tirto.id - Delapan bulan telah berlalu sejak Jose Mourinho terdepak dari jabatan manajer Manchester United per 18 Desember 2018 lalu.
Selangkah lagi dia akan menyamai rapor hiatus terlamanya, ketika meninggalkan Chelsea pada September 2007 sampai bergabung dengan Inter sembilan bulan kemudian. Maka, wajar apabila pria asal Setubal itu mendaku benar-benar merindukan lapangan hijau.
"Saat ini sepakbola sudah menjadi hal yang sangat serius bagiku. Sekarang aku sedang berhenti [melatih], berusaha menikmatinya dari luar. Tapi aku tidak bisa benar-benar menikmatinya, aku merindukan itu [melatih tim]," tutur Mou dalam wawancara dengan Gazetta dello Sport.
Sepakbola, memang telah jadi dunia yang ditekuni Mou sejak jauh hari. Kendati tak pernah berkarier sebagai pemain profesional di klub ternama—karier tertingginya adalah bermain untuk klub divisi dua Portugal—The Special One sudah memulai persinggungan dengan dunia manajerial pada usia 19. Tepatnya saat menjadi tangan kanan ayahnya, Felix yang sempat menjabat sebagai pelatih klub Portugal, Rio Ave.
Seperti dicatat Ciaran Kelly dalam buku Jose Mourinho:The Rise of the Translator (2013), Mou muda kerap diberi tugas rutin oleh Felix untuk membuat analisis mengenai kelebihan dan kelemahan pemain-pemain dari tim yang akan jadi lawan Rio Ave.
"Jika ada episode yang paling mempengaruhi mentalitas Mourinho sebagai manajer, itu adalah pengalamannya saat bekerja bersama ayahnya di usia 19 tahun," tulis Kelly.
Kecintaan terhadap dunia kepelatihan itu pula yang akhirnya bikin Mou tak bisa benar-benar menyingkir dari sepakbola. Bahkan meski menyadari dirinya tak punya bakat dan modal fisik untuk menjadi seorang atlet. Belajar bahasa, adalah pelarian kecilnya setelah pensiun dini sebagai pemain.
Mou muda menghabiskan sebagian waktunya untuk menguasai enam bahasa (Inggris, Perancis, Portugal, Spanyol, Catalan, dan Italia). Kemampuan ini akhirnya bikin dia mendapat kepercayaan menjadi penerjemah kepercayaan pelatih asal Inggris, Sir Bobby Robson.
Mou mendampingi Robson sejak ketika melatih Sporting Lisbon, FC Porto, sampai yang paling penting: Barcelona. Di klub terakhir inilah dia kemudian mengalami pergeseran peran.
"Awalnya dia, Mourinho, datang sebagai penerjemah Bobby Robson. Kemudian dia mendapat peran asisten pelaih. Pergeseran peran ini memang aneh, tapi tak terhindarkan. Sebab ketimbang sekadar menerjemahkan, Mou akan menambahkan opini pribadinya terhadap kalimat Robson. Tentu saja, dia akan tetap melindungi atasannya," kata seorang petinggi Barcelona dalam sebuah wawancara dengan FourFourTwo.
Akibat pergeseran peran ini, Mou kemudian tetap dipertahankan di Barcelona saat estafet kepelatihan berganti dari Bobby Robson ke Louis van Gaal pada 1997. Sebagai asisten van Gaal di Barcelona, Mou semakin mengembangkan pengetahuannya soal dunia kepelatihan.
Sisanya kini sudah menjadi sejarah. Mou lantas memutuskan berdiri sendiri sebagai manajer dengan melatih Benfica, Uniaoi de Leiria, FC Porto, Chelsea, Inter, Real Madrid, sampai Manchester United.
Berbagai gelar bergengsi sukses dia raih, mulai dari Liga Portugal, Liga Inggris, Serie A, Liga Spanyol, sampai Liga Champions.
'Pelarian' Menjadi Pandit
Sebagaimana Mou muda yang mencari pelarian dari pemain ke penerjemah, belakangan Mou tua—yang lagi-lagi tak sanggup angkat kaki dari sepakbola—mencari pelarian dengan menjadi komentator pertandingan alias pandit untuk partai-partai Liga Inggris (EPL).
Karier Mou sebagai pandit sebenarnya sudah dimulai sejak musim lalu, ketika menjadi bintang tamu dalam beberapa partai Liga Inggris di BeIN Sports.
Namun, secara tetap, sepak terjangnya sebagai pandit baru dikukuhkan dengan menandatangani kontrak bersama SkySports per awal musim ini. Selama belum melatih, Mou akan terikat kontrak untuk menjadi pandit di SkySports sampai akhir musim nanti.
"SkySports adalah rumah bagi Premier League dan bagiku, merupakan sebuah kebanggaan bisa bergabung dengan tim mereka dan membantu orang-orang lebih bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam suatu pertandingan," ujar Mou.
Pada pekan pertamanya sebagai pandit Mou memang sempat melontarkan beberapa pernyataan yang memantik kritik tajam.
Misalnya ketika dia menyinggung peran dua pemain Chelsea (Mason Mount dan Tammy Abraham) dalam pertandingan pembuka melawan Manchester United. Namun, pada sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa banyak argumen Mou yang membantu para penikmat Liga Inggris lebih memahami apa yang sebenarnya terjadi di atas lapangan.
Misalnya, ketika dia mengomentari blunder pelatih Chelsea, Frank Lampard dalam mengatur strategi ketika melawan MU. Tanpa perlu ngalor ngidul, Mou langsung menjelaskan dengan tegas akar permasalahan Chelsea di laga itu.
"Aku rasa Chelsea terlalu lembek, sebagai tim mereka kurang padat ketika bertahan. Terlalu banyak ruang yang diberikan [untuk pemain MU] dan mereka tidak cukup bisa mengalirkan bola ke depan. Mereka tidak pernah benar-benar terlihat padat. Coba lihat bagaimana jarak antara garis pertahanan, lini tengah, dan lini depan mereka," jelas dia.
Kemampuan memilih kata, yang tidak lepas dari penguasaan bahasa Mou, tak diragukan lagi membantunya dalam menyampaikan pendapat di depan kamera.
Kemampuan ini juga terlihat, misalnya, ketika dia berusaha mengkritik kesenjangan kedalaman skuat antara sejumlah klub The Big Six dengan Manchester City.
"Menurutku di saat ini hanya empat tim yang bisa menjuarai EPL. Manchester City, Tottenham, Liverpool, dan tim cadangan Manchester City," ujar dia.
Menghadirkan Perspektif Baru
Namun kemampuan berbicara bukan satu-satunya modal Mourinho. Fakta bahwa Mou punya rekam jejak pernah bekerja dengan 'filsuf-filsuf' sepakbola macam Bobby Robson dan Louis van Gaal bikin dia tak jarang bisa menghadirkan perdebatan yang renyah ketika disandingkan dengan pandit-pandit lain. Mou juga acap menyalurkan ilmu penting kepada para penonton.
Saat berdebat dengan Garry Neville dan Jamie Carragher pada 11 Agustus 2019 lalu misal, Mou meluruskan perbedaan definisi antara sistem permainan dan prinsip permainan.
Dalam sesi tersebut Charrager berpendapat kalau saat ini klub-klub EPL perlu memiliki pelatih yang punya prinsip sekaligus sistem permainan tetap.
"Aku rasa yang kita butuhkan saat ini adalah pelatih yang punya konsistensi terhadap apa yang ingin dilakukannya [prinsip permainannya] dan bagaimana harus bermain [sistem permainannya], dan tidak terlalu memikirkan lawan," kata dia.
Mou lantas menyanggahnya. Baginya pendapat Carragher tidak tepat. Menurut Mou tim yang bagus justru harus menyesuaikan sistem permainannya, karena dalam setiap pertandingan lawan yang dihadapi pasti punya karakter berbeda.
Tim memang wajib punya patokan terhadap gaya mereka bermain, tapi yang seharusnya dijadikan patokan bukanlah sistem permainan (bagaimana strategi di atas lapangan), tapi prinsip permainan (dasar-dasar bermain).
"Dalam sepakbola ada dua hal berbeda, sistem dan prinsip bermain. Sistem harus berubah, sedangkan prinsip adalah sesuatu yang tetap," tandas Mou.
Menurut kolumnis The Telegraph¸Daniel Zeqiri, modal pengetahuan tersebut pantas bikin panggung sepakbola, khususnya EPL bersyukur akan kehadiran Mou sebagai pandit.
“Tanda-tanda awal yang dia tunjukkan sebagai pandit cukup menjanjikan. Pengetauan teknisnya tak perlu ditanyakan, dia menambahkan detail penting tentang persaingan yang terjadi hari ini dan mengabaikan pengalaman pahitnya. Diskusinya dengan Carragher dan Neville, tentang perbedaan antara mengubah sistem dan mempertahankan prinsip adalah hal yang sempurna,” tulis Zeqiri.
Dunia pandit memang bukan tempat yang seharusnya dihuni Mourinho. Tapi, sebagaimana pilihan untuk menjadi penerjemah di tengah cita-citanya menjadi pelatih, mencoba hal baru jelas bukan sesuatu yang mengejutkan untuk seorang Jose Mourinho.
Editor: Zakki Amali