Menuju konten utama

Limbah Sikat Gigi: Si Kecil yang Mampu Melilit Bumi

Di balik manfaatnya, sikat gigi yang terbuat dari plastik juga menyimpan masalah sampah yang sulit terurai. Kita perlu lebih bijak dalam penggunaannya.

Limbah Sikat Gigi: Si Kecil yang Mampu Melilit Bumi
Ilustrasi Sampah Sikat Gigi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Menyikat gigi adalah aktivitas yang terkesan remeh, tapi rutin dilakukan semua orang setidaknya dua kali dalam sehari. Ia pun punya manfaat untuk menjaga kesehatan gigi. Namun, siapa nyana aktivitas kecil ini ternyata membuat bumi dibanjiri sampah tak terurai.

Saat ini, produk sikat gigi dibuat bermacam-macam bentuk. Yang paling umum adalah sikat gigi bergagang plastik dengan bulu sikat dari nilon. Kemudian, ada juga sikat gigi listrik. Selain dua jenis konvensional itu, ada juga sikat gigi yang bagian bulunya diganti karet empuk bergerigi atau berbentuk “U”. Modelnya lebih beragam lagi pada produk sikat gigi anak.

Dari kesemua bentuk sikat gigi, inti bahan utamanya sama saja: plastik. Pada sikat gigi listrik, malah terdapat tambahan komponen alumunium dan baterai sebagai sumber energi. Benda kecil itu setidaknya bakal berakhir ke tong sampah dalam jangka waktu 3-4 bulan karena rekomendasi dari American Dental Association (ADA) menyarankan demikian.

Dalam setahun, tiap orang rata-rata membuang sampah sikat gigi sebanyak 4 buah. Terlihat sedikit memang, tapi coba kalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 275,8 juta jiwa. Maka setidaknya bakal ada 1 miliar sikat gigi terbuang dalam setahun. Itu baru dari Indonesia, belum dari negara lain.

Laman National Geographic menyebut jika Anda menjajarkan sampah sikat gigi yang di buang di Amerika Serikat dalam setahun, panjangnya cukup untuk melilit bumi dalam 4 lilitan.

Jika semua orang di seluruh dunia mengikuti rekomendasi dari ADA, sekitar 23 miliar sikat gigi bakal terbuang setiap tahun. Hitung sendiri berapa kali bumi bisa terlapisi hanya dengan sampah “kecil” bernama sikat gigi. Setiap orang setidaknya berkontribusi atas 300 sampah sikat gigi sepanjang periode hidupnya—dengan asumsi hidup hingga 75 tahun.

Dari sini sudah terlihat titik urgensinya, bukan?

Kembali lagi pada pembahasan awal—karena sikat gigi kebanyakan berbahan plastik serta tambahan baterai di beberapa produk, sudah tentu ia sulit didaur ulang. Bagian bulu sikat seringkali tersangkut pada mesin-mesin daur ulang. Nah, lantaran terbuat dari plastik dan cenderung tidak didaur ulang, sampah dari sikat gigi plastik pertama dari era 1930-an dipastikan masih ada di bumi hingga sekarang.

Kembali Mencari Jalan Berkelanjutan

Sejarah sikat gigi dapat dirunut hingga sekitar 3000 SM. Saat itu, orang Babilonia mengunyah ranting (di sini dikenal dengan siwak) hingga berserabut dan kemudian menggunakannya untuk membersihkan gigi. National Geographic menyebut para arkeolog menemukan ranting “sikat gigi” serupa pada makam-makam kuno di Mesir.

Saat Tiongkok diperintah oleh Kaisar Hongzhi dari Dinasti Ming—pada akhir 1400-an, bentuk sikat gigi modern mulai terlihat. Rancangan gagang sikat gigi di zaman itu terbuat dari tulang atau gagang kayu. Kemudian, bulu halusnya dicerabut dari bulu leher babi hutan yang pendek dan padat.

Titian pemakaian sikat gigi beralih di abad ke-17 hingga ke-18, ketika barang kecil tersebut dianggap sebagai barang mewah. Kala itu, hanya orang-orang tertentu yang memiliki sikat gigi karena komponennya yang mahal—terbuat dari tulang sapi. Maka kesehatan gigi dan mulut amat buruk di era ini.

Infografik Sampah Sikat Gigi

Infografik Sampah Sikat Gigi. tirto.id/Quita

Baru pada Perang Dunia II, sikat gigi menjadi lebih populer karena banyak calon tentara Amerika yang ompong. Gara-gara itu, mereka jadi kesulitan untuk merobek lapisan kertas pada peluru (saat itu peluru dibuat dari mesiu yang dibungkus kertas tebal). Mereka juga sulit makan ransum yang keras. Banyak pula calon tentara yang gagal seleksi karena kesehatan gigi yang buruk.

Sejak saat itu, tentara Amerika diwajibkan membawa sikat gigi di sela lubang kancing seragamnya supaya mudah sikat gigi di mana pun.

Di titik ini, sikat gigi mulai beralih ke bahan sintetis. Pasalnya, Amerika kekurangan pengrajin yang dapat membuat sikat gigi dalam skala besar. Maka mereka mengganti gagang sikat dengan bahan yang disebut “celluloid”. Para ahli kimia di awal 1900-an membuat bahan ini dari campuran nitroselulosa dan kapur barus. Mereka mengklaim celluloid lebih kuat, mudah dicetak, dan mengkilap sehinga terlihat mewah.

Dengan segera, bulu sikat pun menyusul jadi sintetis. Sebuah perusahaan kimia di Amerika bernama DuPont membuat bulu dari bahan yang halus, berserat tipis, fleksibel, namun kokoh dan tahan air. Itulah nilon. Serat sintetis anyar inilah yang kemudian menjadi subtitusi bulu babi yang mahal dan rapuh.

Kini—lebih dari satu abad berlalu dari masa sikat gigi sintetis pertama dibuat, ada baiknya kita mulai memikirkan cara yang lebih berkelanjutan untuk menggunakan sikat gigi. Kita mungkin tak perlu kembali mengunyah siwak, tapi setidaknya jangan langsung membuang sampah sikat gigi selepas dipakai. Perpanjang masa pakai sikat gigi bekas dengan menjadikannya sebagai alat pembersih.

Syukur-syukur jika Anda bisa beralih ke sikat gigi yang bahannya lebih ramah lingkungan. Saat ini, beberapa produsen kecil kembali mereplika sikat gigi dari zaman dinasti Ming. Sikat gigi itu dibuat dengan menggunakan bahan penyusun bambu yang bisa dikomposkan setelah habis masa pemakaiannya.

Baca juga artikel terkait LIMBAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi