapainya.”
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani