tirto.id - H. Badawi (85) akhirnya bisa menunaikan rukun Islam yang kelima pada musim haji 2015 setelah menunggu sekitar enam tahun. Padahal saat mendaftar sebagai calon jamaah haji di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ia mendapat antrean untuk keberangkatan tahun 2014. Sayangnya, ia harus rela menunda setahun lagi setelah ada pemberitahuan kalau keberangkatannya diundur.
Bagi sebagian orang, menunggu setahun mungkin adalah tempo yang cukup singkat. Namun bagi keluarga Badawi, durasi waktu tersebut tentu cukup lama. Saat itu, keluarga mulai khawatir H. Badawi tidak bisa berangkat ke tanah suci mengingat usianya saat itu sudah 83. Kesehatannya pun mulai tidak stabil.
Kesehatan Badawi memburuk sehingga untuk beraktivitas sehari-hari pun, ia harus dibantu kursi roda. Tak hanya kesehatannya yang memburuk, ia juga mulai menunjukkan gejala Alzheimer. Ia kerap tak mengingat cucunya sendiri, misalnya. Yang tidak luntur dari ingatannya hanya satu: berangkat ke tanah suci.
Saat keluarga akhirnya mendapat surat pemberitahuan bahwa Badawi dipastikan bisa berangkat ke tanah suci pada musim haji 2015, keluarga pun sempat ragu. Sebagian besar keluarga mengusulkan lebih baik ia tidak usah berangkat. Namun, segenap keluarga mengingat pertanyaan yang diucapkannya setiap hari: “kapan aku berangkat ke Mekkah?” Akhirnya., Badawi pun berangkat.
Kisah itu hanya satu yang kira-kira bisa menggambarkan tingginya animo masyarakat Indonesia yang ingin menunaikan rukun Islam kelima. Pendaftar banyak, sementara kuota haji Indonesia tidak dapat menampungnya. Maka, antrean daftar tunggu haji pun semakin panjang.
Apalagi pada 2013, pemerintah Arab Saudi mengurangi kuota jamaah haji Indonesia sebesar 20 persen, dari 211.000 jamaah menjadi 168.800 jamaah. Pengurangan kuota itu terkait renovasi Masjidil Haram di Mekkah. Pengurangan jatah tentu semakin menambah antrean daftar haji Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, rata-rata tiap daerah punya masa tunggu belasan tahun, bahkan sampai puluhan tahun. Di Jawa Tengah misalnya, calon jamaah haji yang mendaftar pada tahun 2016 dipastikan baru bisa berangkat ke tanah suci pada 2037.
Jawa Timur memiliki kuota haji per tahun adalah 27.143 orang, sedangkan pendaftarannya pada Agustus 2016 lalu sudah mencapai angka 642.418 orang, lebih tinggi dari kuota yang dimiliki Indonesia. Tak heran jika masa tunggunya bisa mencapai hingga 23 tahun.
Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Agama selalu berusaha agar Arab Saudi mengembalikan 20 persen kuota haji Indonesia yang dipangkas dan menambah kuota baru. Usaha tersebut menunjukkan hasil positif pada musim haji tahun ini.
Dalam konferensi pers di Istana Negara, pada Rabu (11/1/2017), Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa kuota haji Indonesia pada musim haji tahun 2017 menjadi 221.000 orang dari tahun 2016 yang berjumlah 168.800 orang atau naik sekitar 52.200 orang.
“Selain pengembalian kuota menjadi sebesar 211.000, Pemerintah Arab Saudi juga menyetujui permintaan tambahan kuota untuk Indonesia sebesar 10.000,” kata Jokowi dalam jumpa pers bersama Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, serta Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.
Menurut Presiden Jokowi, kenaikan kuota haji ini adalah tindak lanjut dari kunjungannya ke Arab Saudi pada September 2015 dan pertemuannya dengan Deputi Kerajaan Arab Saudi di Hangzhou pada September 2016. Mantan gubernur DKI Jakarta ini mengatakan dirinya meminta agar Menteri Agama Lukman Hakim dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menindaklanjuti dua pertemuan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Akhirnya, pemerintah Arab Saudi akhirnya memutuskan untuk megembalikan kuota normal haji bagi Indonesia dari 168.800 menjadi 211.000 dan mengabulkan kuota tambahan sebanyak 10.000, sehingga total kuota haji Indonesia pada tahun ini menjadi 221.000 orang.
Merujuk data Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi pada musim haji 2016, selain negara-negara Asia Barat, Indonesia-lah yang memiliki kuota paling besar di dunia, yaitu 168.000 orang.
Di urutan kedua ada Malaysia dengan jumlah kuota 22.320 orang, disusul Britania Raya sebanyak 18.180 orang. Kemudian, Perancis sebanyak 16.765 orang, Amerika Serikat 10.754 orang, Thailand 10.400 orang, dan selebihnya negara-negara lain yang memiliki kuota di bawah 10 ribu, bahkan hanya ratusan.
Pengembalian kuota 20 persen kuota haji tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga berlaku bagi semua negara seperti Malaysia. Seperti dilansir Antara, Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak mengatakan kuota jamaah haji di negaranya pada 2017 kembali menjadi 27.800 dari tahun sebelumnya tercatat 22.320 orang.
Seperti diketahui, pemerintah Arab Saudi, Raja Salman Abdul Aziz telah meloloskan permintaan untuk menambah kuota jamaah haji pada tahun ini. Pada tahun lalu sebanyak 1.325.372 jamaah asing bersama 537.537 jamaah setempat melaksanakan rukun Islam kelima dan jumlah tersebut adalah yang paling sedikit sejak 10 tahun lalu.
Lalu, apakah penambahan kuota sebesar 52.200 jamaah tersebut bisa mengurai persoalan antrean daftar tunggu haji di Indonesia?
Pemerintah tentu berharap penambahan kuota haji sebanyak 52.200 orang ini bisa menjawab persoalan, atau setidaknya mengurangi antrean jamaah yang sudah mencapai belasan hingga puluhan tahun. Namun, melihat jumlah pendaftar haji hingga Maret 2016 sudah mencapai 3 jutaan, pemerintah perlu melakukan terobosan lain.
Dalam konteks ini, ada langkah yang bisa ditempuh, salah satunya agar pemerintah lebih tegas menerapkan aturan bagi mereka yang sudah pernah berhaji. Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi terkait kebijakan pemberian dana talangan atau sistem menabung bagi keberangkatan haji melalui perbankan.
Selain langkah tersebut, tak ada salahnya pemerintah melobi negara lain yang kuota hajinya selama ini tidak terpakai, misalnya negara yang memiliki kuota haji banyak tapi penduduk muslimnya sedikit sehingga kuota tidak terpenuhi.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani